Sampah rumah tangga dapat lebih berguna, baik sebagai wujud kepedulian terhadap lingkungan maupun peluang ekonomi.

Gunungan sisa sayur, kulit buah, hingga potongan daun telah lama menjadi pemandangan lumrah di sudut-sudut pemukiman padat di Gayamsari, Semarang. Saat musim panas tiba, baunya menyengat tajam, menarik lalat dan membuat warga tidak nyaman. Namun, pemandangan dan aroma tak sedap itu perlahan mulai berubah. Warga kini mulai mengenal cara memanfaatkan limbah dapur tersebut sebagai sumber daya baru.

Perubahan ini dimulai pada Minggu (26/10), ketika Program Studi Administrasi Bisnis, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro, menggelar pelatihan pengolahan sampah organik di Gedung Posyandu Puspa Sari RW 04. Mengusung tema “The Re-source: From Waste to New Life”, kegiatan itu menjadi ruang belajar untuk mengenalkan kembali bahwa sampah rumah tangga, khususnya organik, dapat diolah dan dimanfaatkan langsung tanpa harus berakhir di tempat pembuangan.

Pelatihan ini menghadirkan Dr. Ir. Cahya Setya Utama, S.Pt., M.Si., IPM, dosen Fakultas Peternakan dan Pertanian Undip yang selama ini mengkaji pengelolaan limbah skala rumah tangga. Berbeda dari sosialisasi biasa, materi tidak hanya berbentuk ceramah. Sekitar 45 peserta yang hadir diminta membawa sampah organik dari rumah masing-masing. Meja praktik pun dipenuhi tumpukan plastik berisi sisa dapur.

“Sampah rumah tangga bukan sembarang sampah. Sampah tersebut dapat kita jadikan hal baru yang lebih berguna, baik sebagai wujud kepedulian terhadap lingkungan maupun peluang ekonomi. Inilah yang disebut mengolah limbah menjadi berkah,” ujar Cahya saat membuka sesi materi.

Peserta yang terbagi dalam beberapa kelompok tidak hanya mendengar teori, tetapi ikut mencacah, mencampur, dan memfermentasi sampah organik menjadi kompos. Mereka mencoba langkah demi langkah: memilah sisa sayur, mencacah bahan, menambahkan aktivator, lalu menyimpan dalam wadah tertutup. Dengan pendampingan langsung, warga melihat bahwa proses pengolahan sampah tidak serumit yang mereka bayangkan.

Kegiatan ini menjadi pengalaman baru bagi banyak peserta. Sebagian mengaku selama ini sampah organik hanya dibuang ke tempat sampah umum tanpa ada pemilahan terlebih dahulu. Bau busuk yang timbul bahkan dianggap sebagai hal biasa dari lingkungan padat penduduk. Namun, setelah mengikuti praktik, warga mulai melihat sisi lain. Sampah yang dahulu dianggap limbah, ternyata dapat kembali ke tanah sebagai pupuk.

Hasil akhir dari proses pengomposan ini bukan sekadar pupuk. Cahya menjelaskan bahwa kompos dapat digunakan sebagai media untuk menanam berbagai tanaman melalui praktik pertanian perkotaan (urban farming) dan hidroponik, bahkan dengan lahan terbatas. Dengan kompos buatan sendiri, warga dapat menanam sayuran di halaman, pot kecil, atau wadah seadanya.

Salah satu peserta, Ibu Siti, mengaku baru mengetahui potensi dari sisa dapurnya. “Saya baru tahu kalau sisa makanan di dapur bisa dijadikan pupuk alami. Sekarang saya ingin coba tanam sayur pakai kompos buatan sendiri di halaman rumah. Jadi bisa panen kapan saja dan hemat pengeluaran belanja,” kata Ibu Siti.

Jika praktik ini diteruskan, bukan hanya sampah yang berkurang, tetapi keluarga dapat menghemat pengeluaran dapur. Bahkan, tanaman yang dihasilkan bisa dijual untuk menambah pendapatan.

Pelatihan ini pada intinya tidak sekadar mengajarkan teknik membuat kompos, tetapi membangun kebiasaan baru yaitu memilah sampah di level rumah tangga. Warga mulai memahami bahwa pengelolaan sampah tidak harus menunggu keberadaan fasilitas besar seperti bank sampah induk. Dengan perubahan perilaku di dapur, masalah timbulan sampah dapat ditekan sejak sumbernya. Lingkungan pun menjadi lebih bersih dan kesehatan warga lebih terjaga.

Selain manfaat lingkungan, pelatihan ini menawarkan nilai ekonomi. Cahya menyebut bahwa urban farming tidak hanya bicara soal menanam, tetapi tentang kemandirian. “Menanam buah dan sayuran di rumah, nanti hasilnya bisa dinikmati sendiri. Bisa diatur kualitasnya seperti apa. Selain itu bisa dijual untuk menghasilkan tambahan pendapatan,” jelasnya.

Kegiatan ini menjadi bukti peran perguruan tinggi yang tidak berhenti pada teori di ruang kuliah, tetapi turun langsung ke lingkungan warga dan memberi keterampilan nyata. Kolaborasi ini menunjukkan bahwa perubahan menuju keberlanjutan dapat dimulai dari hal sederhana: plastik dibedakan dari organik, sisa dapur diolah menjadi kompos, dan kompos digunakan untuk menanam.

Pelatihan di Gayamsari membuktikan bahwa perubahan dapat dimulai dari rumah sendiri. Warga menyadari bahwa limbah dapur bukanlah ujung dari siklus makanan, melainkan awal dari daur ulang baru. Sampah yang dulu membusuk, kini menjadi kompos. Kompos yang dulu dianggap remeh, kini menyuburkan tanaman , yang kemudian memberi manfaat ekonomi dan pangan bagi keluarga.

Dari Gayamsari, muncul sebuah pelajaran: bahwa keberlanjutan dapat dibangun dari dapur, dari halaman rumah, dan dari kebiasaan kecil yang dilakukan terus-menerus. Warga mulai menyadari bahwa mengolah sampah bukan sekadar menjaga kebersihan, tetapi bentuk investasi masa depan bagi lingkungan, keluarga, dan generasi berikutnya.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses