Posted in

RESTORASI EKOSISTEM BISA BERDAYAKAN MASYARAKAT

thumbnailJakarta– Restorasi ekosistem dinilai merupakan suatu cara yang tepat untuk mengurangi emisi gas rumah kaca di sektor kehutanan. Selain juga mampu meningkatkan perekonomian masyarakat melalui kerjasama didalamnya.

“Saat ini restorasi ekosistem merupakan cara yang tepat untuk mengurangi emisi di sektor kehutanan yang memenuhi tuntutan REDD, dengan pola pengelolaan restorasi ekosistem di kawasan hutan produksi, dan banyak pihak yang optimis mengenai hal ini,” demikian dikatakan oleh Direktur Eksekutif Burung Indonesia, Agus Budi Utomo di Jakarta (27/07).

Menurut Agus, aspek lain yang penting dalam restorasi ekosistem ini yang memenuhi tuntutan elemen REDD antara lain seperti perlindungan kawasan, melakukan pemberhentian pembalakan dalam periode izin, pengayaan dan pemudaan secara alami, penanaman jenis lokal, pemanfaatan jasa lingkungan dan hasil hutan yang bukan kayu.

“Aspek lain yang juga tentunya sangat penting adalah kerjasama ekonomi dengan masyarakat, terutama yang berada di sekitar kawasan serta pemulihan keaneka ragaman hayati,” tutur Agus.

Ia menambahkan, kebijakan restorasi ekosistem bisa memberikan kesempatan untuk mengubah paradigma kayu sebagai produk tunggal hutan, yakni dengan cara pemberian izin usaha seperti izin pemanfaatan kawasan, izin pemanfaatan hasil hutan yang bukan kayu, dan jasa lingkungan selama masa restorasi.

“Kegiatan produktif tersebut didorong untuk menghasilkan pendapatan bagi pengelola hutan dan menciptakan peluang kemitraan dengan pemangku kepentingan lainnya, terutama masyarakat sekitar konsesi,” ujarnya.

Agus mengungkapkan, bahwa saat ini pihaknya bersama kosorsium Birdlife telah mendapatkan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE) di kawasan hutan produksi dengan luas konsesi seluas 98.555.000 hektar di Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan.

“Kawasan tersebut, akan kita namakan Harapan Rainforest yang merupakan kawsan restorasi ekosistem pertama di Indonesia,” ujarnya.

Sebagai model pemanfaatan hasil hutan yang tergolong masih relatif baru ini, jelas Agus, IUPHHK-RE ini oleh sebagian pihak bahkan masih sering dianggap sama dengan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHK-HA). Padahal, sambung Agus, keduanya sangat jauh berbeda mulai dari proses pengajuan izin, intervensi pengelolaan maupun tujuan dalam pembangunan hutan produksi.

“Untuk hal-hala yang semacam ini, perlu dilakukan upaya untuk menyamakan persepsi tentang kebijakan restorasi ekosistem ini diantara pihak yang terkait,” jelasnya.

Pada kesempatan itu, Direktur Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air Bappenas, Basah Hernowo mengatakan bahwa IUPHHK-RE-HA merupakan salah satu alternatif untuk memperbaiki kinerja di sektor kehutanan.

“Hal ini jika dilakukan dengan benar akan memberikan dukungan untuk memperbaiki pengelolaan hutan yang lestari,” ujarnya.

Ia menegaskan, IUPHHK-RE-HA akan membawa dampak yang positif untuk pelaksanaan kebijakan penurunan emisi gas rumah kaca. Untuk mendorong pengembangan IUPHHK-RE-HA ini, pemerintah perlu melakukan langkah-langkah strategis seperti penataan ulang terhadap peraturan perundang-undangan.

“Karena sifat IUPHHK-RE-HA ini berbeda dengan IUPHHK yang lain, khususnya dalam melakukan pengelolaan terhadap keaneka ragaman hayati,” terangnya.

Adapun Dody S. Sukardi dari Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) mengatakan, bahwa dari perspektif perubahan iklim, restorasi ekosistem merupakan sebuah kegiatan yang ideal dan prospektif, karena dapat mencakup semua komponen REDD+.

Ia beranggapan, restorasi ekosistem harus dipandang sebagai sebuah landskap. Namun, imbuhnya, IUPHHK-RE ini kedepan juga akan mempunyai tantangan.

“Tantangan utamanya adalah terkait land security, penataan ruang, konflik tenurial, konflik antar sector dan konflik kepentingan antara pusat dan daerah serta mekanisme benefit sharing antara pelaku usha, pemerintah dan masyarakat lokal,” kata Doddy.

Pendapat yang sama juga dinyatakan oleh Kepala Laboratorium Politik, Ekonomi, dan Sosial Kehutanan, Dudung Darusman. Menurutnya IUPHHK-RE ini sebagai sebuah skema pemanfaatan hutan yang tergolong baru, akan memiliki tantangan yang relatif tinggi.

Untuk itu, imbuhnya, diperlukan sebuah implementasi model pengelolaan yang multi guna yang berbasiskan ekosistem dengan multi produk (bisnis aneka hasil hutan, barang dan jasa) serta dukungan kebijakan yang tepat.

“Mulai dari birokrasi yang efisien, mereduksi biaya yang tinggi, mendorong kreatifitas pengelolaan, kemandirian dan tanggungjawab pengelola dan tujuan, keberhasilan kinerja yang terukur,” jelasnya. (teddy setiawan) 

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.