Para pemikat menggunakan lem tikus hingga rekaman suara untuk menjerat burung dan kerap berhadapan dengan binatang buas. Meski demikian, harga dan permintaan tinggi tak membuat pemikat lebih sejahtera karna mereka berada di rantai terbawah perburuan dan penyelundupan burung.

Liputan ini adalah bagian kedua dari liputan investigatif perburuan burung liar di Pulau Sumatera dan telah lebih dulu diterbitkan oleh majalah Tempo pada tanggal 5 September 2020.

Oleh Mustafa Silalahi

BURUNG trocok (Pycnonotus goiavier) sebesar ibu jari orang dewasa mengepakkan sayap ke segala arah. Ia tak bisa terbang. Kedua kakinya menempel di ranting semak di kawasan hutan lindung Konak, Jalan Lintas Taba Penanjung, Kabupaten Kepahiang, Bengkulu. Jumat sore, 3 Juli lalu, burung itu terperangkap di lem tikus yang dioleskan ke ranting.

Dari jarak sekitar 20 meter, Afrizal, 43 tahun, yang meracik dan mengoleskan lem, mendekati burung berkelir hijau dan cokelat muda itu. Ia membekap trocok itu, lalu melepaskan cakarnya dari lem. Sejenak memperhatikan burung itu, Afrizal lalu melemparkannya ke udara. “Jenis kelaminnya betina, biar ia bertelur saja,” ujarnya kepada Tempo yang mengikuti aktivitasnya. “Lagian terlalu murah kalau dijual.”

Baca liputan utama Kotak Maut Si Burung Kicau

Warga Kota Bengkulu itu berangkat ke hutan lindung Konak untuk berburu burung kicau sejak siang. Afrizal salah satu pemikat—sebutan untuk pemburu burung—senior di wilayah Bengkulu. Dia sudah puluhan tahun memburu burung. Di lengan kanannya tertoreh tato burung merak. Namun, dengan berbagai pengalamannya, hari itu dia pulang tanpa hasil. Hujan gerimis di sekitar hutan sepanjang hari membuat burung jarang muncul.

Itu sebabnya wajahnya tampak murung sore itu. Afrizal mengaku memikat burung demi menafkahi keluarganya. Memikat burung, kata dia, cuma bisa menutupi kebutuhan dapur. “Tak akan bisa naik haji,” ujarnya. Bersama istri dan tiga anaknya, Afrizal mengontrak rumah petak di Kota Bengkulu. Jika tak masuk hutan, dia kerap bekerja serabutan.

Afrizal sempat menikmati masa jaya menjadi pemikat burung kicau beberapa tahun lalu. Puluhan burung kicau bisa ditangkapnya dalam sehari. Selain menangkap trocok, ia biasa menangkap puluhan kolibri ninja (Leptocoma spreata), pleci (Zosterops flavus), dan berbagai jenis burung lain. Afrizal menjual burung-burung jantan itu kepada pengepul dengan harga Rp 4.000-6.000 per ekor. Jika bernasib baik, ia bisa membawa pulang hingga Rp 200 ribu, setidaknya tiga kali dalam sepekan.

Pendapatannya kini berkurang hingga separuh. Penyebabnya: burung-burung kicau bersarang lebih jauh ke dalam hutan. Jumlahnya pun sudah berkurang. Dua tahun lalu, Afrizal cukup memikat burung dari pinggir hutan. Kini dia membutuhkan waktu dua jam berjalan kaki menerobos hutan lindung demi menemukan habitat burung.

Afrizal, pemikat burung kicau asal Bengkulu, saat memperagakan cara memikat burung menggunakan lem khusus di hutan kawasan Kepahiang, Bengkulu, 3 Juli 2020. Foto: Mustafa Silalahi

Agung, pemikat di kawasan Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat, merasakan hal serupa. Meski wilayah perburuannya berdekatan dengan hutan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBTP), mencari burung di kawasan itu lebih susah setidaknya setahun belakangan. “Pleci itu burung yang gampang ditemui di semak-semak, tapi sekarang sudah susah,” tuturnya, Kamis, 3 September lalu.

Apalagi pembalakan liar makin marak di sekitar hutan. Pohon-pohon tempat burung bersarang pun ikut menyusut. Suara gergaji mesin para pembalak, kata Agung, membuat burung takut. Para pemikat ikut takut masuk ke hutan karena hewan buas semacam beruang dan harimau sering turun gunung akibat pembalakan. Agung mengaku sering bertemu dengan ular besar di pepohonan saat memikat burung. “Berburu burung ini sekarang taruhannya nyawa,” ujarnya. Agung kerap menyimpan sendiri hasil buruannya karena merasa sayang menjual burung yang diperolehnya dengan susah payah.

Menjerat buruannya, Agung tak hanya menggunakan lem. Sesekali dia menjerat burung dengan jaring yang diikat di atas pohon. Agar burung berdatangan, dia menggunakan rekaman suara burung dari telepon seluler yang diletakkan di dekat perangkap. Metode ini menggantikan metode memikat lawas yang meletakkan burung hidup di dekat perangkap demi memancing kedatangan burung lain.

Direktur Komunikasi Flight: Protecting Indonesia’s Birds, Nabila Fatma, mengatakan berkurangnya populasi burung kicau di sekitar hutan Pulau Sumatera karena masifnya penangkapan dan penyelundupan ke Pulau Jawa. Dalam sehari, rata-rata 3.250 burung ditangkap di hutan. Flight memperkirakan, dalam setahun belakangan, burung kicau Sumatera berkurang lebih dari 1 juta ekor karena perburuan ilegal.

Afrizal tak membantah fenomena ini. Namun dia tetap berburu karena permintaan burung kicau masih tinggi. Sesekali ia berburu burung yang dilindungi karena harganya lebih mahal. Jika menangkap burung cililin (Platylophus galericulatus), misalnya, ia menjualnya Rp 400 ribu. Di tangan pedagang, harga burung itu bisa lebih dari dua kali lipatnya. Afrizal sadar cililin masuk kategori hewan dilindungi. Ketahuan memburunya bisa dipidana maksimal 5 tahun dan denda hingga Rp 100 juta. “Tapi keluarga aku harus dikasih makan,” katanya.

Memburu cililin atau cucak hijau (Chloropsis cochinchinensis) dibutuhkan keringat lebih deras. Afrizal harus menginap di tengah hutan karena habitatnya berada di punggung bukit berpohon lebat. Menurut dia, status cililin yang dilindungi justru membuatnya makin dicari dan bertambah mahal.

Meski demikian, harga tinggi itu tak membuat pemikat lebih sejahtera. Nabila Fatma mengatakan para pemburu burung—jumlahnya diperkirakan puluhan orang dan tersebar di berbagai penjuru Sumatera—hidup pas-pasan karena berada di rantai terbawah perburuan dan penyelundupan burung kicau. “Keuntungan terbesar ada di para pengepul dan pedagang,” ujarnya.

Harga burung kicau yang diperoleh para pemikat bisa berkali lipat ketika berada di tangan pedagang. Itu sebabnya, omzet seorang pedagang burung bisa mencapai ratusan juta rupiah per bulan atau miliaran rupiah per tahun. Pedagang burung di Bandar Lampung yang biasa dipanggil Nur Kios membenarkannya. Dalam seminggu, dia bisa menjual ribuan burung.

Nur pernah berurusan dengan Balai Karantina dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Bandar Lampung karena dituduh menyelundupkan burung kicau ke Pulau Jawa. Burung-burung dagangannya yang diduga ilegal pun disita. Memiliki beberapa kendaraan, Nur menjual salah satu mobilnya kepada pengepul di salah satu daerah di Sumatera untuk menutup kerugian akibat penyitaan itu. Peristiwa itu tak membuat dia kapok. “Saya ini pedagang resmi dan terdaftar yang harus merangkak lagi,” ucapnya.

Pemikat seperti Afrizal tak merasa iri melihat kemakmuran para pengepul. Untuk menjadi pedagang atau pengepul burung kicau, kata dia, harus memiliki modal besar. Afrizal merasa tak bisa menjadi pedagang karena tak memiliki jaringan pembeli, baik di Bengkulu maupun di Jawa.

Sejauh ini, ia hanya mampu “naik level” menjadi koordinator pemikat. “Kalau ada yang memesan burung, tinggal saya kerahkan pemikat lain,” ujarnya. Pendapatannya tetap saja kecil karena harus berbagi hasil dengan pemikat lain. Bedanya, ia tak perlu sering-sering masuk-keluar hutan lagi.

 Liputan investigatif ini merupakan kerjasama antara Tempo dan Internews’ Earth Journalism Network.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.