Jakarta, Ekuatorial – Keanekaragaman pangan lokal Indonesia teridikasi makin terancam. Kebijakan pemerintah justru membuat ketahanan pangan makin melemah. Meningkatkan ketahanan pangan melalui keragaman hayati lokal, menjadi solusi yang perlu dilakukan. Demikian benang merah acara penganugrahan dari Yayasan Kehati, Selasa (20/1) di Jakarta.

MS Sembiring, Direktur Eksekutif Yayasan Kehati, mengatakan dahulu tanaman sagu, talas dan ubi yang berada di Papua dan Maluku, umbi-umbian di Papua dan Jawa, gebang, sorghum/cantel di Nusa Tenggara Timur (NTT), dan sukun menjadi tanaman pokok Indonesia. Demikian juga sumber kacang-kacangan, buah dan sayuran lokal.

“Namun karena selama ini kita lebih mengenal beras sebagai bahan pangan pokok. Akibatnya, negara kita menjadi salah satu negara dengan konsumen beras terbesar di dunia. Padahal sejak dahulu kita mengenal keberagaman sumber pangan lokal,” jelasnya.

Jumlah ini menurutnya akan terus berkurang jika Indonesia tidak memiliki kepedulian untuk melestarikan keanekaragaman hayati.

“Kita punya ribuan bahkan jutaan jenis untuk dimanfaatkan. Korea misalnya punya satu andalan utama yaitu ginseng. Kita perlu kembangkan dan promosi penting,” tambahnya.

Menurut data SEAMEO BIOTROP pada tahun 2009, Indonesia memiliki lebih dari 800 spesies tumbuhan pangan. Diantaranya 77 jenis merupakan tanaman karbohidrat, 75 jenis merupakan tanaman lemak/minyak, 26 kacang-kacangan, dan 389 jenis buah-buahan.

Teguh Triyono, Direktur Program yayasan Kehati mengatakan keragaman jenis pangan utama penting karena memengaruhi kebutuhan dan ketahanan pangan. Menurutnya jika satu negara hanya bergantung pada satu jenis pangan, maka ketahanan pangan menjadi sulit diwujudkan.

Menurutnya, ketersediaan stok akan sangat memengaruhi kerentanan bahan tersebut. “Yang lebih penting dari mempertahankan keanekaragaman hayati yaitu adanya potensi nilai tambah dari potensi spesies,” ujarnya.

Ia menjelaskan setiap jenis tumbuhan misalnya ternyata memiliki peranan penting dalam manfaat yang berbeda. Kulit pohon rambutan, alpukat, mangga dan banyak lagi lainnya ternyata mampu dijadikan bahan pewarna tekstil alami yang ramah lingkungan.

Selain itu banyak zat-zat aktif tanaman yang juga berguna untuk bahan pengobatan. “Ada juga yang berpotensi sebagai sumber energi alternatif. Oleh karena itu kelestarian hayati itu penting,” ungkapnya.

Namun untuk mewujudkan diversifikasi pangan lokal ia mengatakan perlu kerja keras dan keseriusan dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah hingga masyarakat.

Ia memberi contoh Mbah Suko, petani dari Dusun Kenteng Magelang, Jawa Tengah yang melestarikan bibit padi lokal yang sudah jarang ditemui. Tak kurang dari 35 jenis bibit padi lokal telah dikembangbiakkan, seperti rojo lele, ketan kuthuk, kenongo, rening, menthik wangi, menthik susu, gethok, leri, papah aren, berlian, tri pandung sari, dan si buyung.

Menurutnya upaya-upaya inisiatif ini sangat perlu dalam mengembangkan kelestarian hayati dan diversifikasi pangan. Karena usaha ini Kehati memberikan penghargaan Prakarsa Lestari Kehati padanya di tahun 2001 lalu.

“Pemerintah harus bisa membuat kebijakan strategis untuk pengembangan pangan alternatif, serta masyarakat harus turut membantu membudidayakan tanaman pangan lokal,” tutupnya. Yanuar Hakam

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.