Di Jawa Tengah, area seluas 4 hektare mengalami abrasi. Luas itu mencakupi 13 kabupaten/kota; sepertiga dari total kabupaten/kota di pusat Jawa. Peneliti mengatakan percepatan abrasi di sepanjang pesisir Jawa Tengah merupakan masalah kompleks yang disebabkan oleh Pembangunan infrastruktur, dan pemanasan global.

Liputan ini telah lebih dahulu diterbitkan oleh Tirto.id pada tanggal 23 Januari 2020.

Oleh Ronna Nirmala/Tirto.id

Kenangan manis itu menempel di kening Pasijah. Hijaunya dusun, memetik buah-buahan kelapa atau pisang dari pekarangan, atau sekadar bercengkrama dan mengobrol bersama tetangga. Kini, ibu empat anak ini tak dapat menjalani hari-hari menyenangkan tersebut.

Air laut dari pantai utara Jawa menelan Dusun Rejosari Senik, Bedono, Demak, Jawa Tengah. Proses abrasi beberapa tahun terakhir telah menjadikan dusun itu sebagai “dusun yang hilang.” “Dulu di sini ada 300-an kepala keluarga, sekarang tinggal saya sendiri,” kata Pasijah dalam bahasa Jawa.

Sejak 2006, dusun ini mulai ditinggalkan warga karena (terendam) air. Wanita 50 tahun yang biasa disapa Mak Jah ini mengingat pertama kali menginjakkan kaki di Dusun Senik, 30 tahun silam. “Dulu jarak ke pantai dari sini (rumahnya) sekitar empat kilometer.

“Sekarang wis kerendam kabeh,” ujarnya menggambarkan semuanya telah tenggelam. Pertengahan dekade 1990-an, lambat laun air laut yang pasang mulai menggenangi dusun. Pada 2000-an, satu demi satu warga Senik mulai berpindah ke desa lain.

Sementara Mak Jah memilih bertahan karena di sinilah “tanah bapak satu-satunya,” ujarnya menyebut Rukani, suaminya. Abrasi juga menerpa dusun tetangga bernama Tambaksari, yang mendorong penduduknya pergi, kini hanya tersisa 7 keluarga dari 208 keluarga pada 1990-an.

Sebelum abrasi, Desa Bedono (yang memiliki tujuh dusun) adalah desa terluas di Kabupaten Demak. Kini, Bedono menjadi desa terkecil di Kota Wali tersebut.

Demak menjadi kabupaten terparah kedua terdampak abrasi, menurut Dinas Kelautan dan Perikanan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Sejauh ini, sudah 2.218 hektare pesisir di Demak yang hilang akibat tergerus arus laut.

Sekitar 14 kilometer ke arah tenggara dari Dusun Senik, Edi Saktiono mengalami nasib yang hampir serupa dengan Mak Jah. Tempat tinggalnya di Tambakrejo, Semarang, terancam hilang akibat abrasi.

Gambaran mudahnya, pertama kali ia datang ke Tambakrejo pada 1994, jarak garis pantai dari rumahnya masih sekitar 5 kilometer. Kini, jarak itu cuma 1 kilometer. Kita bisa menemukan lautan tanpa pasir pantai. “Saya ingat waktu anak-anak masih kecil, sering saya ajak main di pantai.

Sekarang, kalau air laut lagi tinggi saja, air sudah masuk ke rumah,” kata Edi.

Pertengahan 2000-an, Edi membangun rumah dengan posisi lantai lebih tinggi satu meter dari jalan kampung. Seiring waktu, jalan itu ditinggikan pemerintah daerah Semarang akibat kerap tergenang air. “Sejak dibangun, tanah rumah saya sudah dua kali ditinggikan sampai 1,6 meter,” ujarnya.

Kini, ketinggian lantai rumah Edi dengan jalan hanya hitungan sentimeter. Hampir semua rumah di sekitarnya saat ini berdiri di atas rumah-rumah sebelumnya. Bila tidak ditinggikan, rumah-rumah ini tampak kuntet, genteng rumah bisa disentuh tangan orang dewasa tanpa harus melompat.

Menurut Edi, sudah ada tujuh keluarga yang memutuskan pindah akibat semakin parah abrasi plus rob di wilayah Tambakrejo. “Kalau terus-menerus meninggikan bangunan, enggak nutup biayanya,” katanya.

Cepatnya penggerusan Tambakrejo, menurut ketua RW setempat bernama Slamet Riyadi, lantaran ada perluasan Pelabuhan Tanjung Mas pada tahun 2000-an, hanya berjarak 5 km dari tempat tinggal mereka, dengan cara reklamasi.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Tengah, Fendiawan Tiskiantoro, berkata kondisi parah abrasi di pesisir Demak dan Semarang, yang garis pantainya menyambung, tak terlepas dari aktivitas pembangunan di Semarang. “Teorinya, bila membangun satu kilometer menjorok ke laut, bisa sembilan kilometer kiri-kanannya yang terdampak,” kata Fendiawan.

“Karena arus laut bakal terperangkap di sekitar bangunan itu, jadi semakin menggerus (daratan) sekitarnya,” tambah Fendiawan.

Biaya mahal

Demi menghambat laju pasang abrasi di kawasan pesisir Jawa Tengah, pemerintah daerah dan pusat melakukan beragam cara. Misalnya, menanam buis beton—bahan bangunan berbentuk silinder dari beton.

“Namun, lama-kelamaan, bagian bawah buis beton keropos dan atasnya ambruk,” ujar Fendiawan.

Masyarakat pesisir diminta pemerintah untuk menanam dan melestarikan bakau, yang menurut klaim Fendiawan, perkara ini tergantung masyarakat. “Bakau kalau sudah besar ditebang untuk membuka tambak,” ujarnya. “Sudah berkali-kali kami peringatkan, tapi memang masih susah.”

“Edukasi tidak selalu beriringan dengan kebutuhan ekonomi masyarakat,” tambahnya, menjelaskan masyarakat menilai melestarikan mangrove minim keuntungan ekonominya. Cara yang menurut Fendiawan paling ampuh adalah menggunakan tanggul laut, yang telah dilakukan pemerintah pusat di sepanjang jalur pesisir Semarang-Demak.

Namun, biayanya sangat besar. “Semakin maju teknologinya, semakin mahal biayanya. Jadi terbatas pembuatannya,” ujarnya.

Sejatinya, pembangunan tanggul juga bukan jalan keluar yang ampuh. Pada 2015, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat membangun tanggul berbentuk U selebar 825 meter, dengan anggaran Rp156 miliar, tapi kini sudah terendam air.

Parahnya lagi, abrasi di pantai utara Jawa Tengah merupakan anomali, menurut Jafron Asiq Hidayat, peneliti dari Universitas Diponogoro, Semarang. Menurut Jafron, daerah yang terkena abrasi biasanya berkolerasi dengan akresi alias sedimentasi di sisi lainnya.

Masalahnya, yang terjadi di Jawa Tengah berbeda. Proses akresi lebih lambat dibandingkan abrasi. “Di Jawa Tengah, yang terjadi abrasi sekitar 4.000 hektare dan akresi sekitar 2.000 hektare,” katanya. Angka itu meliputi 13 kabupaten/kota di Jawa Tengah—alias hampir sepertiganya dari total kabupaten/kota di pusat Jawa. “Mulai dari Rembang, Pati, Jepara, Demak, Semarang, hingga Brebes sudah terdampak abrasi,” ujarnya.

Jafron berkata percepatan abrasi di sepanjang pesisir Jawa Tengah terkait perubahan hidro-oseanografi (pasang surut, arus, dan gelombang). “Ombaknya sudah sangat kita rasakan saat ini,” tambahnya. Perubahan hidro-oseanografi dapat dipengaruhi oleh pemanasan global alias krisis iklim karena meningkatnya temperatur udara sehingga air laut memuai dan berujung naiknya permukaan air laut, ujar Jafron.

“Jadi, masalah ini di Jawa Tengah memang kompleks. Pembangunan infrastruktur dan faktor alam saling terkait,” katanya.

 

Abrasi menghancurkan ekonomi warga

Pada 1980-an, Muhyasir dikenal orang kaya di Mangunharjo, Semarang, memiliki 4 hektare tambak bandeng atau udang. Sekali panen udang, katanya, ia bisa meraup pendapatan dengan nilai sekarang Rp300.000-400.000. “Itu baru udang putih, bukan udang windu. Uang dulu turah-turah (berlebih),” katanya.

Waktu yang memberi kesempatan, waktu pula yang membatasinya. Memasuki dekade 2000-an, perlahan tapi pasti hasil tambaknya tak lagi sekaya dulu. Ia pinjam sana-sini, menjual tambaknya karena kena abrasi, sementara untuk membuat tambak baru lagi, biayanya mahal, ujarnya.

Kini Muhyasir mengikuti jejak Sururi, penjaga lingkungan setempat: memelihara dan membudidayakan bakau. Ia meyakini abrasi telah membuat semuanya lenyap; melenyapkan masa kejayaannya sebagai petambak. Sururi, petani bakau setempat, berkata dulu masyarakat pesisir utara Semarang dan Demak membabat lahan-lahan mangrove demi membuka lahan tambak.

Kini jarang yang memiliki tambak “Mayoritas (tambak) sudah dijual. Kini banyak warga yang nelayan atau kerja di pabrik. Hasil tambak sudah tak sebaik dulu,” ujarnya.

Proyek kolaborasi ini didukung dana hibah dari Internews’ Earth Journalism Network (EJN), organisasi nirlaba lingkungan hidup, dan Resource Watch, lembaga penelitian internasional yang berfokus pada isu-isu keberlangsungan masa depan.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.