Media massa memiliki peran besar untuk mendorong penggunaan energi terbarukan di Indonesia. Namun, dibutuhkan pengetahuan lebih mendalam tentang sektor ini, dan masih adanya tekanan-tekanan dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan terhadap media di Indonesia.

Oleh May Rahmadi

Wacana energi terbarukan (ET) dan transisi energi (TE) di media-media nasional masih belum menjadi isu utama. Padahal, isu ini penting untuk mendorong pemanfaatan energi bersih dan mencegah buruknya dampak perubahan iklim.

Hal tersebut menjadi topik pembicaraan dalam diskusi ‘Forum Editor: Peran Media Massa dalam Mendorong Urgensi Transisi Energi di Indonesia’ pada Sabtu (1/8) lalu. Acara tersebut terselenggara atas kerjasama Institute for Essential Services Reform, Society of Indonesian Environmental Journalists, dan Earth Journalism Network.

Dalam forum tersebut, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa menjelaskan, isu energi amat penting untuk terus dibahas dan mendapat perhatian serius. Pasalnya, ketika banyak negara di dunia mulai memikirkan penggunaan ET, Fabby memandang, Indonesia justru terlihat sangat lamban dalam mempersiapkan diri.

“Kita sejak empat sampai lima tahun terakhir bergantung pada fossil fuel. Transisi energi adalah sebuah proses menuju sistem energi yang lebih bersih, khususnya berbasis pada energi terbarukan,” katanya.

Memang, Fabby melanjutkan, saat ini struktur ekonomi kita sangat ditunjang oleh fossil fuel. Bahan bakar fosil bukan hanya menjadi komoditas primer untuk perdagangan internasional, tetapi juga untuk mendukung ekonomi dalam negeri.

“Batu bara, misalnya, sudah menjadi komoditas penting terutama di daerah-daerah penghasil batu bara di empat provinsi. 90 persen batu bara kita dihasilkan di empat provinsi: Kaltim, Kalsel, Kalteng, Sumsel. Implikasinya, revenue dari tambang batu bara itu berkontribusi cukup besar terhadap PDRB (produk domestik regional bruto). Kaltim itu mungkin sampai 30 persen,” lanjutnya.

Padahal, transisi energi ini berkaitan dengan perubahan iklim. Fabby menjelaskan, ada lima strategi utama dalam mempercepat transisi energi untuk mengendalikan perubahan iklim tersebut.

Pertama, mempercepat pembangunan ET untuk mengejar bauran ET minimum sebelum permintaan bahan bakar fosil mencapai fase puncak. Prediksinya, permintaan bahan bakar fosil akan mencapai fase puncak dalam satu dekade ke depan

Kedua, mempensiunkan dini (early retirement) pembangkit energi fosil yang sudah tidak efisien dan atau melewati umur ekonomisnya, khususnya dari pembangkit listrik berbasis minyak (PLTD) dan batu bara (PLTU).

Ketiga, menghentikan pembangunan pembangkit energi fosil baru, khususnya PLTU batu bara, yang akan semakin tidak ekonomis dari teknologi energi surya dan bayu yang setiap tahun menurun.

Keempat, melarang pembangunan PLTU baru untuk memperbesar ruang bagi pembangkit-pembangkit ET. Selain itu, pemerintah juga perlu memperkecil kapasitas rencana pembangunan energi fosil lainnya.

Kelima, menutup secara bertahap pembangkit-pembangkit energi fosil (terutama dari PLTU) sebelum memasuki fase penurunan panjang permintaan bahan bakar fosil, untuk menghindari terjadinya aset dan infrastruktur energi yang terdampar.

“Indonesia perlu melakukan transisi energi menuju sistem energi bersih untuk meningkatkan ketahanan energi dan menghindari beban ekonomi akibat listrik yang tidak kompetitif di masa depan,” katanya.

Di bawah pemerintahan saat ini, Indonesia telah menargetkan 23% bauran energi terbarukan dari total konsumsi energi nasional pada tahun 2025, dan 31% pada tahun 2050. Direktorat Jendral Energi Terbarukan dan Konservasi Energi masih mengembangkan peta jalan pengembangan energi terbarukan, untuk tidak hanya mencapai target nasional tersebut, tetapi juga memenuhi komitmen Indonesia di Perjanjian Paris, iaitu mengurangi 29% emisi gas rumah kaca pada tahun 2030 sendiri, atau 41% dengan bantuan internasional pada tahun 2040.

Membumikan isu energi & tekanan politik

Jurnalis Harian Kompas Aris Prasetyo menyampaikan, ada beberapa persoalan yang membuat isu tersebut tidak menarik perhatian media. Salah satunya, sektor energi yang membutuhkan pemahaman teknis mendalam.

Di Indonesia, banyak jurnalis bahkan orang-orang di redaksi yang tidak memiliki pemahaman tersebut. Aris bahkan mengakui, ketika pertama kali dirinya mengemban tugas untuk meliput isu ekonomi-energi, dirinya tidak punya pemahaman apapun.

“Wong lulusan Fakultas Kehutanan, disuruh menulis energi,” katanya. “Maka saya membeli banyak sekali buku-buku untuk memahami isu energi, yang memiliki banyak sekali istilah teknis.”

Dia juga menceritakan, pernah suatu kali, seorang Menteri datang ke kantor suatu redaksi media dan mengeluarkan uang USD 100 dari sakunya. Uang tersebut akan diberikan jika ada yang bisa menjawab satu istilah teknis mengenai isu energi. Namun, tidak ada yang bisa menjawabnya.

Oleh sebab itu, menurut Aris, memang butuh pemahaman lebih untuk menulis isu energi. Dengan begitu, pembaca akan lebih mudah memahami pentingnya isu ini.

“Tugas kita menulis sesuatu yang rumit dengan cara yang sederhana supaya publik bisa memahami,” kata Aris.

Namun di sisi lain, hampir semua media nasional yang berada di Jakarta, justru kerap menulis tema liputan energi yang rumit. Biasanya, mencakup aspek-aspek permasalahan di hulu.

Hal ini berbeda dengan jurnalis-jurnalis di daerah yang lebih sering memberitakan permasalahan di hilir seperti pembelian Bahan Bakar Minyak yang mengantre dan mahal, kelangkaan BBM, dan pemadaman listrik. Tema-tema itu sangat membumi dan dekat dengan keseharian orang.

“Kalau jurnalis di Jakarta yang dekat dengan pengambilan kebijakan, rantai bisnis, dan keputusan politik, itu ngomongin isu misalnya bagaimana menjalankan proyek 30 ribu mega watt, bagaimana program pembangunan smelter,” katanya. “Saya rasa publik tidak akan peduli listrik dari mana apakah dari ET, batu bara, atau gas. Publik tidak mempersoalkan bagaimana BBM didapat.”

Jurnalis Metro TV Agus Rakasiwi menambahkan, selain masalah teknis tersebut, media-media nasional acap kali memiliki tekanan secara tidak langsung. Pasalnya, isu energi ini berkaitan dengan banyak kepentingan.

“Ada tekanan politik, sosial politik, politik ekonomi, yang menyebabkan sebuah media di pusat atau di Indonesia memiliki persoalan yang sama,” katanya.

Eks wartawan yang kini menjadi anggota Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) Bambang Harymurti menambahkan, wartawan-wartawan di daerah juga harus berhadapan dengan ancaman intimidasi.

“Jangankan wartawan, LSM pun takut karena ada ancaman intimidasi,” katanya. “Wartawan tidak berani menyentuh. Bahkan Gubernur-nya saja, kalau tidak nurut dengan pengusaha, bisa jadi masalah. Itu hal yang riil di lapangan. Bisa dibayangkan, ada konflik kepentingan yang besar.”

Isu energi ini, menurut jurnalis Mongabay Indonesia Sapariah Saturi, memang perlu terus-menerus disuarakan. Dia menyadari, isu tersebut tidak mendapat banyak perhatian. Namun, isu ini penting. Itu sebab, para pekerja media harus terus mencari cara agar wacana ET menjadi bahasan arus utama.

Menurut Spariah media perlu mengangkat inisiatif masyarakat atau komunitas daerah yang bergerak kearah energi terbarukan. Liputan pun perlu lebih menyeluruh dan meliputai tidak hanya soal kebijakan dan sektor ekstraktif, namun juga perusakan lingkungan yang terjadi, agar pembuat kebijakan lebih melihat apa yang terjadi di lapangan.

“Mari kita jadikan isu ini sebagai isu mainstream. Dengan berkumpul begini, pelatihan-pelatihan, atau kolaborasi, ini akan jadi langkah kecil yang bisa dilakukan untuk menjadikan isu energi terbarukan ini menjadi mainstream,” tekan Sapariah.

Selain Aris, Agus, dan Spariah, turut hadir dalam forum ini adalah editor dan wartawan dari 14 media lainna di  Indonesia termasuk ANTARA News, The Jakarta Post, CNN Indonesia, Kompas, the Conversation Indonesia, dan VOA Indonesia. Ekuatorial.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.