Jakarta, Ekuatorial – Bencana longsor di Dusun Jemblung, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, disebabkan karena material penyusun bukit Tegalele mengalami pelapukan.

Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), mengatakan “Material penyusun bukit Tegalele merupakan sedimen vulkanis tua sehingga solum tebal dan ada pelapukan. Ditambah kemiringan lereng bukit mencapai 60-80 derajat,” ujarnya dalam Konferensi Pers Analisis Bencana Banjarnegara di Jakarta, Senin (15/12).

Ia mengatakan Dusun Jemblung memang merupakan daerah yang rawan longsor sedang hingga parah. Sementara di Kabupaten Banjanegara BNPB mencatat terdapat 20 kecamatan yang berpotensi longsor sedang hingga parah.
Ia mengatakan, dalam bencana longsor Banjanegara terjadi dua kali longsor. Pertama dari Bukit Tegalele menuju ke arah Pekalongan, kedua ke sebelah kiri menuju Banjarnegara.

Mengenai kronologi terjadinya bencana longsor, ia menjelaskan pada awalnya terjadi hujan deras pada tanggal 10 dan 11 Desember 2014 di daerah Banjarnegara. Hal itu menyebabkan terjadinya kejenuhan serapan air oleh tanah. Karena kejadian itu kemudian menimbulkan longsor-longsor kecil di beberapa tempat, termasuk di satu sisi Bukit Tegalele.

“Satu hari setelahnya yaitu pada 12 Desember 2014 pukul 17.00 WIB tiba-tiba terjadi longsor di Dusun Jemblung yang saat itu hujan gerimis. Material longsor meluncur ke bawah berbelok ke sisi utara karena gravitasi bumi dan mengikuti kemiringan lereng,” terangnya.

Penyebab lainnya ia mengatakan tanaman palawija yang ditanam di atas bukit tidak rapat, dan tidak ada terasering sehingga tidak mampu menangkap air dengan baik. “Hal itu menyebabkan daya dukung atau daya tampung menjadi buruk, sehingga ketika ada pemicu seperti hujan bencana longsor terjadi,” imbuhnya.

Longsor yang berlangsung dalam waktu sekitar lima menit itu menimbulkan bunyi gemuruh dan menyebabkan 35 rumah tertimbun. Ia mengatakan luas daerah yang tertimbun akibat longsor mencapai 17 hektare (ha).

Hingga pukul 13.00 WIB, data korban meninggal yang tercatat BNPB mencapai 51 orang, sedangkan 57 orang masih dinyatakan hilang. Proses pencarian korban tidak berjalan cepat karena alat berat tidak mampu memasuki daerah longsoran yang ditutupi lumpur.

“Presiden menginstruksikan untuk pencarian korban terus dilanjutkan semaksimal mungkin, setelah tujuh hari akan kita evaluasi,” katanya.

Selain menimbun rumah, bencana longsor juga mengakibatkan 1 unit masjid hilang, sungai tertutup longsoran sepanjang 1 Km, 8 hektar sawah rusak, dan 5 hektar kebun palawija. “Nilai kerugian dan kerusakan masih belum diketahui, kami masih lakukan perhitungan,” tutupnya.

Penanaman Pohon
Sementara itu kaki gunung Lawu, Solo, dilakukan penanaman pohon untuk mengantisipasi longsor yang mungkin juga terjadi. Sekitar 200 orang yang tegabung dalam Paguyuban Pecinta Alam Bersatu (PPAB) dari berbagai wilayah di Eks Karesidenan Surakarta, melakukan penghijauan dengan menanam bibit pohon baru di lereng gunung Lawu.

Ketua Panitia, Rugas Supono mengatakan kegiatan itu berawal dari keinginan untuk menyelamatkan lahan kritis, dan juga sumber mata air di wilayah gunung Lawu. Maka dilakukan kegiatan penanaman pohon oleh kelompok pecinta alam disana. Diperkirakan pohon yang ditanam telah sebanyak sejuta batang. Lokasi penanaman kebanyakan dilakukan di Taman Hutan Rakyat (Tahura) Ngargoyoso.

“Pihak pemerintah telah mencanangkan penanaman satu miliar pohon. Kita tidak bisa membantu banyak. Namun kita hanya punya tenaga dan jiwa sosial untuk membantu program pemerintah,” jelasnya kepada Ekuatorial belum lama ini.

Penamanam dilakukan secara bertahap untuk mengurangi lahan kritis dan menyelamatkan sumber mata air. Penanaman rencananya dilakukan di wilayah serapan air antara lain di kawasan sumber mata air, juga sekitar sungai-agar tidak terjadi erosi dan menjaga kelangsungan sumber mata air.

“Ada beberapa jenis pohon yang ditanam. Misalkan pohon aren, juga bambu. Untuk pohon bambu akan ditanam sekitar 8 jenis bambu,” jelasnya belum lama ini.

Selain itu gerakan tanam pohon juga akan berdampak untuk mengurangi efek pemanasan global dan bencana alam. Juga mampu merubah lahan kritis menjadi lahan produktif.

“Rencananya setiap tiga bulan sekali kita akan lakukan penanaman di lokasi lereng Lawu yang hutannya sudah tidak produktif yang luasnya hampir 25 hektar, akan kita tanami lagi secara bertahap, untuk konservasi,” ungkapnya lagi.

Supono sendiri menilai untuk penebangan pohon di Cemoro Sewu dan Cemoro Kandang memang sudah di ambang batas. Pembalakan sudah merusak lereng Lawu. Sehingga sangat rawan terjadi longsor. Hal itu yang harus diantisipasi, salah satunya dengan menggiatkan kembali penanaman pohon untuk menggantikan pohon yang sudah rusak atau gundul. Januar Hakam/Bramantyo

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.