Riau sudah menetapkan status siaga darurat Karhutla sejak 19 Februari 2019 lalu sementara seluruh sekolah di Pekanbaru telah meliburkan siswanya pada tanggal 11 September 2019, dikarenakan kondisi pencemaran yang sudah sampai pada level tidak sehat. Sementara Badan Penanggulangan Bencana Daerah Riau mencatat, untuk periode 1 Januari hingga 6 Oktober 2019, luas lahan yang terbakar di Riau sudah mencapai 9.120,5 hektar (Ha).

Oleh Winahyu Dwi Utami

Pekanbaru, RIAU. Dengan dipapah sang suami, Syafrianti (51) mendatangi ruang layanan Public Service Center (PSC) Kantor Dinas Kesehatan (Diskes) Provinsi Riau di Jl. Cut Nyak Dien Pekanbaru, 24 September 2019, sekitar pukul 10.00 pagi. Ia mengeluhkan sakit di bagian dada sejak dua hari belakangan dan sudah sangat menggangu aktivitasnya sehari-hari.

Dengan sigap, dokter jaga saat itu meminta Syafrianti berbaring lalu memeriksanya. Dibantu oleh seorang petugas, pegawai negeri  di Badan Ketahanan Pangan Provinsi Riau itu dipasangi oksigen.  Setelah beristirahat sekitar 15 menit, Syafrianti merasakan sakit di bagian dadanya mulai berkurang. “Karena sudah tidak tahan lagi tadi, akhirnya saya minta suami mengantar ke mari,” jelas Syafrianti saat ditanya apa yang dikeluhkan. Ia berkantor tidak jauh dari PSC.

“Jendela di kantor saya pecah, jadi asap mudah masuk ke ruang kerja. Belakangan ini asap di Pekanbaru semakin pekat saja. Padahal saya tidak punya riwayat sakit asma, jantung ataupun paru,” ungkapnya.

Syafrianti terbaring di area Public Service Center (PSC) Kantor Dinas Kesehatan di Pekanbaru dengan selang oksigen di hidung. Sumber: Winahyu Dwi Utami

 

Asap di Riau , juga menimbulkan masalah bagi Yayuk. Anaknya Syaqira (6) mengeluhkan sakit kepala kepada ibunya saat pulang sekolah. Murid kelas 1 di sebuah sekolah swasta di Pekanbaru tersebut adalah anak yang periang, namun saat dijemput ibunya hari itu, ia terlihat muram.

“Malam harinya saya bawa Syaqira ke klinik yang tidak jauh dari rumah. Menurut analisa dokter, anak saya sakit kepala karena berkurangnya oksigen ke otak. Bisa jadi karena kondisi udara yang terpapar asap,” jelas Yayuk.

“Alhamdulillah sekolah diliburkan sejak 11 September 2019 lalu. Selama libur, saya tidak mengizinkan anak-anak keluar rumah,” tambahnya.

Sejak tanggal 10 September 2019,  sekolah negeri dan sebagian sekolah swasta resmi diliburkan oleh pemerintah daerah setempat hingga kondisi udara membaik. Diantara daerah yang memiliki kebijakan meliburkan siswa sekolah adalah Kota Pekanbaru dan Dumai. Sebagian sekolah swasta yang ruang belajarnya memiliki AC, masih melakukan aktivitas belajar mengajar dengan mewajibkan siswanya menggunakan masker ke sekolah.

Namun kondisi pencemaran udara yang berada pada level tidak sehat, membuat seluruh sekolah meliburkan siswanya di tanggal 11 September 2019. Hampir dua pekan siswa sekolah dari seluruh tingkatan libur karena asap Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla).

Syafrianti dan Syaqira adalah sedikit dari ribuan korban terdampak asap yang ada di Provinsi Riau. Asap tidak hanya berdampak buruk pada kesehatan, tetapi juga pendidikan dan bahkan ekonomi masyarakat.

 

Penyakit terdampak asap

Dinas Kesehatan (Diskes) Provinsi Riau mencatat ada lima penyakit terdampak kabut asap, yaitu ISPA , Pneumonia, Asma, Iritasi Mata dan Iritasi Kulit. Jumlah terbanyak diderita warga adalah penyakit ISPA.

Per September 2019, Diskes Provinsi Riau mendata ada 324.772 kunjungan pasien ISPA di Riau. Data tersebut diperoleh melalui Puskesmas dan Rumah Sakit yang ada di wilayah Provinsi Riau. Bila dibandingkan dengan tahun 2015 pada periode yang sama sebesar 451.822 orang, jumlah kunjungan di tahun 2019 relatif lebih kecil.

Berikut data penderita ISPA dari 2015 hingga September 2019:

pastedGraphic.png

 

“Menurunnya jumlah penderita, bisa saja karena masyarakat sudah aware terhadap dampak asap dan bisa mengantisipasinya. Selain itu, penyakit ISPA tidak semata-mata disebabkan oleh kondisi asap. Namun saat udara terpapar asap, masyarakat kelompok rentan sangat mudah terserang ISPA,” jelas Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Riau, Mimi Yuliani Nazir.

Asap mengandung sejumlah gas dan partikel kimia yang mengganggu pernapasan seperti Sufur Dioksida (S0 2), Karbon Monoksida (CO), Formaldehid, Akrolein, Benzen, Nitrogen Oksida (NOX) dan Ozon (O3). Bahan-bahan tersebut memicu dampak buruk pada bayi, manula dan pengidap penyakit paru.

Untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat terdapak asap di Riau, Diskes Provinsi Riau membuka Posko dan rumah evakuasi dampak asap. Di Pekanbaru ada 14 Posko yang bekerja dari pagi hingga pukul 21.00 WIB setiap hari.

“Tidak hanya di Kota Pekanbaru, di daerah juga didirikan Posko Kesehatan dan rumah singgah. Sejak Gubernur menetapkan status Siaga Pencemaran Asap mulai tanggal 23 September hingga 30 September 2019, rumah singgah dibuka 24 jam,” ungkapnya.

Tahun 2019 menjadi tahun terparah bencana kabut asap di Riau setelah tahun 2015 lalu. Indeks Standar Pencemaran Udara berada pada level berbahaya. Konsentrasi PM10 mencapai 748,628 ugram/m3 pada tanggal 22 September 2019, pukul 21.44 WIB. Berlipat ganda dari Nilai Ambang Batas (NAB) PM10 di udara yang sebesar 150 ugram/m3.

“Karena ISPU menunjukkan level berbahaya, Gubernur Riau, Syamsuar selaku Komandan Satgas Siaga Darurat Karhutla mengumumkan status Siaga Pencemaran Udara sejak 23-30 September 2019,” kata Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Edwar Sanger.

Pada tanggal 22 September 2019, pukul 17.00 WIB Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memantau ada 112 titik panas (hotspot) di Riau dengan tingkat confidence 50 %. Untuk seluruh wilayah di Sumatera terpantau sebanyak 973 dengan titik terbanyaknya berada di wilayah Sumatera Selatann 465 dan Jambi 286.

Esok harinya, tanggal 23 September 2019, Pukul 07.00 WIB, BMKG melansir jarak pandang di Kota Pekanbaru hanya berkisar 500 m. Kondisi lebih buruk terjadi di Kota Rengat, Kabupaten Indragiri Hulu dan Kabupaten Pelalawan yang hanya 300m.

Pada pukul 06.00 WIB di hari yang sama, Satelit Terra/Aqua mendeteksi ada 1591 titik panas (hotspot) di wilayah Sumatera, 256 diantaranya berada di Riau dengan level confidence 50%. Jumlah ini relative lebih kecil dibandingkan hotspot di Provinsi Jambi yang mencapai 505 titik dan Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel), 675 titik. Pada level confidence 70% terdeteksi 172 hotspot di Riau.

Pekatnya asap di Riau dipengaruhi juga oleh arah angin yang melintasi wilayah Riau dari Provinsi Jambi dan Sumsel. Pada siang hari, kondisi relatif membaik lantaran guyuran hujan dengan intensitas ringan hingga sedang di sejumlah wilayah di Riau sekitar pukul 14.00 WIB. 

Upaya menurunkan hujan dilakukan dengan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) oleh Satgas Udara dan BPPT serta shalat minta hujan yang dilakukan seluruh elemen masyarakat di Riau.

“Hujan yang turun karena proses alami dan buatan,” kata staf analisis BMKG Stasiun Pekanbaru saat dikonfirmasi.

Kemarau yang lebih kering tahun ini dibandingkan tahun sebelumnya dipengaruhi oleh fenomena El Nino. El Nino merupakan fenomena memanasnya suhu muka laut di Samudera Pasifik bagian tengah hingga timur. Dampaknya dirasakan oleh sejumlah daerah di Indonesia.

“Sejak Januari hingga September 2019, BMKG mencatat jumlah hotspot di Riau mencapai 3.604 titik dengan confidence 50 persen. Jumlah tersebut jauh lebih banyak dibandingkan bulan sebelumnya di tahun yang sama yaitu 1.897 titik,” terang Kepala BMKG Stasiun Pekanbaru, Sukisno, pertengahan September lalu.

Jumlah ini juga jauh lebih tinggi dibandingkan Bulan September tahun 2018, 2017 dan 2016. Tahun 2018 jumlah hotspot terpantau 254 titik, 2017 sebanyak 48 titik dan tahun 2016 sebanyak 59 titik.

Untuk luasan areal terbakar, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau mencatat,  untuk periode 1 Januari hingga 6 Oktober 2019, luas lahan yang terbakar di Riau sudah mencapai 9.120,5 hektar (Ha). Terluas ada di lahan gambut. 

 

!function(){“use strict”;window.addEventListener(“message”,function(a){if(void 0!==a.data[“datawrapper-height”])for(var e in a.data[“datawrapper-height”]){var t=document.getElementById(“datawrapper-chart-“+e)||document.querySelector(“iframe[src*='”+e+”‘]”);t&&(t.style.height=a.data[“datawrapper-height”][e]+”px”)}})}();

Lahan yang terbakar berada di areal open akses, lahan kelola masyarakat, lahan konsesi perusahaan dan kawasan konservasi. Riau sudah menetapkan Status Siaga Darurat Karhutla sejak 19 Februari 2019 lalu dan akan berakhir pada 31 Oktober 2019 mendatang.

Areal yang terbakar tidak hanya di tanah mineral tetapi juga di lahan gambut. Badan Restorasi Gambut (BRG) mencatat, luas areal gambut di Riau yang terbakar sejak Januari hingga September 2019 seluas 49.266 ha. Berikut data BRG:

Sumber: Badan Restorasi Gambut

Menurut Kepala Biro Perencanaan dan Anggaran Badan Restorasi Gambut (BRG), Didy Wuryanto, lahan gambut lebih luas terbakar lantaran lahan gambut yang belum digarap tuntas masih lebih luas dibanding dengan di lahan mineral. Gambut yang belum memberikan manfaat namun sudah terlanjur dikeringkan untuk persiapan tanam, cenderung terabaikan sehingga mudah terbakar.

“Pemanfaatan tidak berlangsung segera namun menunggu proses pengeringan yang dimusim kemarau mudah ikut terbakar,” jelas Didy.

“Bila gambut kering sudah terlanjut terbakar, akan lebih sulit dipadamkan dibandingkan lahan mineral. Walaupun sudah berhasil dibasahi, gambut yang terbakar akan terus mengeluarkan asap,” tambahnya.

Sekjen Jaringan Masyarakat Gambut Riau (JMGR), Isnadi Esman menilai Karhutla yang kini terjadi di lahan gambut merupakan akumulasi dari buruknya tata kelola gambut oleh pemerintah melalui kebijakan dan regulasi yang tidak berpihak kepada ekosistem gambut dan masyarakatnya. “Izin konsesi, baik itu Hutan Tanaman Industri (HTI), HGU, Tambang dan Migas merupakan akar utama dari keringnya gambut sehingga mudah mengalami kebakaran,” jelasnya.

 

Penegakkan hukum

Pada 8 Oktober 2019, Satgas Penegakan Hukum (Gakkum) Karhutla Polda Riau telah menetapkan dua tersangka kasus Karhutla dari korporasi. Pertama tersangka korporasi atas nama PT SSS yang diwakili direksi berinisial ESHL dan tersangka sebagai pengurus PT SSS, dalam hal ini manager operasional yang berinisial AOH.

“Tersangka AOH sudah dilakukan penahanan di Ditreskrimsus Polda Riau,” kata Kabid Humas Polda Riau, Kombes Pol Sunarto saat Konferensi Pers di Mapolda Riau, 8 Oktober 2019.

Untuk menetapkan menjadi tersangka, Ditreskrimsus Polda Riau telah memeriksa 23 orang saksi dari perusahaan, 13 saksi masyarakat dan 11 orang saksi ahli. Luas lahan terbakar lebih kurang 155,2 ha di Desa Kuala Panduk, Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan.

“Perusahaan lalai menyediakan sarana prasarana, tidak mempunyai dana yang memadai, SOP dan pegawai untuk menanggulangan Karhutla. Upaya pemadaman kebakaran di Blok I nomor 43 gagal dilakukan hingga menyebar ke blok lain. Kebakaran terjadi pada 23 Februari 2019, namun api baru bisa dipadamkan pada 10 Maret 2019,” Jelas Direskrimsus Polda Riau AKBP Andri Sudarmadi.

Tesangka disangkakan telah melanggar Pasal 98 Ayat 1 Undang Undang RI No.32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.  Ancaman hukumannya, pidana penjara paling lama 10 tahun dan paling singkat 3 tahun dan denda maksimal Rp10 miliar.

“Indikasi ada unsur kesengajaan, lahan yang terbakar adalah lahan kosong. Dan pada areal lahan yang terbakar itu telah diberi pembatasan berupa parit. Lahan tersebut jelas sekali masuk dalam peta kerja PT SSS. Tidak jauh dari lokasi tersebut ada pos sekuriti dan stok bibit sawit yang akan ditanam. Perusahaan tidak mematuhi dokumen Amdal, RKL dan RPL. Berdasarkan penyidikan, pemadaman nyaris tidak dilakukan,” jelas Andri.

Hingga 18 Oktober 2019, Gakkum Polda Riau telah menerima 66 Laporan Polisi (LP), menetapkan 68 tersangka perorangan dan 2 tersangka korporasi. “Saat ini, 27 kasus dalam proses sidik, 16 kasus berapa pada Tahap I, 22 kasus Tahap II dan 1 kasus sudah P21,” terang Direskrimsus Polda Riau.

Selain Polda Riau, proses penegakkan hukum juga dilakukan Direktorat Jenderal (Dirjen) Penegakkan Hukum Kementerian LHK.  “Gakkum sudah melakukan penyegelan di 10 lokasi Karhutla milik 10 perusahaan. Perusahaan tersebut adalah PT SSS, PT SBP, PT SR, PT THIP, PT TKWL, PT RAPP, PT SRL, PT GSM, PT AP, PT TI,” ungkap Direktur Dirjen Gakkum KLHK Rasio Ridho Sani usai Rapat Koordinasi Penanggulangan dan Pencegahan Karhutla, Sabtu (14/9/2019).

Saat ekuatorial.com mencoba melakukan konfirmasi ke Humas PT SRL yang lahannya terbakar lebih kurang 700 ha, mereka enggan berkomentar. Hal serupa juga dilakukan PT RAPP dengan luas lahan terbakar lebih kurang 25ha, saat dikonfirmasi. 

 

!function(){“use strict”;window.addEventListener(“message”,function(a){if(void 0!==a.data[“datawrapper-height”])for(var e in a.data[“datawrapper-height”]){var t=document.getElementById(“datawrapper-chart-“+e)||document.querySelector(“iframe[src*='”+e+”‘]”);t&&(t.style.height=a.data[“datawrapper-height”][e]+”px”)}})}();

Dijelaskan Rasio, penegakan hukum terhadap para pelaku Karhutla bisa berupa gugatan pidana maupun perdata. “Bagi perusahaan yang diduga terlibat kasus Karhutla, bisa dikenakan sanksi administratif seperti pembekuan izin,” jelasnya.

Saat ekuatorial.com mencoba melakukan konfirmasi ke sejumlah perusahaan yang lahannya disegel tersebut, mereka enggan menjawab.

Kepala Kepolisian (Kapolda) Riau, Irjen Pol Agung Setya Imam Effendi dalam sebuah jumpa pers di Mapolda Riau menyebut, tindak pidana Karhutla bukan kejahatan yang biasa. Dalam proses pembuktian, ada yang sulit dilakukan.

Guru besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Bambang Hero Saharjo menyebutkan kesulitan pengungkapan kasus Karhutla lantaran jumlah kasusnya cukup banyak. Sedangkan ahli yang diperlukan untuk pengungkapan kasus tersebut banyak yang tidak tersedia sehingga mengganggu proses penyelidikan maupun penyidikan.

“Selain itu, tidak sedikit pihak-pihak yang berupaya untuk menghalangi proses penyidikan. Mereka justru berasal dari instansi yang seharusnya berada di garda terdepan seperti Dinas Lingkungan Hidup di tingkat provinsi dan kabupaten. Meskipun tidak semua, namun hendaknya mereka justru ada di garis depan,” jelas Bambang yang sering menjadi saksi ahli dalam kasus Karhutla di Riau ini.

Selain itu, penerapan undang-undang yang dikenakan kepada para pembakar juga berpengaruh. Seharusnya menggunakan undang-undang tertentu tetapi justru menggunakan peraturan daerah yang ancaman hukumannya hanya beberapa bulan sehingga tidak menimbul efek jera.

“Bila semua pihak yang berwenang melakukan penegakan hukum melaksanakan fungsinya, maka banyak yang diungkap,” tegasnya.

 

Penanggulangan Karhutla

Masalah kebakaran hutan dan lahan hendaklah menjadi tanggung jawab semua pihak. Tanggung jawab dan peran tersebut terdapat dalam PP No.4 Tahun 2001.

“Jangan menggantungkan harapan kepada Kemen LHK dan BNPB saja. Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota harus bertanggung jawab pada wilayahnya. Bagaimana mungkin bisa melaksanakan kegiatan pengendalian kebakaran bila tidak tersedia dana memadai. Kalaupun ada, hanya sekedar untuk menunjukkan ada biaya namun tidak cukup. Dana hendaklah dalam jumlah layak, sehingga kebakaran yang terjadi tidak dibiarkan hingga padam sendiri atau membiarkannya hingga masuk dalam tahapan siaga darurat yang memungkinkan turunnya dana melalui BNPB,” kata Bambang menanggapi upaya penanggulangan Karhutla di Provinsi Riau.

Audit kepatuhan dalam pengendalian Karhutla kepada korporasi juga perlu dilakukan, karena izinnya diberikan oleh gubernur dan bupati. Tidak ada pilih kasih dalam upaya pengenaan sanksi atas pelanggaran yang dilakukan.

Penanggulangan Karhutla akan efektif dilakukan bila melibatkan seluruh pemangku kepentingan, bukan hanya tugas TNI/Polri dan Manggala Agni. Bagi daerah bergambut, perlu dilakukan upaya pembasahan sehingga bagian permukaan relatif lembab. Wilayah tersebut terus diawasi karena tidak ada jaminan lahan yang sudah direstorasi tidak terbakar. Kegiatan patroli terpadu diintensifkan termasuk pemantauan ketinggian muka air gambut.

“Penegakan hukum wajib didukung oleh semua pihak termasuk dari instansi di kabupaten/kota dimana korporasi berada,” pungkas Bambang.

Gerakan Perempuan dan Rakyat Riau Melawan Asap yang disingkat G-Prima berunjuk rasa di sepan Kantor Gubernur Riau, 23 September 2019. Mereka ingin menyampaikan sejumlah tuntutan ke Gubernur Riau terkait Karhutla dan kabut asap. Sumber: Winahyu Dwi Utami

 

BRG sebagai institusi yang diberi mandat oleh Presiden dalam hal restorasi ekosistem gambut di Indonesia, telah melakukan pembasahan lahan gambut rusak dan bekas terbakar seluas 670.000 ha dari target seluas 892.248 ha. Jumlah tersebut berada dalam wilayah target restorasi BRG yang merupakan tanggung jawab Negara.

“Untuk areal yang berada di dalam konsesi, BRG sebatas melakukan supervisi kepada pemegang konsesi. Fungsi tersebut tertuang dalam Perpres No.1 Tahun 2016. Sampai saat ini supervisi sudah dilakukan di lima areal konsesi yang berlokasi di Riau, Sumsel, Kalsel, Jambi dan Kalbar dengan luasan mencapai 242.260 Ha dari target 1,7 juta,” terang Kepala Biro Perencanaan dan Anggaran BRG, Didy Wuryanto.

Luas target restorasi BRG saat ini lebih kurang 2.676.601 Ha. Dari luasan target restorasi 2,6 juta Ha tersebut 1.784.353 Ha berada pada kawasan gambut pemegang konsesi (kawasan berizin), sedangkan sisanya 892.248 Ha adalah lahan gambut yang berada pada kawasan konservasi, hutan lindung, hutan produksi dan areal penggunaan lain (APL) yang tidak dikelola pemegang konsesi (pemegang izin).

Sesuai PP No. 57 Tahun 2016 bahwa restorasi gambut yang berada di kawasan tidak dikelola para pemegang ijin, misalnya di kawasan hutan produksi, hutan lindung dan APL adalah tanggung jawab pemerintah daerah. Restorasi gambut berada di kawasan konservasi adalah tanggung jawab Unit Pelaksana Teknis Kementerian LHK dalam hal ini Taman Nasional dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam.

Upaya pemulihan gambut rusak dan bekas terbakar dilakukan dengan metode pembasahan (rewetting) atau R1. Salah satu caranya adalah melalui pembasahan dengan membuat sumur-sumur bor untuk membasahi gambut yang mengering.

Langkah selanjutnya setelah lahan gambut mulai terbasahi, dilakukan revegetasi atau R2 agar pohon-pohon yang tumbuh dapat segera memulihkan kondisi lahan gambut yang menjadi target restorasi. “Proses restorasi atau pemulihan memerlukan proses lama sekali sehingga tahapan revegetasi atau R2 ini baru tahapan uji coba (model),” kata Didy.

Agar proses pemulihan berlangsung cepat dan meluas, diperlukan keterlibatan masyarakat. BRG kemudian menjalankan metoda R3 (Revitalisasi Ekonomi). Pada metoda ini, masyarakat yang berkeinginan memanfaatkan gambut tidak perlu mengeringkan. Kegiatan R3 tersebut seperti menanam pohon sagu yang memang cocok di lahan gambut, buah dan sayur serta perikanan dan hewan ternak.

“R1, R2 dan R3 ini merupakan kegiatan pokok restorasi yang akan dilaksanakan secara mandiri oleh masyarakat desa yang menginginkan lahan gambut di wilayahnya dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Dengan demikian masyarakat yang berdomisili di kawasan bergambut dapat merasakan manfaat gambut kondisi basah yang menyimpan air sekurangnya 40cm dari permukaan. Sudah ada 262 desa hasil kerjasama dengan BRG yang disebut Desa Peduli Gambut (DPG),” ungkap Didy.

 

Restorasi belum maksimal

Kritikan datang dari Jaringan Masyarakat Gambut Riau (JMGR). Banyaknya sekat kanal dan sumur bor yang dibangun jika tidak melakukan manajemen air yang baik, tetap saja areal-areal masyarakat akan mengalami kekeringan dan kebakaran.

“Kita menemukan di lapangan, perusahaan menutup pintu air yang mengarah ke areal masyarakat secara permanen ketika musim kemarau seperti sekarang. Dampaknya areal konsesi tetap basah sementara areal permukiman dan wilayah kelola masyarakat kering, sehingga mudah terbakar. Sebaliknya jika musim penghujan pintu-pintu air di perusahaan dibuka sehingga areal masyarakat kebanjiran. Solusi ini yang harus kongkrit diselesaikan oleh pemerintah, dalam hal ini BRG, KLHK dan Kementan dan otoritas lainya. Jangan selalu mengkambinghitamkan masyarakat gambut bila terjadi Karhutla,” terang Isnadi.

Menurut Isnadi, perlu dibuat sebuah road map solusi jangka panjang penanggulan Karhutla. Upaya tersebut harus didukung regulasi dan seluruh institusi terkait serta masyarakat. “Masyarakat Peduli Api (MPA) yang digagas masa pemerintahan Gubernur Annas Maamun bisa efektif bila benar-benar berjalan. Patroli MPA secara berkala, bisa mendeteksi awal keberadaan api. Api akan mudah dipadamkan bila masih kecil,” kata Isnadi.

Kapolda Riau, Irjen Pol Agung Setya Imam Effendi dalam sebuah seminar pada 15 Oktober 2019 lalu melontarkan gagasan sebuah aplikasi berbasis internet. Ia menyebutnya sebagai Dasboard Lancang Kuning. Dengan dukungan satelit, keberadaan titik api bisa dideteksi melalui aplikasi tersebut. “Kita mampu mendeteksi Polres mana yang terdekat dari lokasi titik api, sehingga bisa segera menugaskan petugas terdekat untuk memadamkan api,” kata Agung sambil mencontohkan. EKUATORIAL.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.