UU Karantina 2019 memberikan hukuman tinggi kepada sindikat perdagangan satwa di Riau. Namun, mungkinkah aturan itu diterapkan di kasus lainnya?

Liputan ini pertama kali terbit di Haluan.co pada tanggal 11 September 2020.

Oleh Rezza Aji Pratama dan Wan Ulfa Nur Zuhra

Sabtu siang, 14 Desember 2020, Yatno (40) tengah bersiap meninggalkan Kota Pekanbaru ketika polisi dari Polda Riau menciduknya. Di dalam mobilnya, petugas menemukan seekor leopard, empat ekor anak singa, dan 58 kura-kura bintang India yang disembunyikan dalam kardus. Yatno baru saja mengangkut satwa liar itu dari Dumai. Jika tidak keburu ditangkap polisi, Yatno akan membawanya menuju Lampung.

Yatno cuma kurir. Ia dibayar Rp13 juta oleh Irawan Shia (42) untuk menjemput satwa selundupan itu di Dumai. Sebelum dibawa Yatno, hewan liar itu diantar lelaki bernama Asrin dari Malaysia ke Rupat, pulau kecil tepat di seberang Melaka. Asrin juga orang suruhan Irawan.

Dari Rupat, satwa liar itu dititipkan Asrin ke seorang pemilik speedboat bernama Safrijal untuk di bawa ke Dumai. Yatno kemudian menjemput hewan liar itu dan mengemudi 157 kilometer ke Pekanbaru sebelum akhirnya diringkus polisi.

Irawan, Yatno, Asrin, dan Safrijal adalah sindikat penyelundup satwa yang beroperasi di sekitar Selat Malaka. Irawan bahkan sudah empat kali keluar masuk penjara atas kasus serupa. Sekitar awal Desember 2019, ia dikontak Jecsen yang kini masih buron untuk menyelundupkan satwa liar dari negeri jiran. Irawan memperoleh Rp40 juta, yang setengahnya dipakai untuk ongkos kurir.

Tidak lama setelah Yatno tertangkap, Irawan turut diciduk. Begitupula dengan Asrin dan Safrijal. Mereka mendekam di rutan Pekanbaru menunggu vonis. Pada 16 Juni 2020, Pengadilan Negeri Riau menghukum Irawan empat tahun penjara dan denda Rp1 miliar. Sementara tiga orang kurirnya divonis dua tahun enam bulan penjara dan denda dengan nilai serupa.

“Ini kasus penyelundupan satwa dengan vonis terbesar yang pernah ada,” ujar peneliti Indonesian Center for Environmental Law, Antonius Aditantyo Nugroho.

Dari 29 putusan pengadilan terkait kejahatan satwa liar periode Januari-Agustus 2020 yang dikumpulkan WildEye, dapat disimpulkan bahwa hukuman kepada pelaku masih sangat ringan. Lebih dari setengahnya hanya divonis penjara kurang dari setahun.Data juga menunjukkan hukuman denda terbilang minim. Tujuh terdakwa divonis denda Rp100 juta, lima kasus dengan denda Rp50 juta, sedangkan sisanya bervariasi antara Rp1 juta sampai Rp10 juta. Irawan dan komplotannya adalah satu-satunya kasus yang dikenakan denda sampai Rp1 miliar.

Pada 2019, setidaknya ada dua kasus yang mencuri perhatian publik. Pertama, kasus penyelundupan anak orang utan oleh warga negara Rusia Andrei Zhestkov (28) lewat Bandara I Gusti Ngurah Rai, Denpasar pada 22 Maret 2019. Zhestkov membius Orang Utan itu dan meletakkannya di dalam keranjang rotan untuk di bawa ke negara asalnya. Pengadilan Negeri Denpasar menjatuhkan hukuman 1 tahun penjara dan denda Rp5 juta kepada Zhestkov.

Kasus lainnya melibatkan seorang nahkoda kapal bernama Sukandar yang menyelundupkan 7.000 Belangkas. Ia ditangkap di perairan Malaka saat hendak menuju Pelabuhan Satun, Thailand untuk menjual satwa tersebut. Pengadilan Negeri Medan menjatuhkan hukuman 1,3 tahun penjara dan denda Rp50 juta atas kejahatannya pada 1 Desember 2019.

Hukum baru, harapan baru

Mengapa Irawan dan kurirnya bisa divonis dengan hukuman yang tinggi dari kasus lainnya? Kuncinya, menurut Antonius, ada di penggunaan undang-undang baru. Biasanya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menggunakan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (selanjutnya disebut UU Konservasi) untuk menjerat para penyelundup. Undang-Undang ini menyediakan hukuman maksimal 5 tahun penjara dan denda paling banyak Rp100 juta.

Sementara dalam kasus Irawan, jaksa juga menggunakan UU No.21 tahun 2019 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan (UU Karantina). Aturan ini menyediakan ancaman hukuman lebih tinggi, maksimal 10 tahun penjara dan denda hingga Rp10 miliar. Dalam pembuktian di persidangan, Majelis Hakim akhirnya menggunakan UU Karantina.

“Ini kasus penyelundupan pertama di Indonesia yang menggunakan UU Karantina 2019,” ujar jaksa penuntut Himawan Putra yang menangani kasus ini.

UU Karantina, yang resmi diundangkan pada 18 Oktober 2019, sebenarnya mengusung fokus utama di sektor kesehatan. Aturan ini dibuat untuk mencegah penyebaran hama, penyakit, agen invasif, termasuk pengawasan produk rekayasa genetika. Dengan demikian, satwa dan tumbuhan liar yang masuk dan keluar wilayah Indonesia harus dilaporkan ke Badan Karantina dan dilengkapi dengan dokumen pendukung.

Lebih lanjut, syarat dokumen pendukung ini diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian/KR.120/5/2017 tentang Dokumen Karantina Hewan. Pasal 12 beleid ini menyebut hewan yang masuk ke wilayah hukum Indonesia wajib disertai dengan sertifikat veteriner, sertifikat kesehatan, sertifikat sanitasi, surat keterangan asal, dokumen pengangkutan satwa liar, dan sertifikat kehalalan.

Sindikat Irawan Shia yang menyelundupkan satwa langka dilindungi tentu tidak bisa menunjukkan dokumen-dokumen tersebut. Himawan mengatakan pihaknya sengaja menjerat Irawan dkk menggunakan UU Karantina untuk memberi efek jera kepada pelaku. Terlebih, satwa yang diselundupkan tidak ada di Indonesia.

“Satwa tersebut [singa dan leopard] termasuk Appendiks I CITES yang tidak dapat diperjualbelikan apabila berasal dari alam,” ujar Gunawan, peneliti di Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Riau yang menjadi saksi ahli dalam persidangan tersebut.

BKSDA Sumatera Utara menunjukkan beberapa ekor trenggiling (Manis javanica) yang berhasil diselamatkan di Medan pada 19 Juli 2020. Trenggiling diburu untuk dipanen sisiknya yang dipercaya punya khasiat medis. Foto: Septianda Perdana

Undang-Undang Karantina bisa menjadi senjata baru dalam perang melawan penyelundupan satwa. Ini sebenarnya pengganti dari peraturan serupa yakni UU No. 16 tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan. Aturan ini pernah digunakan untuk mempidanakan seorang kolektor kura-kura Madagaskar yang dijatuhi vonis 5 bulan penjara dan denda Rp50 juta pada 2018. Jadi selain menggunakan UU Konservasi 1990, penyidik dan jaksa juga bisa memanfaatkan UU Karantina 2019 atau bahkan peraturan lainnya. Antonius menyebutnya ‘multi-door approach’, penggunaan berbagai peraturan perundang-undangan untuk menangani kasus sumber daya alam dan kehutanan.

“UU Karantina biasanya dipakai untuk menjerat kasus perdagangan non-native species ilegal,” ujar Antonius dari ICEL.

Kendati demikian, Antonius melanjutkan, UU Karantina 2019 juga punya celah hukum. Undang-Undang ini hanya mensyaratkan kelengkapan dokumen sertifikasi hewan dan tumbuhan. Jadi, jika perdagangan satwa langka juga disertai dengan dokumen-dokumen pelengkap, maka kasus itu bisa saja lolos dari jerat hukum.

UU Karantina 2019 juga bukan payung hukum utama konservasi keanekaragaman hayati. Masih terdapat beberapa kekosongan hukum untuk menangani satwa langka yang berstatus tidak dilindungi atau non-native species. Ini misalnya ketentuan mengenai mekanisme perawatan, repatriasi, sanksi administratif, hingga perihal pendanaannya.

“Butuh wawasan dan kesadaran lebih dari penyidik, penuntut, majelis hakim, dan pejabat karantina serta kepabeanan agar UU ini dapat berfungsi sebagai pendekatan lain untuk menjerat perdagangan satwa ilegal,” tambah Antonius.

Perlu diperbarui

Salah satu persoalan utama pemberantasan perdagangan satwa di Indonesia adalah penegakkan hukum. Penyidik dan jaksa masih menggunakan UU Konservasi yang diterbitkan 30 tahun silam. Akibatnya, vonis hukuman bagi pelaku masih tergolong rendah. Sepanjang periode 2009-2019, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mengumpulkan 150 putusan pengadilan soal kejahatan terhadap satwa liar yang melibatkan 195 terdakwa.

Hasilnya, rata-rata tuntutan pidana penjara dari JPU hanya 11,3 bulan dan denda rata-rata Rp18,6 juta. Vonis oleh Majelis Hakim juga lebih rendah yakni rata-rata pidana penjara 8,1 bulan dengan denda Rp14,3 juta.Vonis penjara paling tinggi justru diberikan kepada Sabian, petani di Bengkulu yang menemukan selembar kulit harimau beserta tulang belulangnya, terbungkus kantong plastik saat hendak pergi meladang pada Mei 2017. Ia divonis empat tahun penjara dan denda Rp50 juta akibat menjual barang temuannya tersebut. Sementara denda maksimal Rp100 juta diberikan Majelis Hakim di delapan kasus yang berbeda.

“Undang-Undang Konservasi 1990 ini boleh dibilang kurang efektif menjawab tantangan zaman,” ujar Pakar Kebijakan Perdagangan Satwa Irma Hermawati.

Selain ancaman hukuman yang rendah, subjek hukum UU Konservasi 1990 juga terbatas pada perseorangan. Sementara badan hukum, korporasi atau organisasi sindikat tidak bisa dijerat dengan aturan ini. Penanganan kasus sindikat penyelundup seperti Irawan Shia akhirnya ditindak orang per orang.

Dengan demikian, meskipun UU Karantina sudah menyediakan ancaman hukuman tinggi, revisi UU Konservasi 1990 tetap perlu dilakukan. Apalagi menurut Irma, UU Karantina yang mengatur arus keluar masuk satwa juga bakal sulit diterapkan untuk menindak kasus macam jual beli satwa online atau pembunuhan satwa liar.

Jalan buntu

Upaya memperbarui UU No.5 tahun 1990 tentang Konservasi sudah berulang kali dilakukan. Rancangan Undang-Undang (RUU) penggantinya bahkan sudah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019 yang diusulkan langsung oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Naskah akademiknya sudah disusun dan diserahkan ke pemerintah pada 6 Desember 2017.

Dalam perjalanannya, pembahasan RUU Konservasi selalu terhambat. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) selaku perwakilan pemerintah dan pihak DPR belum bersepakat dalam beberapa hal. Ini misalnya menyangkut filosofi dasar konservasi. Naskah akademik RUU Konservasi yang diajukan DPR memuat perubahan konsep konservasi menjadi ‘Perlindungan, Pemanfaatan, dan Pemulihan’. Sementara, menurut Menteri LHK Siti Nurbaya, konsep dasar universal yang diadopsi dari World Conservation Strategy adalah ‘Perlindungan, Pengawetan, dan Pemanfaatan’.

RUU ini juga memuat pemisahan wilayah konservasi menjadi perairan dan darat. Padahal, konservasi harus dilihat dalam kacamata wilayah yang utuh sebagai satu ekosistem yang saling berkaitan.

Poin krusial lain yakni ketentuan pemanfaatan wilayah konservasi oleh korporasi, baik milik negara maupun swasta. Ini bertentangan dengan UUD 1945 yang mengatur bahwa kekayaan alam dikuasai negara dan dipergunakan seluas-luasnya untuk kemakmuran rakyat.

“Pemerintah menganggap masih diperlukan pendalaman secara mendasar, terutama terkait filosofi konservasi dan prinsip-prinsip ekologi, juga berkaitan dengan konstitusionalitas dan implementasinya,” tulis Kementerian LHK menanggapi RUU Konservasi.

Perdebatan ini menemui jalan buntu. Setelah beberapa kali pertemuan, pemerintah resmi menarik diri dari pembahasan RUU Konservasi. Sepucuk surat dengan Nomor S.343/MenLHK/Setjen /Kum.0/5/2019 dilayangkan oleh Menteri LHK kepada Ketua DPR pada 24 Mei 2019. Inti surat itu adalah permintaan penghentian pembahasan RUU Konservasi yang sudah terkatung-katung.

Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK Wiratno menilai UU Konservasi 1990 masih memadai menjerat pelaku kejahatan satwa. “Ada pelaku yang dihukum tiga atau empat tahun. Itu tergantung negosiasi dengan aparat penegak hukum. Kita banyak didukung kepolisian,” ujar Wiratno.

BKSDA Sumatera Utara melepasliarkan dua ekor macan akar (Felis bengalensis) di Taman Wisata Alam Sicike-Cike, Dairi, Sumatera Utara pada Sabtu (29/4/2020). Hewan yang juga sering disebut kucing hutan ini sering diperdagangkan lewat sosial media. Foto: Septianda Perdana

Jika menilik kembali data WildEye, hanya sebagian kecil pelaku yang divonis hukuman maksimal. Sebagian besar melenggang bebas setelah menjalani hukuman beberapa bulan dan menikmati uang hasil kejahatannya. Apalagi, denda maksimal Rp100 juta yang diatur dalam UU Konservasi 1990 tidak sebanding dengan keuntungan yang didapatkan pelaku dari perdagangan satwa.

“Untung mereka [pelaku perdagangan satwa] sangat besar. Jadi bagaimana mau kapok kalau hukumannya ringan,” tegas Irma.

Revisi UU Konservasi 1990 tampaknya belum akan terjadi dalam waktu dekat. Pembahasan terakhir di DPR baru di tahap Daftar Inventarisasi Masalah sebelum akhirnya dihentikan pemerintah. Sementara itu, kasus kejahatan satwa terus saja terjadi. UU Karantina 2019 memang bisa jadi harapan baru, tetapi tanpa revisi UU Konservasi, penegakkan hukum masih akan jalan di tempat.

Liputan ini didukung oleh The Oxpeckers Center for Investigative Environmental Journalism dan Internews’ Earth Journalism Network. Rezza Aji Pratama adalah editor di Haluan.co dan Wan Ulfa Nur Zuhra adalah editor eksekutif di Indonesian Data Journalism Network.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.