Pengakuan legal untuk pengelolaan hutan berbasis masyarakat tidak serta merta meningkatkan pendapatan atau kesejahteraan rakyat. Tiga Kelompok tani hutan Pakpak Bharat, yang sudah mengantongi izin hutan kemasyarakatan, mengutarakan kesulitan mereka dalam memanfaatkan izin tersebut karena belum maksimalnya pendampingan.

Oleh Eka Dalanta dan Andi Gultom

Pengakuan legal untuk pengelolaan hutan berbasis masyarakat tidak serta merta meningkatkan pendapatan atau kesejahteraan rakyat. Tiga Kelompok tani hutan Pakpak Bharat, yang sudah mengantongi izin hutan kemasyarakatan, mengutarakan kesulitan mereka dalam memanfaatkan izin tersebut karena belum maksimalnya pendampingan.

 

 

Pakpak Bharat, SUMATERA UTARA.  Meski sudah mengantongi izin pengelolaan hutan berbasis masyarakat, kelompok tani hutan di Kabupaten Pakpak Bharat, Sumatra Utara, belum siap mengelola hutan secara maksimal untuk meningkatkan perekonomiannya.

Tiga kelompok tani, — KTH Njuah Njerdik, KTH Dos Ukur Mersada, dan KTH Pemuda Tani –, merupakan kelompok tani hutan (KTH) pertama yang mendapatkan izin Perhutanan Sosial (PS) dengan skema hutan kemasyarakatan (HKm) di Kabupaten Pakpak Bharat.

Hutan kemasyarakatan (HKm) merupakan satu dari lima skema perhutanan sosial diluncurkan oleh pemerintahan Joko ‘Jokowi’ Widodo sejak tahun 2016, yang bertujuan untuk membuka akses hutan negara untuk masyarakat.

Empat skema lainnya adalah hutan desa, hutan tanaman rakyat, hutan adat dan kemitraan.

Pada bulan Maret 2017, ketiga kelompok tani tersebut telah memperoleh izin pengelolaan hutan seluas sekitar 400 hektar, — 110 hektar untuk KTH Njuah Njerdik, 104 hektar untuk KTH Dos Ukur Mersada, dan 162 hektar untuk KTH Pemuda Tani –, dari total luasan 14.375 hektar kawasan Hutan Lindung Sikulaping yang berada di sebelah Barat Daya Kota Salak, ibukota Kabupaten Pakpak Bharat.

Namun, Paian Berutu, ketua KTH Njuah Njerdik yang berlokasi di Desa Sibongkaras, mengatakan tidak ada perubahan aktivitas sejak perolehan izin tersebut.

“Tidak ada bedanya. Sampai sekarang, belum ada program yang dijalankan kelompok. Hanya saja karena sudah mendapatkan izin, kami tidak lagi takut mengambil hasil hutan non kayu,” kata Paian kepada Ekuatorial (12/8), menambahkan mereka hanya mengambil bambu, rotan, gambir, kemenyan, serta bertani madu hutan.

Hal serupa diungkapkan oleh Hormat Bancin, ketua KTH Dos Ukur Mersada di Desa Kuta Tinggi, yang mengatakan masyarakat tidak berani merencanakan program di hutan lindung.

“Kami tidak tahu harus melakukan apa, tidak berani pula merencanakan ini dan itu di kawasan hutan lindung. Maunya agar izin yang sudah kami peroleh tidak sia-sia, kami membutuhkan pendampingan dari dinas terkait,” kata Hormat.

Meski belum mempunyai program yang pasti, Hormat mengatakan bahwa mereka sudah mulai membicarakan beberapa program seperti pembibitan, penanaman, dan pemanenan hasil hutan nonkayu, yaitu gambir, bambu, kemenyan, rotan dan jengkol, yang merupakan hasil utama di Hutan Lindung Sikulaping.

“Supaya bisa mengolah hasil hutan untuk meningkatkan nilai jualnya, kami membutuhkan modal,” kata Hormat, menambahkan bahwa para petani KTH Dos Ukur Mersada umumnya bertani padi, cabai, jagung dan kopi.

Para petani desa Kuta Tinggi sedang memanen cabai, salah satu sumber pendapatan utama mereka. Sumber: Andi Gultom.

 

Daniel Manik, ketua KTH Pemuda Tani di Desa Aornakan 1, mengatakan ketidaksiapan kelompok tani mengelola hutan dengan baik disebabkan tidak adanya pengalaman.

“Kami tidak berpengalaman mengelola hutan. Pengalaman yang kami miliki merupakan pengalaman turun-temurun, mengolah hutan secara tradisional,” kata Daniel. “Sebelum mendapat izin, luar biasa semangatnya. Sekarang ibaratnya mati tidak, hidup juga tidak. Tidak berkembang. Kalau hanya mendapatkan sebuah surat izin, sebuah kertas tidak ada artinya. Kami membutuhkan pendampingan yang konkrit.”

Daniel mencontohkan masyarakat tidak tahu bagaimana cara mengolah bambu menjadi bahan mentah atau kerajinan tangan.

“Keterampilan inilah yang diperlukan. Begitupun modal, modal kami terbatas untuk membeli peralatan dan membangun fasilitas,” lanjutnya.

 

KTH Butuh Pendampingan

Ketiga kelompok tani tersebut pernah mendapatkan pendampingan dari Yayasan Pesona Tropis Alam Indonesia (Yayasan PETAI), yang memiliki fokus kepada kampanye lingkungan dan pendidikan lingkungan hidup.

Pendampingan yang diberikan berupa pendidikan sekolah lapangan dan mendorong ketiga KTH mendapatkan akses kelola hutan, sejak tahun 2015. Program tersebut berakhir pada Maret 2017  akibat tidak ada donor.

Masrizal Saraan, Direktur Yayasan PETAI, di kantornya di Medan, menyatakan bahwa masyarakat belum sepenuhnya mandiri dan harus didampingi, terutama oleh Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) dan Kesatuan Pemangku Hutan (KPH).

Saat pendampingan dari Yayasan PETAI berakhir, masyarakat tani yang sudah mendapatkan izin HKm masih bingung memanfaatkan akses kelola hutan yang sudah mereka terima.

“Mereka bingung apa langkah-langkah selanjutnya yang harus dilakukan dan bagaimana mengeksekusi program-program yang sudah pernah direncanakan,” kata Masrizal.

Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa tidak ada pengalaman mengelola hutan secara berkelanjutan, terutama di kawasan hutan lindung, menjadi salah satu persoalan, selain dari ketidaksiapan modal.

Jika kebingungan terus berlanjut, jelasnya, akan menjadi antiklimaks bagi kelompok tani hutan.

“Para petani hutan kembali lagi melakukan tekanan terhadap kawasan, merambah, atau malah apatis terhadap program pemerintah. Akibatnya, masyarakat tidak percaya lagi dan akan menjadi sangat sulit mengemas program-program berikutnya,” kata Masrizal.

 

Belum Siapnya Pokja Percepatan Perhutanan Sosial

Kebingungan para kelompok tani hutan Pakpak Bharat juga disebabkan oleh belum maksimalnya peran pendampingan dari Kelompok Kerja Perhutanan Sosial yang sudah dibentuk sejak tahun 2016.

Hal tersebut diungkapkan oleh Masrizal Saraan, Direktur Yayasan PETAI, yang tergabung dalam Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial, atau disebut sebagai Pokja PPS, Provinsi Sumatra Utara.

Tugas pokok Pokja PPS, antara lain memfasilitasi percepatan akses, mengkampanyekan dan menginformasikan terkait perhutanan sosial, serta memfasilitasi pengembangan unit usaha produktif dari kelompok tani hutan sesudah memperoleh izin.

“Belum ada hasil kerja yang benar-benar memberi dampak besar bagi perhutanan sosial di Pakpak Bharat. Tapi, itu karena belakangan ini BPSKL Sumatra juga kurang maksimal dalam mendukung Pokja PPS Sumut. Mungkin, karena posisi ketua pokja juga dijabat oleh kepala BPSKL sementara kewenangan dan operasional Pokja tidak ditegaskan,” kata Masrizal.

Ia mengatakan bahwa beberapa program BPSKL Sumatra sudah dilakukan, namun belum sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat di Pakpak Bharat, contohnya kunjungan ke Desa Kali Biru di Yogyakarta, yang memfokuskan ke pariwisata.

“Setelah mereka kembali ke desa, mereka bingung. Pasalnya, contoh PS yang mereka kunjungi adalah desa wisata yang kurang sesuai dengan kondisi hutan di Pakpak Bharat,” kata Masrizal.

Sementara itu, Ujang Wisnu Barata, Kepala Seksi Kemitraan Lingkungan Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) Wilayah Sumatera, mengatakan mereka akan membicarakan persoalan dengan Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Sidikalang dan Pokja PPS untuk mengetahui apa yang dibutuhkan kelompok tani pemegang izin PS.

“PS adalah kerja multipihak. Memang betul pendampingan itu salah satu kunci.  Di lokasi-lokasi yang pendampingannya intensif, baik itu oleh Non Government Organization (NGO) atau KPH, pasti praktik-praktik perhutanan sosial berjalan lebih baik. Kerja multipihak itu dibungkus melalui kendaraan Pokja yang isinya adalah instansi terkait, para pendamping di tingkat lapangan, KPH, dll. Pokja inilah yang diharapkan membantu sebab ada keterbatasan kapasitas BPSKL,” kata Ujang.

Henri Bakti Tumanggor, Kepala Seksi Perencanaan dan Pemanfaatan Hutan, KPH Sidikalang mengatakan bahwa keterlambatan pendampingan dan program-program yang belum berjalan maksimal karena KPH Sidikalang sendiri baru terbentuk sehingga membutuhkan waktu untuk penyesuaian dan penyusunan program-program.

KPH Sidikalang dibentuk pada tahun 2016, sementara Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang (RPHJP) KPH Sidikalang baru disahkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pada bulan Februari 2018.

Bulan September lalu, KPH Sidikalang sudah memberikan bantuan peralatan, berupa masker topi, pondasi sarang, smoker, pisau pengupas sarang, alat panen penampung aluminium, sikat lebah, pengungkit sarang, glodokan, sarung tangan kulit, dan stup kosong apis cerana bagi petani madu hutan di Desa Aornakan 1, salah satu KTH yang memperoleh izin perhutanan sosial.

“Ke depannya, kami juga akan mengusulkan diadakannya pembinaan-pembinaan, baik melalui kementerian kehutanan atau lembaga lain yang bisa membantu,” jelas Henri kepada Ekuatorial (13/8).

Daniel Manik, ketua KTH Pemuda Tani, Desa Aornakan 1, mengatakan bahwa pemberian bantuan tersebut sudah sesuai dengan harapan mereka, namun, mereka masih tetap membutuhkan pendampingan dan bantuan modal.

“Pemberian bantuan ini memang sesuai dengan permintaan kami. Sesuai dengan proposal yang pernah kami ajukan kepada KPH untuk memberikan bantuan bagi para petani madu hutan di Desa Aornakan 1,” kata Daniel, menambahkan ada sekitar 30 keluarga yang bertani madu hutan.

“Meskipun begitu harapan kami, seperti kami sampaikan saat penyerahan bantuan oleh KPH, bantuan ini belum menjadi solusi paling tepat. Kami masih memerlukan pelatihan, pendampingan ke lokasi, serta bantuan modal untuk melakukan penanaman tanaman hutan non kayu, seperti jengkol,  yang akan sangat bermanfaat bagi kami,” lanjutnya.

Rumah pak Manik yang juga digunakan untuk m emproes gambir, dikelilingi tanaman gambir. Sumber: Andi Gultom.

 

Sementara itu, kelompok tani hutan di Desa Kuta Tinggi dan Sibongkaras mendapatkan bantuan peralatan berupa mesin split rotan, bor duduk, dan gergaji potong untuk membantu mengolah rotan.

Sayangnya, mesin tersebut belum bisa digunakan di Desa Sibongkaras karena aliran listrik yang kurang memadai.

“Karena daya listrik di kampung kami tidak terlalu besar, mesin tersebut belum bisa kami gunakan. KPH berjanji akan memberikan bantuan berupa mesin genset atau alat tenaga dinamo 1600 watt agar kami bisa mengoperasikan mesin pengolah rotan ini. Pemberian bantuan direncanakan pada anggaran tahun depan,” kata Paian Berutu, Ketua KTH Njuah Njerdik Desa Sibongkaras.

Masrizal Saraan, Direktur Yayasan PETAI mengatakan ketidaksiapan kelompok masyarakat pemegang izin perhutanan sosial ini bisa menjadi momok yang menghambat suksesnya program tersebut.

“Ketidaksiapan ini akan membuat masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap program-program berikutnya yang akan dibuat pemerintah,” kata Masrizal.

Padahal, lanjutnya, perhutanan sosial merupakan upaya pemerintah untuk memecahkan konflik lahan yang terjadi di kawasan hutan.

“Perhutanan Sosial sebenarnya adalah konsep yang sudah dipersiapkan pemerintah dalam rangka mengakomodir konflik lahan di masyarakat, terutama di areal hutan,” katanya. “Saya berkeyakinan PS bisa menjadi solusi bagi permasalahan konflik lahan di kawasan hutan. Ketika masyarakat mengelola areal kelolanya, pada saat yang sama mereka juga ikut melestarikan hutan. Masyarakat sejahtera, hutan lestari.”  EKUATORIAL.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.