Penghijauan lahan kering dan berbatu milik SMPN 213 berlanjut menjadi gerakan mengembangkan pertanian hidroponik. Lebih jauh dari itu, para guru dan murid sekolah ini juga sedang mengembangkan model usaha agar dapat menciptakan pasar untuk produk hidroponik mereka. Baca selanjutnya.

Oleh Helena E. Rea

Duren Sawit, Jakarta Timur. Saat dilantik menjadi Kepala Sekolah SMPN 213,  sekolah menengah pertama di kawasan Duren Sawit, Jakarta Timur, pada tahun 2017, Waryanto sudah bergiat menghijaukan lahan sekolahnya yang kering dan berbatu. 

Total luas lahan sekolah 6900 meter persegi separuhnya untuk gedung sekolah dengan empat lantai, separuhnya lagi dijadikan lahan penghijauan. 

“Saya utamakan perubahan lingkungan,” ucap Waryanto, pria kelahiran tahun 1957 tersebut. “Kalau peserta didik dan guru-gurunya nyaman, belajarnya akan semakin menyenangkan.” 

Awalnya, Waryanto bersama guru dan peserta didik menanam sebanyak 75 pohon ketapang kencana (Terminalia Mantaly) dan juga mengembangkan kebun anggrek di lahan kering tersebut. 

Lebih lanjut, ia diperkenalkan kepada pertanian hidroponik melalui Omah Tani, sebuah lembaga pendidikan yang khusus mengajarkan pertanian hidroponik ke sekolah-sekolah sejak tahun 2015. Lembaga yang mempunyai workshop di Cilincing, Jakarta Utara tersebut digagas dari komunitas pengembangan ekonomi jemaat Gereja Kristen Jawa di Jakarta Utara. 

Selepas pelatihan di tahun 2017, Waryanto mengadakan pertemuan dengan guru dan komite sekolah untuk mengajukan pengembangan kebun hidroponik di sekolah. 

Dua alasan yang diajukannya adalah penghijauan dengan memanfaatkan lahan di wilayah sekolah dan pendukung pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). 

“Peserta didik juga belajar nyata di luar kelas, bukan hanya di dalam kelas,” ujarnya lalu menambahkan, “Sebagai tambahan, upaya ini mendukung program pemerintah untuk penghijauan.”

Dalam perkembangannya, SMPN 213 merupakan sekolah dengan kebun hidroponik yang cukup luas untuk kawasan DKI Jakarta. 

 

Bertani Tanpa Lumpur  

Anak-anak sekolah, pada umumnya, akan melihat pertanian sesuai yang ditawarkan oleh media atau saat berkunjung ke desa. Petani membawa cangkul, lahan sawah yang luas dan berjibaku dengan tanah dan lumpur.

Namun, pengembangan kebun hidroponik di SMPN 213 ternyata bisa menumbuhkan kultur menanam bagi siswa. Pertanian yang dikenal anak-anak semula indentik dengan pakaian lusuh, tangan kotor dan kaki berlumpur. Para murid belajar bahwa menanam bisa dilakukan dengan mudah dan tidak melelahkan.

Kepala Sekolah SMPN 213 Waryanto kembali mendatangkan para pelatih dari Omah Tani, Haryanto dan Bowo, yang memberikan pelatihan dasar tentang pertanian hidroponik. 

Kepala Sekolah SMPN 213 Waryanto, mempersiapkan murid-murid untuk panen. Foto oleh Helena A. Rea.

Konsep menanam diberikan dengan cara yang gembira sehingga anak-anak belajar dengan antusias. Sekitar 75 anak-anak dari Kelas 7 dan para guru ikut dalam pelatihan kebun hidroponik pada November 2017. 

“Kami bawa [pelatihan hidroponik] ke sekolah karena memang kami pikir ini penting dan termasuk dalam pendidikan lingkungan hidup pada kurikulum 2013,” ujar Haryanto, salah satu pendiri Omah Tani, yang berarti rumah pertanian dalam bahasa Indonesia. “Kami menunjukkan bahwa tanaman pun bisa tumbuh tanpa pestisida, ringkas, dan tak mengotori tangan.“ 

Para murid dan guru kemudian memprakarsai pembangunan kebun hidroponik. pipa-pipa paralon sepanjang delapan meter dengan model huruf A setinggi empat tingkatan pada rumah kaca, yang dulunya dipakai untuk menanam anggrek, yang berukuran 3×10 meter. Pipa paralon yang tersusun bisa memuat total 180 lubang tanam. 

Untuk uji coba, para murid diberikan bibit tanaman pokcoy dan rockwool, media tanam hidroponik, dan disemai di rumah masing-masing. Para murid ini diberikan tanggung jawab untuk memantau tanaman setiap pagi, memperhatikan hama yang mengganggu, memastikan mendapatkan sinar matahari yang cukup hingga asupan nutrisi.

Ketika bibit tersebut sudah berdaun, para murid membawanya ke kebun sekolah untuk ditanam di pipa paralon yang sudah disiapkan. 

“Di sini hal utama yang kami ajarkan adalah tentang tanggung jawab,” ujar Martis, pengampu pelajaran IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) yang juga merupakan penanggung jawab kelompok kerja kebun hidroponik sekolah.

Selama satu bulan, dari bulan November, para murid pun bisa memanen pokcoi tepat pada hari ke-30 atau Desember 2017 silam. 

“Bulan Desember 2017, kami melakukan panen perdana sayur pokcoy,” ujar Martis, mengenang keriuhan panen perdana. Sayuran dari panen perdana tersebut dijual kepada orang tua murid dan tamu tanpa patokan harga dan berhasil mengumpulkan dana sebesar Rp800 ribu. 

“Hasil [penjualan] itu kami gunakan untuk membeli bibit sayur, rockwool, dan nutrisi untuk musim tanam berikutnya,” tambahnya. 

Setelah hasil panen perdana pokcoi yang sukses, para murid berturut-turut memanen selada, kakung, sawi pagoda, bayam merah, hingga brokoli setiap bulan. Saat ini, mereka sedang menunggu panen tomat dan cabe. 

“Anak-anak di Jakarta tak paham tentang sayuran yang mereka makan. Mereka makan selalu disediakan dan beli di supermarket,” ujar Waryanto. “Kami mengupayakan menanam sayuran yang hari-hari dimakan oleh anak-anak.” 

Mengevaluasi keterlibatan langsung peserta didik di kebun hidroponik sekolah, Matris melihat bahwa ada perubahan sikap yang cukup nyata dari anak-anak didiknya terhadap lingkungan. 

Siswa yang semua kurang paham dan bahkan tak peduli tentang pemanfaatan lingkungan dan ruang terbuka hijau menjadi lebih paham.  “Dari cuek pada lingkungan, mereka menjadi respek,” ujar Martis.  

Selain itu,  para murid mulai memiliki pemahaman dan apresiasi yang berbeda terhadap pekerjaan di bidang pertanian. Sebelumnya, dalam pikiran mereka bertani itu identik dengan cangkul, lumpur, dan lahan yang sangat luas. 

“Tapi, ternyata setelah diperkenalkan cara bertani modern dengan hidroponik, cara pikir mereka jadi berbeda,“ ungkap Martis yang bahagia dengan perubahan ini. 

Melihat proses menanam hingga memanen memberikan kesan tersendiri bagi Tasya, siswa Kelas 7 SMPN 213. 

“Ternyata menanam sayur itu tidak ribet ya, tidak butuh tanah, tidak butuh pupuk,” kata Tasya. 

Setelah berhasil menanam pokcoi, para murid mulai menanam berbagai jenis sayuran lainnya, seperti bayam merah, brokoli, caysim, sawi, tomat dan cabe. 

Kepala Suku Dinas Pendidikan Wilayah 1, Jakarta Timur, Muhammad Roji, yang ikut hadir dalam panen perdana menantang untuk menanam padi dengan menggunakan pot-pot kecil di sekolah. 

Tantangan ini diterima. Para peserta didik dan guru kemudian mengumpulkan ember-ember bekas sebagai media tanam sementara bibit diambil dari tempat penyemaian bibit padi di daerah Karawang, Jawa Barat.

Para guru dan tamu undangan melakukan inspeksi pada hari panen di SMPN 213 di bulan April 2018. Foto oleh Helena E. Rea.

Mengenalkan padi ke siswa juga pengalaman baru bagi Martis karena anak-anak yang besar di ibukota nyaris tak pernah tahu tanaman asal dari nasi yang mereka santap setiap hari. 

Ada anak, ungkapnya Martis, bahkan bertanya kenapa rumput ditanam saat padi sudah tumbuh setinggi 15 sentimeter.

“Saya kaget karena siswa sendiri gak tahu tanaman padi. Saya bilang, ini bukan rumput, ini padi, ini. Saya tanya, kamu makan apa di rumah? Dia jawab, nasi. Saya Tanya nasi dari mana,  ia menjawab dari beras beras. Saya kejar lagi beras dari mana,  ia menjawab dari padi,” kenangnya. 

Ia mengungkapkan kebahagiaan sebagai seorang guru adalah saat murid bisa memahani pengetahuan dasar. “Jadi, sekarang anak-anak jadi tahu mana padi mana rumput,” ujarnya. 

Pertanyaan ini lantas memotivasi Martis dan Waryanto untuk menanam lebih banyak tanaman seperti pohon kedondong, kelengkeng, jambu, pisang, termasuk juga berbagai tanaman hias dan obat-obatan, dan menjadi ruang belajar efektif bagi mereka. 

 

Masa Depan Kebun Hidroponik di Sekolah

Upaya mengenalkan anak-anak sekolah dengan berkebun diharapkan bisa memunculkan ketertarikan kepada profesi di bidang pertanian sejak dini. 

Martis menyatakan bahwa beberapa murid sudah menyampaikan keinginan menjadi pengusaha sayur. 

“Saya selalu menyampaikan motivasi bahwa dengan berkebun hidroponik pun bisa membawa keuntungan dari sisi bisnis“, katanya mengklaim bahwa pengembangan bisnis untuk skala sekolah menengah pertama baru dilakukan oleh SMPN 213. 

Tidak menjelaskan spesifik, ia mencontohkan beberapa sekolah contoh yaitu sekolah menengah kejuruan (SMK) di Semarang dan madrasah di Cianjur juga sudah mengembangkan pertanian hidroponik untuk skala bisnis.  

Meski demikian, para pengurus sekolah mengklaim bahwa kebun hidroponik tersebut telah menjadi sekolah contoh untuk kebun hidroponik di lingkungan sekolah di wilayah Jakarta dan sekitarnya. 

Muhammad Roji, Kepala Sub Dinas Pendidikan Wilayah 1, Jakarta Timur, menyatakan bahwa Pemerintah Daerah DKI Jakarta, Bidang Pendidikan mendukung upaya pengembangan kebun hidroponik sebab konsep pendidikan lingkungan hidup dimasukkan dalam kurikulum sekolah tahun 2013 dan diimplementasikan sejak tahun 2014. 

“Kebun hidroponik akan menjadi ruang yang baik mengajarkan model pertanian modern kepada anak-anak didik,” lanjutnya, April lalu saat menghadiri kegiatan memanen kangkung, brokoli, dan bayam merah. 

Lebih lanjut, Martis mengatakan bahwa sudah banyak sekolah lain yang datang ke SMPN 213 untuk melihat dan belajar mengembangkan kebun hidroponik di sekolahnya masing-masing. 

“Setiap bulan selalu ada tamu dari sekolah lain yang datang dan ingin belajar bagaimana kami mengembangkan kebun hidroponik,” ujarnya. 

Salah satunya, kunjungan dari Ermai Afriani, guru IPA dari SMPN 198, Jakarta Timur yang ingin melihat lebih lanjut perkembangan pertanian hidrponik di sekolah tersebut, pada April 2018 lalu. 

“Saya sangat tertarik sekali karena tanaman hidroponik tak butuh lahan luas dan tanaman yang dihasilkan higienis dan jauh dari kontaminasi zat kimia,“ kata Ermai. 

Saat ini, proses kelola kebun hidroponik masih menjadi fokus sebagai media pendidikan namun Kepala Sekolah SMPN 213 Waryanto tetap melihat peluang untuk mengembangkan kebun hidroponik sebagai model bisnis perkebunan sayur dan bisa dipasarkan lebih luas, misalnya memenuhi pasar koperasi sekolah SMPN 213 atau lingkungan sekitar sekolah. 

“Kami mendapat permintaan semoga bisa mewujudkannya suatu saat nanti,” ujar Waryanto. Ekuatorial.

 

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.