Posted in

DANA AWAL LOI MORATORIUM HUTAN TAK SESUAI JANJI

thumbnailJakarta – Disepakatinya pengucuran dana sebesar US $ 30 juta oleh pemerintah Norwegia kepada pemerintah Indonesia, baru-baru ini, sebagai dana tahap pertama dalam upaya pengurangan emisi melalui deforestasi dan degradasi hutan (Reducing Emission from forest Deforestation and Degradation/REDD) ternyata menimbulkan kontroversi di dalamnya. Kesepakatan pengucuran dana tahap pertama ini menunjukkan indikator kemunduran Indonesia di meja perundingan.

Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), Berry Nahdian Forqan, Jumat (20/8), menerangkan bahwa berdasarkan dokumen LoI (Letter of Intent), seharusnya pada tahap pertama Indonesia diberikan sebesar US $ 200 juta untuk persiapan implementasi pelaksanaan moratorium pada Januari 2011 – 2014. Namun dalam perundingan berikutnya, disepakati hanya sebesar US $ 30 juta. Hal ini menjadi indikator kemunduran Indonesia di meja perundingan.

Sebelum fase pertama dijalankan, pihak Norwegia dan pihak Indonesia memang telah menandatangani LoI di Oslo pada bulan Mei yang lalu untuk menguraikan kerangka kerja bagi kemitraan US $ 1 milyar untuk memerangi deforestasi dan degradasi hutan. Kemitraan ini sejalan dengan upaya-upaya Indonesia dan UNFCCC (Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim) untuk membangun sebuah sistem yang layak untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan konversi lahan gambut di Indonesia.

Lebih lanjut mengenai LoI antara Norwegia dan Indonesia ini, Berry Nahdian Furqon berpendapat, “LoI harus ditempatkan dalam kerangka penyelamatan hutan Indonesia. Artinya, ada atau tidaknya LoI, maka Indonesia tetap mesti menjaga hutan alam yang tersisa plus lahan gambut. Sehingga persoalannya saat ini bukan pada jumlah dana yang tersedia, akan tetapi political will dari pemerintah Indonesia sendiri,” ujarnya dalam kesempatan serupa.

Sementara itu, peneliti lingkungan dari Universitas Indonesia (UI), Setyo Sarwanto Moersidik, Selasa (24/8), mengatakan bahwa seluruh bantuan yang terkait dengan REDD ini semestinya dilihat dari kerangka “penjajahan ekonomi” yang membatasi ruang gerak atas pemanfaatan hutan oleh negara tropis seperti Indonesia ini, yang sebenarnya mempunyai luasan hutan cukup besar sebagai salah satu bagian hutan dunia. Selain itu, seluruh kebijakan atas bantuan dan kesepakatan yang ada mestinya ditimbang dari kepentingan berbagai sektor yang bergantung pada “value hutan” yang dimiliki oleh Indonesia.

“Bila ditinjau dari nilai US $ 1 miliar dolar dan ini dikaitkan dengan program REDD di mana hutan di Indonesia sebenarnya mempunyai potensi dan nilai jasa lingkungan dan nilai sosial yang sangat jauh lebih tinggi, maka sebenarnya nilai tersebut dapat dikatakan kurang sepadan. Indonesia memang perlu membangun dengan memanfaatkan hutan yang dimilikinya. Namun, di bawah hutan, masih terdapat banyak potensi tambang dan mineral yang merupakan kekayaan alam Indonesia yang semestinya bisa dieksploitasi dengan tetap memperhatikan daya dukung lingkungannya,” tambah Setyo.

Meskipun begitu, fase pertama pengucuran dana terkait REDD ini memang merupakan salah satu upaya yang akan membuka jalan bagi Indonesia untuk mencapai tujuan penurunan 26 persen emisi gas rumah kaca pada tahun 2020 dan meningkat menjadi 41 persen atas dukungan internasional. Strategi REDD di Indonesia akan dirancang melalui proses multi-pihak secara inklusif. Ini tidak hanya akan fokus pada masalah deforestasi, degradasi hutan, dan konversi lahan gambut, tetapi juga akan bertujuan untuk mengimplementasikan strategi pertumbuhan ekonomi karbon rendah dan akan berisi semua perlindungan keuangan yang diperlukan serta perlindungan lingkungan dan sosial untuk melindungi masyarakat dan keanekaragaman hayati. (prihandoko)

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.