Perlu regenerasi petani muda di Indonesia karena zaman dan struktur demografi telah didominasi generasi millennial. Belum banyak yang terjun ke dunia pertanian, walaupun prospek bisnisnya cukup menjanjikan

Semarang, JAWA TENGAH. Pandemi COVID-19 masih melanda Indonesia dengan jumlah kasus positif virus coronanya terus meningkat.

Kondisi tersebut berdampak pada semua sektor, khususnya kesehatan dan aspek kehidupan ekonomi serta sosial masyarakat. Tak terkecuali sektor pertanian dan karenanya secara tidak langsung mengganggu sistem pangan Indonesia.

Data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) memperlihatkan ketenagakerjaan di bidang pertanian mengalami kontraksi mencapai 4,87 persen, sementara produksi pertanian domestik menyusut sebesar 6,2 persen saat pandemi.

Meski terganggu, sektor pertanian masih potensial menjadi tumpuan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertanian menjadi satu-satunya sektor yang mengalami pertumbuhan positif, sebesar 2,19 persen pada Agustus 2020. Pertanian bahkan mampu tumbuh dari 5 sektor penyumbang ekonomi nasional yang sedang mengalami kontraksi 5,3 persen.

Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo melalui laman resmi Kementerian Pertanian menyatakan hortikultura sayur mayur menjadi salah satu subsektor pertanian yang berperan dalam mendukung perekonomian nasional.

Keadaan itu sejalan dengan semakin mendesaknya keberadaan hortikultura, khususnya sayuran dalam kehidupan sehari-hari, baik sebagai sumber asupan vitamin dan mineral, maupun bahan baku produk olahan.

Apalagi ketika pandemi, produk sayur mayur organik diburu karena dipercaya menyehatkan tubuh, dan juga mempunyai khasiat serta menjaga imunitas tubuh.

Dampak positif

Sayuran Organik Merbabu Farm (SOM), unit usaha budidaya dan pemasaran sayuran organik di Dusun Sidomukti, Desa Kopeng, Kecamatan Getasan, di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah ikut merasakan dampak positif saat pandemi.

Ditengah keterbatasan kondisi serta kerja keras, produk SOM masih tetap eksis dan konsisten menghasilkan pangan sehat bagi sesama. Karena proses pembenihan, pembibitan, produksi tanaman, hama dan penyakit dalam pertanian organik sama sekali tidak menggunakan bahan kimia.

Pemilik SOM, Shofyan Adi Cahyono merupakan milenial asli daerah tersebut yang sudah menggeluti jagat pertanian organik sejak 2014. SOM bahkan telah berstandar SNI dan mendapat sertifikasi Organik Indonesia dari Lembaga Sertifikasi Organik (INOFICE).

Shofyan yang kini baru berusia 25 tahun, awalnya tak menyukai bahkan tidak berkeinginan terjun ke dunia pertanian. Cita-citanya sejak SMA sebenarnya adalah menjadi pengusaha warung internet (warnet).

“Seperti dengan anak muda lainnya, suka dengan teknologi. Makanya waktu SMA pengin cita-cita masuk kuliah di teknologi informasi (TI). Mimpinya saat itu, enak hanya duduk-duduk bisa internetan dan main media sosial, dapat uang, gak perlu panas-panasan dan kotor-kotoran (seperti di pertanian),” akunya kepada Ekuatorial ketika ditemui pada hari Sabtu, 22 Agustus 2020.

Mimpinya untuk berkuliah di jurusan Teknologi Informasi Amikom Yogyakarta setelah lulus SMA Negeri 1 Grabag, Magelang ternyata harus pupus karena ditolak mentah-mentah oleh orangtua, Suwadi dan Suyanti, yang bersikeras memintanya untuk bertani saja dan kalaupun ingin kuliah harus ke jurusan pertanian.

Ia pun kemudian kuliah  dan mencapai gelar kesarjanaanya di Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian dan Bisnis Universitas Kristern Satya Wacana dan saat ini tengah melanjutkan pendidikan pascasarjana Jurusan Ilmu Pertanian pada fakultas yang sama.

Pemasaran adalah kunci keberhasilan bisnis pertanian

Shofyan mendalami pertanian berbekal pengalaman orangtuanya yang pada saat itu kesulitan menjual produk sayuran organik. Selama 7 tahun, sejak 2007 hingga 2014, kendala utama bukan pada budidaya melainkan pemasaran, kesulitan yang juga dialami para petani di wilayah Kopeng, Kabupaten Semarang.

Pria kelahiran Kabupaten Semarang, 20 Juli 1995 itu kemudian mulai membenahi produk pertanian organik milik orangtua, termasuk pemasarannya, dengan menggunakan media sosial.

Ia meyakini bahwa petani yang melakukan pemasaran online, yakni memasarkan komoditasnya melalui media sosial, tidak harus bergantung kepada pasar konvensional. Namun jumlah mereka di Jawa Tengah baru mencapai tiga persen dari total keseluruhannya atau 18.830 petani saja. Jumlah petani provinsi tersebut yang telah terverifikasi Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) Jateng per 31 Juli 2020, mencapai 2.930.776 orang.

Peluang pertanian organik masih terbuka lebar

Terobosan tersebut membuahkan hasil. Pangsa pasar SOM telah berkembang ke luar kota bahkan luar pulau. SOM juga memiliki reseller dan agen di beberapa daerah, seperti Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek), Surabaya, Yogyakarta, dan Banjar Baru, Kalimantan Selatan.

Volume komoditas pertanian SOM per bulannya mencapai 15 ton. Adapun distribusi paling banyak ke Semarang (200-300 kilogram per hari) dan Yogyakarta (100-500 kilogram per hari). Sementara untuk pangsa pasar Jabodetabek sekitar 200 kilogram per minggu.

Shofyan mengungkapkan sebagian besar konsumen atau penikmat produk SOM adalah perempuan milenial, termasuk ibu-ibu muda kalangan menengah ke atas, yang lebih peduli akan gaya hidup sehat dan melek teknologi, karena kebanyakan dari mereka mengetahui produk tersebut dari akun media sosial yang dikelolanya.

Peningkatan permintaan akan produk SOM bahkan membuat Shofyan kewalahan. Ia pun mengajak dan meyakinkan teman-teman seusianya di sekitar tempat tinggal untuk bekerja sama mengembangkan sayuran organik yang masih belum banyak dilirik petani.

SOM menjadi unit pemasaran bagi seluruh anggota kelompok tani, yang kemudian disebut sebagai mitra SOM. Sistem jual beli yang digunakan mereka adalah fairtrade (perdagangan berkeadilan) karena yang menentukan harga adalah kelompok tani, bukan tengkulak seperti pada pertanian umumnya.

“Saya meminta mereka menanam sayur organik. Keuntungannya biaya produksi murah, lebih sehat, harga lebih stabil, sedikit lebih tinggi dibandingkan produk anorganik. Beberapa bersedia dan terbentuk Kelompok Tani Citra Muda (KTCM), yang anggotanya saat ini 30 orang. Semboyan kami #yangmudayangbertani agar bisa menularkan semangat bertani kepada (anak muda) lainnya,” ungkapnya.

Analisis usaha tani menjadi modal utama petani millennial

Geliat SOM dan Kelompok Tani Citra Muda membangkitkan perekonomian dusun setempat, khususnya membangkitkan minat di kalangan anak muda untuk kembali bertani. Bagi kebanyakan muda mudi pedesaan, lebih banyak yang memilih untuk bekerja di bidang selain pertanian ketika memasuki usia produktif. Mereka beranggapan pertanian kurang menarik karena pendapatan sebagai seorang petani tak menentu.

Bagi Shofyan, pemikiran tersebut tumbuh dikarenakan mereka tak memahami analisis usaha tani.

“Menghitung, satu tanaman butuh modal berapa? Berapa harga jual standar di pasar? Margin keuntungan berapa? Dari hal itu millennial di sini tertarik. Dari analisis usaha tani kemudian mereka diajarkan pola tanam, supaya hasil produk pertanian bisa berkelanjutan (panennya) per minggu, per dua minggu, atau per bulan,” ujar Shofyan yang juga terpilih menjadi Duta Petani Milenial 2020.

SOM menjual lebih dari 80 jenis sayuran, baik yang umum maupun yang khusus, dengan harga jual terjangkau untuk segmen menengah ke atas. Masa pandemi virus corona bahkan meningkatkan pembelian produk sayuran organik. Omset bulanan SOM rata-rata per bulan mencapai Rp300 juta.

Hasil positif tersebut turut dirasakan salah satu agen SOM di Semarang, Hamzah Ari Wibowo yang mengaku selama pandemi penjualannya relatif naik. Tak tanggung-tanggung, omsetnya mampu tembus Rp50 juta hingga Rp60 juta per bulan.

“Dari awal usaha sudah melakukan penjualan online sebagai konsep interaksi ekonomi. Jadi ketika pandemi, aktivitas ekonomi beralih ke online dan SOM sudah lebih siap daripada yang lain. Ditambah produk sayur organik memang dinilai lebih sehat dan menyehatkan. Yang laris wortel, tomat, pakcoy, kale, horenso,” ungkapnya ketika dihubungi melalui aplikasi WhatsApp.

Semangat gotong royong dijunjung tinggi di dalam SOM

Awal menekuni SOM, Shofyan hanya bermodal lahan 5.000 meter persegi yang dimiliki orangtuanya. Sekarang ia sudah memiliki lahan seluas 1,5 hektar, yang dibelinya dari hasil keuntungan. Bahkan SOM juga telah memiliki 15 orang pegawai, 12 diantaranya adalah millennial.

Semangat tersebut dirasakan Ika Susilorini (25), yang sudah dua tahun bekerja di SOM. Ia justru tak tertarik beralih mencari pekerjaan diluar sektor pertanian, meski banyak tawaran yang datang kepada perempuan kelahiran Magelang, 25 Februari 1995 tersebut.

“Kerja di SOM nyaman semua saling bantu, gotong royong, tidak membeda-bedakan. Selain itu, secara tidak langsung juga belajar mengenal jenis-jenis sayuran baik yang umum, maupun yang khusus. Lambat laun bisa menanam juga di rumah, meskipun hasilnya tidak banyak, karena untuk konsumsi (keluarga) sendiri,” ungkap anak tunggal pasangan Sudarmanto dan Ngatemi, yang tinggal di Dusun Tawangsari, Desa Tejorejo, Ngablak, Kabupaten Magelang itu, Sabtu, 22 Augustus 2020.

Bagi Ika, SOM memberikan kesempatan bagi anak muda setempat untuk bisa berkembang menekuni pertanian, yang mulai dijauhi dan dihindari, dengan cara yang sederhana. Bahkan ketika pandemi COVID-19, SOM turut menjadi juru selamat milenial yang terdampak pemutusan hubungan kerja (PHK) maupun dirumahkan oleh perusaaan.

Prihatini (19), menjadi salah satu petani milenial yang merasakan manfaat dari SOM. Anak ketiga pasangan Sugimin dan Waginah itu dirumahkan oleh perusahaannya yang terdampak pandemi. Tak adanya kejelasan informasi kapan akan bekerja kembali, membuatnya memutuskan bergabung dengan SOM sejak Mei 2020.

“Asyik di (SOM) sini. Bisa belajar banyak juga mengenai sayuran organik. Karena mas Shofyan sangat menginspirasi dan menjadi teladan. Semoga saya nantinya bisa mengikuti jejaknya jadi pengusaha di bidang pertanian. Karena kesuksesan juga bisa diraih dengan bertani. Sudah terbukti,” beber wanita muda yang tinggal satu dusun dengan Shofyan, Sabtu, 22 Agustus 2020.

Kultur masih menjadi kendala

Shofyan sadar, jika dirinya tak menularkan semangat dan ilmu bertani kepada milenial lain, cita-cita Indonesia akan regenerasi petani bakal sulit tercapai.

“Kultur kuat sekali. Orangtua pasti bilang sekolah sing dhuwur yo le, ojo koyok bapak dadi petani, rekoso (red: sekolah yang tinggi ya nak, jangan seperti bapak menjadi seorang petani, hidup susah). Termasuk juga banyak orangtua petani yang menginginkan anaknya jadi pegawai negeri sipil (ASN), ditambah ketidakpastian pendapatan serta perhitungan bisnisnya,” tandas Shofyan.

Padahal peluang serta harapan untuk bisa sukses dari sektor pertanian masih terbuka lebar, apalagi di Indonesia yang dianugerahi sumber daya alam daerah tropis dan kebutuhan makanan masih terus diperlukan.

“Optimis pada masa mendatang. Dengan masuknya mereka (milenial) punya peluang besar karena tahu persis bagaimana memanfaatkan teknologi dan mengetahui komoditas yang bernilai tinggi, juga organik. Para milenial punya kelebihan wawasan dan mengaspirasikan konsumen kalangan menengah ke atas,” jelas Pakar Teknologi Pangan Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata Semarang, Profesor Budi Widianarko secara khusus melalui sambungan telepon pada 29 September 2020.

“Kalau mereka masuk ke pertanian tangan kosong, tanpa sentuhan-sentuhan teknologi, pasti tidak akan bersedia atau mau. Lebih baik bekerja saja di sektor formal lainnya. Basic-nya pertanian modern. Tinggal pemerintah harus menyediakan support system-nya,” imbuhnya.

Pemerintah, baik di pusat maupun di daerah, seharusnya wajib mendorong munculnya petani-petani millennial untuk mewujudkan cita-cita Indonesia untuk menjadi lumbung pangan dunia pada 2045 mendatang seperti yang telah dicanangkan Kementerian Pertanian sesuai dengan Nawacita Pemerintah Indonesia.

Untuk mendorong regenerasi tersebut, Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Jawa Tengah, Suryo Banendro, berinovasi memberikan pelatihan dan pendampingan untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia (SDM) petani milenial. Pada 2020, pelatihan telah diberikan kepada 3.000 milenial dari berbagai kalangan serta latar belakang pendidikan, seperti pesantren dan karang taruna

“Kami juga mendampingi petani milenial mulai dari proses budidaya, penanaman, bantuan alat, permodalan, hingga penjualan, kami temukan langsung dengan pembeli. Jadi dari hulu sampai ke hilir kita fasilitasi. Ternyata bisa memotong rantai pasok dengan kualitas produk yang telah terstandar. Ini yang menjadi daya tarik mereka sehingga menjadikan pertanian itu keren dan seksi dalam mindset mereka, Sebab petani milenial didukung pengetahuan teknologi informasi yang aksesnya sangat berkembang pesat,” jelasnya ketika dihubungi melalui sambungan telepon pada 30 September 2020.

Dengan modal demografi jumlah milenial menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2017 yang mencapai 88 juta jiwa atau 33,75 persen dari jumlah penduduk Indonesia, diyakini mampu mewujudkan cita-cita regenerasi tersebut. Karena jika dibandingkan dengan jumlah generasi lain, presentase milenial tersebut menjadi generasi mayoritas dalam struktur demografi di Indonesia.

“Tidak ada orang yang tidak butuh makan. Sumber makanan dari sektor pertanian. Jumlah penduduk semakin banyak, produksi makanan cenderung sedikit. Pertanian adalah peluang bisnis dimasa depan,” pungkas Shofyan.

About the writer

Dhana Kencana

Dhana is a journalist, photographer, videographer, and podcaster who works for the IDN Times. He also has great interest in data journalism and visualisation, and sharpening his skill in using Open-source...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.