Posted in

ASEAN PERLU IKUT SELAMATKAN LAUT

thumbnail Rumitnya isu kelautan di ajang perdebatan perubahan iklim, membuat para pakar Asia Tenggara sepakat, Asean tak bisa tinggal diam melihat wilayah laut dan para nelayannya jadi korban selama menunggu debat internasional usai.

Tak seperti hutan yang memiliki data sains kuat sebagai mitigasi perubahan iklim, peranan laut masih terus jadi perdebatan. Data-data sains saling tumpang tindih. UNEP (United Nations Environment Programme) mengangkat konsep karbon biru, yang menempatkan peran laut sebagai penyerap emisi karbon layaknya hutan. Sebaliknya, konsep ini dibalas data bagaimana laut justru ikut berdosa menyumbang emisi karbon dari biota-biota laut serta gunung-gunung berapi bawah laut. Di tengah-tengah perdebatan dua kubu tersebut, dunia juga tak bisa mengacuhkan fakta bagaimana laut sendiri menjadi korban langsung perubahan iklim.

“Semua perdebatan itu menunjukkan isu laut itu sangat kompleks dan tak bisa kita bahas dari satu sisi saja, karena semuanya multi sektor,” kata Dr Luky Adrianto, mewakili kelompok pakar pesisir dan kelautan Asia Tenggara di 1st Interdisciplinary Inwent Alumni Conference in South East Asia, di Hanoi, Vietnam awal Juli ini.

“Karena itu pendekatan yang paling baik adalah ICM (Integrated Coastal Management) ”, kata Luky, melanjutkan. Menurut dia, lewat pendekatan ICM Asia Tenggara inilah para pakar di regional ini mulai dapat membahas lebih lanjut masalah dan solusi perubahan iklim di laut dan pesisir, yang salah satunya bisa membahas perdebatan konsep karbon biru.

ICM sendiri sebenarnya bukan barang baru. Secara sederhana, konsep yang memadukan konservasi pesisir dan ekosistem laut dengan kebijakan pemerintah ini telah lama dikenal di Indonesia. Bahkan, tak hanya di tingkat nasional, Indonesia juga telah ikut serta konsep ICM di tingkat regional pada 2003 lewat PEMSEA (Partnership for the Environment of the Seas of East) untuk kawasan Asia Timur dan lewat Coral Reefs Triangle Initiatives (CRTI) untuk 7 negara pada 2009. Lalu, buat apa lagi Asean ikut-ikutan membuat ICM?

Asisten Deputi Menteri Urusan Pengendalian Kerusakan Pesisirdan Laut Kementrian Lingkungan Hidup Wahyu Indraningsih menyatakan inisiasi ICM di Asean bisa membawa dampak yang lebih besar. Jika dibandingkan dengan PEMSEA yang hanya bersifat kerjasama, posisi Asean sebagai sebuah organisasi regional diharapkan bisa lebih bergigi. Sementara jika dibandingkan dengan CRTI, ICM di Asean tidak hanya mencakup Malaysia, Filipina, Indonesia atau Brunei saja, tapi juga seluruh negara-negara lainnya di Asia Tenggara termasuk negara-negara aliran Sungai Mekong.

“Menurut saya, ICM di Asean itu bagus saja dilakukan, tapi yang terpenting sekarang bagaimana implementasinya,” kata Indraningsih.

Pada dasarnya, implementasi ICM bisa dilakukan lewat 3 cara integrasi. Pertama, berupa integrasi ekosistem regional. Ini berarti Asean mencanangkan sebuah kerangka kerjasama regional untuk melestarikan ekosistem pesisir dan laut Asia Tenggara. Bagaimanapun juga, ekosistem kelautan antar negara akan selalu saling mempengaruhi. Misalnya, kerusakan terumbu karang di Filipina akan dapat mempengaruhi jumlah tangkapan ikan para nelayan Indonesia.

Kedua, ICM bisa berupa integrasi fungsional, yang berarti ICM berfungsi untuk memecahkan masalah-masalah lintas negara. Contohnya, ICM bisa mengatur kasus nelayan Pulau Rote yang kerap menangkap ikan hingga ke wilayah laut Timor Leste dan sebaliknya.

Dan yang terakhir, adalah integrasi kebijakan. Para pakar Asia Tenggara secara khusus mengusulkan jenis integrasi ini yang diterapkan Asean.

“Yang menjadi masalah sekarang adalah ekosistem kelautan, yang mau tidak mau melibatkan negara lain. Jadi integrasi yang paling efektif adalah integrasi kebijakan bagaimana (ASEAN) mengatur wilayah kelautan Asia Tenggara ini, tanpa sampai mencampuri urusan dalam negeri negara lain,” kata Luky.

Para pakar sepakat, Asean pertama-tama harus menyepakati visi bersama atas kelestarian ekosistem laut dan pesisir. Lalu, Asean harus pula menyepakati sebuah integrasi kebijakan manajemen laut dan pesisir. Masalah-masalah geografis pun harus diperhatikan, misalnya pada kasus Laos sebagai negara yang tak memiliki wilayah laut alias land lock. Namun, secara ekologis Laos tetap merupakan negara hulu Sungai Mekong. Ini berarti pencemaran Sungai Mekong di Laos akan secara langsung mempengaruhi negara hilir sungai seperti Kamboja dan Vietnam, serta akhirnya pesisir dan ekosistem Laut China Selatan.

Nah, agar Laos tetap merasa perlu melakukan ICM, maka para pakar mengusulkan Asean memberlakukan sebuah mekanisme konservasi ekosistem hulu dan hilir. Mekanisme ‘ecosystem buyer dan seller’ ini akan mengharuskan adanya kompensasi dari negara-negara yang diuntungkan oleh konservasi ICM yang dilakukan Laos di hulu Sungai Mekong.

“Kompensasi bisa macam-macam bentuknya, tapi pada intinya mereka (negara-negara Asean) harus saling memahami dan punya visi bersama untuk ICM ini,” kata Luky, menegaskan.

***

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.