Selain warga yang lanjut usia dan memiliki penyakit bawaan, penyintas kanker dan komunitas difabel, juga memiliki risiko tinggi terinfeksi Covid-19 dan risiko nya. Pemerintah dituntut mengeluarkan rencana yang terukur untuk memastikan layanan dan jaminan kesehatan bagi kelompok rentan.

Oleh May Rahmadi

JAKARTA. Dian Panglipur (30) terpaksa tak maksimal melindungi tubuhnya di tengah kekhawatiran penyebaran Covid-19. Penyintas kanker yang berpofesi sebagai tenaga marketing ini mengeluhkan kesulitan mendapatkan masker sementara ia tetap harus bekerja, menyambangi sejumlah lokasi, dan bertemu banyak orang.

“Kadang kalau kehabisan, saya pergi tanpa masker, itu kan nggak bagus. Mau beli yang kain, tapi kayaknya kurang bagus. Ini serba salah juga,” tutur Dian saat dihubungi Ekuatorial.com, minggu lalu.

“Paling ya, mengisolasi diri, nggak ke mana-mana. Tapi kan nggak mungkin terus-terusan, saya kan butuh makan juga, butuh kehidupan. Ini yang harus dipikirkan pemerintah dalam penyediaan masker dan sanitizer,” lanjutnya.

Jangankan untuk kelompok dengan daya tahan tubuh rentan, sepekan setelah Jokowi mengumumkan kasus positif Covid-19, masker untuk masyarakat pada umum nya mendadak langka. Barang lain seperti hand sanitizer maupun alkohol pun menjadi sulit didapat.

 Sejumlah apotek, klinik, hingga toko serba ada di kawasan Jakarta Selatan dan Jakarta Timur kehabisan stok masker dan tulisan “masker kosong” terpampang di sejumlah toko.

Pegawai Apotek Prima Farma di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan, menyatakan masker mulai kosong sejak pekan pertama Februari lalu dan iapun mengatakan belum tahu kapan stok berikutnya akan datang.

Hal serupa juga terjadi di Apotek Century di areal Rumah Sakit Pondok Indah Jakarta Selatan. “Sudah habis. Sudah lama, belum datang lagi,” kata petugas apotek saat ditemui Ekuatorial.com pertengahan Maret 2020.

Serbuan warga itu diperkirakan terlihat sejak akhir Januari 2020 yang ditandai dengan menghilangnya masker pada Maret 2020.

 Dian berharap, pemerintah memikirkan mekanisme agar kelompok rentan seperti penyintas dan penderita kanker mendapatkan prioritas saat membeli alat pelindung diri – seperti masker.

Menurutnya, kartu pengobatan bisa menjadi tanda prioritas. Jadi, apotek yang menjual masker itu perlu melihat kartu pengobatan pasien agar diprioritaskan.

“Itu (masker) kami sangat membutuhkan. Kalau kondisi seperti kami, eks-eks kanker ini untuk pelindung diri, perlu masker dan sanitizer itu,” kata dia. “Karena daya tahan tubuh kami kan berbeda dengan orang normal seperti biasa. Apalagi kalau orang yang eks-kanker, yang sudah pernah terserang. Kalau dilihat secara kasat mata, oh sehat. Tapi secara daya tahan tubuhnya itu lemah, dan lebih rentan virus masuk,” lanjut Dian.

Situasi lebih rumit lagi dialami penderita yang masih menjalani pengobatan. Berdasarkan pengalaman, pengidap kanker dalam masa pengobatan memiliki daya tahan tubuh yang jauh lebih rentan.

“Kalau yang survivor sudah mengerti cara mengelolanya. Yang masih pengobatan itu, kita kan bicara leukosit, leukosit mereka itu rendah, karena habis dihajar obat kemo–obat kemo kan keras ya untuk melawan virus–jadi itu daya tahan tubuhnya masih labil,” kata perempuan yang pernah menjalani perawatan untuk penyembuhan kanker getah bening tersebut.

Belum lagi jika menghadapi kondisi pengobatan rutin yang terpaksa tertunda lantaran wabah corona. “Sudah pusing dengan pengobatan, lalu pusing dengan masker, belum lagi isu-isu Covid-19 ini membuat daya pikir lebih stres, imun kan juga terpengaruh. Ini kan menimbulkan kekhawatiran,” kata dia.

Peneliti dari Pusat Penelitian Kanker Fred Hutchinson di Seattle, Amerika Serikat, menyatakan pasien kanker memiliki resiko terinfeksi Covid-19 lebih tinggi. Kendati, studi mengenai virus Covid-19 sampai saat ini dipercaya masih terus berubah.

“Pasien dengan kanker darah ganas, kami percaya akan memiliki risiko terbesar,” Dr. Steve Pergam, peneliti penyakit klinis dan infeksi di Fred Hutchinson mengatakan dalam keterangan di website resmi lembaganya. “Juga, pasien yang menjalani kemoterapi aktif dan pasien transplantasi sumsum tulang. Mereka adalah orang-orang dengan defisit kekebalan tubuh yang paling dalam.”

Sementara Dr. Gary Lyman, seorang ahli onkologi dan pakar kebijakan kesehatan di Hutch, menambahkan bahwa bahkan mereka yang sudah keluar dari perawatan, mungkin ingin ekstra hati-hati.

“Risiko ini melampaui periode perawatan aktif,” jelasnya. “Efek setelah pengobatan tidak berakhir ketika orang menyelesaikan terapi terakhir mereka atau meninggalkan rumah sakit setelah operasi. Efek setelah kanker dan efek imunosupresif dari pengobatan dapat bersifat jangka panjang,” lanjut Gary.

Layanan dan jaminan kesehatan masyarakat difabel

Keresahan serupa diutarakan Masyarakat Difabel Indonesia. Mereka menilai, kerentanan difabel dalam situasi wabah ini belum direspons secara menyeluruh oleh pemerintah.

Direktur Sentra Advokasi Perempuan Difabel dan Anak (SAPDA), sebuah organisasi advokasi hak perempuan difabel, yang juga anggota koalisi Masyarakat Difabel Indonesia, Nurul Saadah Andriani mengatakan, sebagian orang barangkali menganggap desakan ini berlebihan.

Namun ia merasa antisipasi ini perlu dipikirkan sejak awal.

 Apalagi mengingat hingga kini pemerintah sama sekali belum pernah mengungkapkan rencana yang terukur untuk memastikan layanan dan jaminan kesehatan bagi kelompok difabel.

“Terkait layanannya, bagaimana rumah sakit-rumah sakit tersebut aksesibel bagi teman-teman difabel. Sekarang kan posisinya, pasti ini berkaitan dengan emergency respons semua orang, tapi kami ingin memastikan lagi layanan tersebut tetap aksesibel bagi kelompok difabel atau tidak,” kata Nurul.

Catatan lain, pemerintah diminta menyampaikan informasi dengan bahasa yang mudah dipahami. “Tidak semua (teman-teman difabel) memiliki pendidikan tinggi, terkait keberagamannya,” lanjut dia.

 Di dalam koalisi Nurul menjelaskan, ada pembahasan serius mengenai nasib disabilitas di tengah merebaknya wabah Covid-19.

Disabilitas netra, misalnya, sedang merasakan dilema.

 “Kan rata-rata tukang pijat. Itu kan sangat rentan terpapar. Kalau mereka tidak memijat, maka mereka tidak mendapat penghasilan. Ini kan semacam dilema yang luar biasa. Ini bagaimana sebetulnya peran pemerintah dalam mengatasi ini, memberikan jaring pengaman ke mereka,” kata dia.

Lain lagi dengan kelompok penderita cerebral palsy, difabel yang membutuhkan caregiver (pengampu). Nurul yang seorang difabel polio – bagian kaki kirinya layu—mengungkapkan, kelompok ini tak bisa dengan mudah melakukan sesuatu secara mandiri. Padahal, kondisi mengharuskan satu sama lain untuk menjaga jarak sosial (social distancing).

“Kalau dikaitkan dengan wabah ini, kemungkinan mereka akan terpapar, mereka bisa kena. Karena mereka kan akan sulit menjaga jarak dengan orang-orang. Mereka bisa jadi sangat bergantung – misalnya, digendong atau diurusin,” terang Nurul.

“Atau kalau disabilitas intelektual, kalau dikasih tahu – jangan dekat-dekat dengan orang yang batuk – entah itu oleh gurunya, orang tua atau pengasuhnya, itu kan susah,” jelas Nurul.

 Ditambah lagi jika dikaitkan dengan daya tahan tubuh kelompok difabel yang dianggap lebih rentan.

Nurul mengatakan, belum ada data pasti ataupun basis penelitian soal ini, namun berbekal pengalaman, ia khawatir dengan tingkat imunitas kelompok difabel.

 “Sebetulnya secara sebagian, seperti disabilitas fisik, netra, tuli, itu rata-rata daya tahan tubuhnya setara lah. Tapi teman-teman disabilitas intelektual, dengan cerebral palsy itu, ketahanan tubuhnya dalam situasi biasa pun kerap naik-turun. Mereka sering bergantung harus ke rumah sakit atau ke dokter. Dengan ketidakpahaman situasi ini pun mereka akan jauh lebih rentan,” kata dia.

Sebanyak 13 organisasi yang tergabung dalam koalisi Masyarakat Difabel Indonesia tersebut telah menyampaikan masukan ke tim kepresidenan dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Sementara demi mengikuti perkembangan wabah Covid-19, koalisi juga menjalin komunikasi antar-komunitas.

Nurul juga meminta dukungan dan jaminan pemerintah untuk memastikan keterjangkauan informasi hingga ke level komunitas.

“Berkaitan dengan surat kami, sebenarnya ada teman kami yang di staf khusus presiden itu, katanya sudah ditanggapi dengan baik. Berkaitan dengan juru bicara isyarat terkait konferensi pers, alhamdulillah sudah mulai,” tutur Nurul.

Terkait pelbagai keterbatasan yang membuat kelompok difabel lebih berisiko di tengah wabah Covid-19, maka ahli kesehatan masyarakat Nurul Nadia mengingatkan agar kelompok ini, terutama yang memiliki gangguan imunitas atau penyakit bawaan, agar lebih waspada.

Menurutnya, meskipun sampai saat ini memang belum ada spesifik perbedaan dampak infeksi Covie-19 pada kelompok difabel, dapat dipastikan bahwa kelompok dengan imunitas rendah dan penyakit bawaan rentan mengalami gejala yang lebih berat dari mereka yang lebih sehat.

“Yang jelas, kelompok dengan gangguan daya tubuh, atau mungkin kelompok difabel dengan masalah imunitas, itu akan memiliki gejala yang lebih berat. Jadi harus hati-hati,” jelas dokter dan peraih beasiswa Fullbright tingkat master di Harvard School of Public Health tersebut.

Ekuatorial.com telah mencoba meminta penjelasan mengenai langkah perlindungan terhadap kelompok rentan di tengah wabah corona ini, namun hingga tulisan ini diturunkan, Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Agus Wibowo, belum memberikan tanggapan.

Sejauh ini, kelompok rentan yang disebutkan pemerintah berdasarkan rekam jejak kasus, adalah orang lanjut usia dan mereka dengan penyakit bawaan. Belum ada penelitian spesifik (di Indonesia) yang menyatakan kelompok difabel dan penderita kanker merupakan kategori kelompok rentan.

Namun fakta yang mengemuka, virus penyebab Covid-19 ini menyimpan risiko tinggi orang bagi orang yang memiliki tingkat imunitas tubuh yang rendah dan yang memiliki penyakit bawaan (underlying disease).

Data Pusat Data dan Informasi Kementerian Sosial pada 2010 saja mencatat jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai lebih dari 11 juta orang. Jumlah ini meliputi disabilitas penglihatan, pendengaran, mental dan disabilitas kronis.

Sampai saat ini, belum terdapat data yang lebih baru.

 Sementara itu, data pada laman Kementerian Kesehatan (Kemenkes), memperlihatkan kejadian penyakit kanker di Indonesia mencapai 1.362 per 100.000 penduduk. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kemenkes menunjukkan peningkatan prevalensi penderita tumor atau kanker dari 1,4 per 1.000 penduduk pada 2013 menjadi 1,79 per 1.000 penduduk pada 2018.

Penyebaran virus penyebab Covid-19 yang terkuak pertama kali di Wuhan, China, pada Desember 2019 lalu, saat ini telah menjalar ke lebih 170 negara lain. Data Jumat Minggu (27/3) pada laman John Hopkins University menunjukkan jumlah kasus infeksi Covid-19 yang telah terkonfirmasi mencapai 532,253 orang.

Angka tersebut merupakan kasus dari seluruh dunia, termasuk Indonesia.

 Hingga berita ini dinaik kan, total kasus terinfeksi di Indoensia sebanyak 893, total kematian 78, sementara kasus yang sembuh sebanyak 35. Sementara masih ada 647 kasus aktif.

Presiden Joko Widodo mengumumkan dua kasus positif pertama di Indonesia pada 2 Maret 2020 lalu. Hingga Sabtu (21/3) jumlah kasus positif sudah mencapai 45, dengan 38 orang meninggal dan 20 orang sembuh. Juru bicara khusus penanganan virus corona Achmad Yurianto sempat menaksir ada 600.000 hingga 700.000 orang yang berisiko terinfeksi di negeri ini. Ekuatorial.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.