Kawasan Ciletuh-Palabuhanratu UNESCO Global Geopark (CPUGGp) Sukabumi, sejatinya adalah benteng konservasi.

Bagi Duden Suherlan, laut Pantai Minajaya, Kecamatan Surade, Sukabumi, Jawa Barat bukan sekadar bentangan air asin. Di sanalah, di antara celah-celah karang yang kokoh, lelaki 56 tahun itu menggantungkan hidup. Setiap hari, ia menyusuri pesisir Desa Buniwangi, mencari ikan-ikan kecil dan rumput laut untuk menyambung napas keluarga.

Namun, ketenangan pagi pada Senin, 20 Oktober 2025, terkoyak. Bukan oleh debur ombak selatan yang memang ganas, melainkan oleh deru mesin yang asing.

Di bibir pantai, sebuah alat berat hydraulic breaker meraung, menghantam dan membongkar gugusan karang. Duden hanya bisa mematung dari kejauhan. Nyalinya ciut untuk mendekat.

“Waktu ada alat berat di sini, saya nggak berani deketin. Saya fokus cari rumput laut saja di sebelahnya,” tutur Duden dengan suara pelan. Baru keesokan harinya ia tahu, aktivitas itu dihentikan. Namun, kecemasan itu sudah telanjur tertanam.

“Kalau dipasang pipa, harusnya bukan di laut lepas kaya gini. Ini kan ada karang yang harus dijaga, tempat ikan kecil-kecil,” keluhnya. Bagi nelayan kecil sepertinya, rusaknya karang berarti hilangnya “rumah” bagi ikan, dan pada akhirnya, hilangnya isi piring di rumah Duden.

Alat berat yang disaksikan Duden adalah bagian dari proyek pipanisasi milik PT Berkah Semesta Maritim (BSM). Perusahaan tambak udang ini beroperasi tak jauh dari bibir pantai, berdiri di atas lahan Hak Guna Usaha (HGU) seluas kurang lebih 105 hektare.

Rencana mereka ambisius: memasang pipa berukuran raksasa untuk menyedot air laut dalam volume masif demi mengairi kolam-kolam udang. Namun, ambisi ini memantik alarm bahaya bagi komunitas nelayan setempat.

Agus Iskandar, Ketua Rukun Nelayan Pantai Minajaya, tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Jarak tambak yang hanya sekitar 200 meter dari bibir pantai adalah ancaman nyata bagi wilayah tangkapan mereka.

“Otomatis akan mengganggu ekosistem. Di tempat itu kami biasa memasang perahu, jaring tanam, dan mencari lobster,” ujar Agus. Ia membayangkan pipa raksasa itu bekerja seperti vacuum cleaner raksasa di dasar laut. “Bukan hanya air yang tersedot, tapi tumbuhan dan ikan-ikan kecil juga akan ikut terbawa.”

Kecemasan Agus bukan tanpa dasar. Di kawasan Pantai Minajaya saja, kini sudah bercokol tiga tambak udang—dua sudah beroperasi selama lima tahun, satu masih dalam tahap pembangunan. Jejak kerusakan lingkungan mulai terlihat kasat mata. Agus menunjuk contoh kasus di Tambak Udang Cimanala, di mana karang di sekitar area pembuangan limbah mulai memutih alias bleaching dan aroma busuk menyengat hidung akibat Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang langsung dibuang ke laut.

Dilema “akuarium” dan “nutrisi”

Keresahan di akar rumput ini berbenturan dengan narasi besar yang dibangun di tingkat elit. Kawasan Ciletuh-Palabuhanratu UNESCO Global Geopark (CPUGGp), yang membentang seluas 126 ribu hektare di delapan kecamatan, sejatinya adalah benteng konservasi. Sejak mendapat “stempel” UNESCO pada April 2018, wilayah ini memikul beban berat: menjaga warisan bumi sembari menghidupi manusianya.

Namun, investasi kerap kali datang bak dua sisi mata uang.

Badan Pengelola CPUGGp dan pemerintah daerah tampaknya memilih jalan tengah yang pragmatis. Ketua Harian Badan Pengelola CPUGGp, Aat Suwanto, menegaskan bahwa status Geopark bukanlah penghalang investasi.

“Konsep geopark tidak mengabaikan kebutuhan ekonomi masyarakat. Industri skala kecil hingga besar diperbolehkan, tinggal bagaimana tidak bertentangan dengan lingkungan,” ujar Aat. Ia mengakui setiap industri pasti membawa masalah lingkungan, namun ukurannya adalah “sejauh mana masalah itu bisa ditoleransi.”

Bagi Aat, label UNESCO justru magnet percepatan pembangunan. Wilayah yang dulu tertinggal kini mulai terbuka aksesnya. “Investasi ini nggak mengganggu status, justru bagus. Minimal relung-relungnya diisi oleh masyarakat setempat,” tambahnya.

Senada dengan Aat, Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Sukabumi, Ali Iskandar, menggunakan analogi “akuarium”. Baginya, warisan alam ini tak boleh hanya jadi tontonan.

“Warisan ini tidak hanya sebagai akuarium yang hanya bisa dilihat, tapi harus bisa dimanfaatkan. Kita memiliki syarat agar tetap hidup itu karena adanya nutrisi yang masuk, sehingga ekonomi tidak bisa dipisahkan,” tutur Ali. Solusinya, menurut Ali, adalah inovasi teknologi yang ramah lingkungan dan proses perizinan yang ketat.

Kartu merah dari Jakarta

Namun, realitas di lapangan membuktikan bahwa “toleransi” dan “prosedur” sering kali dilangkahi.

Aktivitas pembongkaran karang oleh PT BSM di Minajaya akhirnya memicu reaksi keras dari pusat. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) turun tangan langsung. Pada Jumat, 24 Oktober 2025, aktivitas pipanisasi itu resmi dihentikan sementara.

Tim gabungan yang terdiri dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jawa Barat, DLH Kabupaten Sukabumi, dan TNI AL Pos Ujunggenteng melakukan verifikasi lapangan. Papan peringatan penghentian aktivitas pun dipancangkan di lokasi.

“Kegiatan ini sudah diberhentikan oleh teman-teman dari KKP. Sementara ini disetop dulu sampai izin-izin semuanya lengkap,” tegas Neneng Setiawati, Pengawas Pejabat Lingkungan Hidup (PPLH) DLH Jabar.

Sementara itu, Kepala Bidang Penataan Hukum Lingkungan DLH Kabupaten Sukabumi, Arli Harlina, mengonfirmasi bahwa isu dugaan perusakan karang ini kini ditangani langsung oleh KKP dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).

Di tengah pusaran konflik ini, pihak perusahaan memilih bungkam. Hingga laporan ini diturunkan, PT BSM belum memberikan tanggapan resmi terkait tuduhan perusakan karang yang dialamatkan kepada mereka.

Kini, suara hydraulic breaker di Pantai Minajaya memang telah senyap, digantikan kembali oleh debur ombak. Namun bagi Duden dan para nelayan, kesunyian ini terasa rapuh. Mereka masih menunggu dengan was-was: apakah perlindungan atas “surga” mereka akan bertahan, ataukah hanya jeda sesaat sebelum mesin-mesin itu menderu kembali atas nama investasi?

Reportase kolaboratif Ekuatorial dengan SukabumiUpdate.Com. Terbit pertama kali dengan judul Ancaman Investasi di Balik Keindahan Ciletuh-Palabuhanratu UNESCO Global Geopark Sukabumi

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses