Akibat kebakaran hutan, Indonesia menjadi negara penghasil emisi karbon terbesar di dunia pada 2015. Lebih dari 1 miliar ton ekuivalen CO2 dilepaskan.
Kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dan Kalimantan belum juga dapat ditanggulangi meski negara-negara tetangga sudah membantu memadamkannya. Berdasarkan pantauan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Jenderal (Purn) Luhut Binsar Pandjaitan menggunakan helikopter di atas Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, awal pekan ini, kondisi kabut asap kian parah. Dia menilai armada pemadam belum bisa menyelesaikan masalah.
Menurut Luhut, kabut asap dipicu pergerakan angin yang semakin kencang, tingkat kekeringan yang kian tinggi, dan gelombang El Nino. Apalagi ditambah dengan munculnya api-api baru di lahan gambut saat malam hari. “Seperti tornado mini di malam hari,” kata Luhut kepada wartawan, Selasa lalu.
Pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla pusing menghadapi kebakaran hutan dan lahan yang membesar sejak awal Juli lalu. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, area lahan dan hutan yang terbakar telah mencapai 1,7 juta hektare. Area itu diindikasikan berada di dalam kawasan 413 entitas perusahaan. Belakangan, titik-titik api pun muncul di Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Hasil riset terbaru tentang emisi gas rumah kaca dari kebakaran hutan akan membuat malu Indonesia di forum internasional. Penelitian itu dilakukan Guido van der Werf, ilmuwan Universitas Vrije, Amsterdam. Dia memprediksi Indonesia bakal menjadi salah satu pencemar karbon terbesar di dunia pada 2015 ini.
“Emisi karbon dari kebakaran di Indonesia setara dengan 1 miliar ton CO2, ini lebih dari emisi tahunan negara Jerman,” kata van der Werf yang mengunggah hasil perhitungannya di laman Global Fire Emissions Database (GFED). Angka pastinya adalah 1.043 juta ton ekuivalen CO2, lebih tinggi daripada emisi bahan bakar fosil yang dihasilkan oleh Jerman dan Belanda pada 2013.
Menurut hitungannya, sejak awal September 2015, kebakaran di Indonesia telah memancarkan karbon pada tingkat 15-20 juta ton CO2 per hari. Untuk perbandingan, lebih dari 14 juta ton CO2 dipancarkan setiap harinya dari seluruh kegiatan ekonomi Amerika Serikat.
Guido menjelaskan perkiraannya bersifat konservatif karena hanya memperhitungkan emisi CO2, metana (CH4), dan nitrogen oksida (N2O) dari kebakaran hutan. Dia dan tim penelitinya tidak memasukkan emisi dari oksidasi di lahan gambut. Ada begitu banyak lahan telantar yang dibawahnya terdapat gambut dan tidak terkelola dengan baik. “Ditambah ketegangan sosial, ekonomi, dan kondisi kekeringan, Anda punya resep untuk membuat bencana,” ujar dia.
Van der Werf menjelaskan kebakaran hutan tahun ini merupakan kebakaran terbesar sejak bencana yang sama pada saat El Nino 1997-1998. Ketika itu sekitar 8 juta hektare hutan dan lahan terbakar. “Peristiwa 1997-1998 adalah luar biasa. Tetapi 2015 juga luar biasa. Saya tidak berpikir ini akan melebihi 1997-1998 kecuali jika musim hujan tertunda.”
Direktur Eksekutif World Resources Institute (WRI) Indonesia Nirarta Samadhi menjelaskan kejadian kebakaran hutan dan lahan sudah mencapai skala yang sangat mengkhawatirkan. “Jauh melampaui perkiraan pemerintah,” kata dia. Dia membandingkan dengan angka emisi nasional pada 2015 yang dibuat Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Lembaga perencanaan ini memperkirakan angka emisi nasional 2015 setara 1,636 miliar ton CO2. Padahal, emisi kebakaran hutan hingga Oktober 2015 sudah mencapai 63,7 persen dari angka emisi nasional itu. Dalam simulasi Bappenas, kata dia, porsi emisi dari kebakaran gambut “hanya” 18 persen.
Data yang dibuat Bappenas menjadi salah satu bahan penyusunan Intended Nationally Determined Contribution (INDC). Ini adalah dokumen komitmen negara-negara di dunia untuk mengatasi perubahan iklim selepas 2020. Dokumen INDC harus disetor ke United Nation Convention on Climate Change pada Oktober menjelang Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim (Conference of Parties) di Paris pada 30 November – 13 Desember 2015.
Dalam dokumen INDC, Indonesia berjanji mengurangi emisi sebesar 29 persen dari skenario business as usual pada 2030. Jika ada bantuan internasional, pengurangannya menjadi 41 persen. emisi dari kebakaran hutan pada 2015 menjadi tantangan bagi pemerintahan Jokowi. Di COP Paris, mungkin bakal dipertanyakan komitmen Indonesia dalam mengatasi kebakaran hutan dan lahan serta menurunkan emisi.
“Riset ini harusnya menjadi perhatian pemerintah Indonesia untuk mengakhiri pendekatan bisnis konvensional dalam pengelolaan lahan,” kata Guido van der Werf. Kasus kebakaran hutan dan lahan kali ini harusnya menjadi pemicu pemerintah untuk mengubah model pembangunan berbasis lahan yang hanya mengejar keuntungan ekonomi dan mengorbankan masyarakat serta lingkungan. Tempo/Untung Widyanto