Posted in

DNPI: “PROTOKOL KYOTO II TAK PERLU PERJUANGAN BESAR”

thumbnailDNPI bicara COP18. Dengan 80-an anggota delegasi, komitmen pendanaan 100 miliar dolar dan Protokol Kyoto II, adalah dua target utama. Rachmat Witoelar yakin Protokol Kyoto II bisa disepakati di Doha.

SIEJ-Jakarta, Tidak lama lagi konferensi tahunan perubahan iklim atau Conference of Parties (COP) ke-18 akan digelar di Doha, Qatar pada tanggal 26 November sampai 7 Desember 2012. Dalam COP 18, kelanjutan periode komitmen Protokol Kyoto adalah salah satu agenda penting yang akan disepakati.

Protokol kyoto adalah kesepakatan global di bawah United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang ditandatangani pertama kali pada COP 3 tahun 1997. Kesepakatan ini mengatur penurunan emisi oleh negara-negara industri maju dan bersifat mengikat para pihak-legally binding.

Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim sekaligus Ketua Delegasi Republik Indonesia untuk COP 18 di Doha, Rachmat Witoelar mengatakan, Protokol Kyoto akan berakhir masa berlakunya pada tahun 2012,”Salah satu agenda yang dibawa Indonesia ke Doha adalah kelanjutan periode komitmen Protokol Kyoto per 1 Januari 2013,” ujar Rachmat pada konferensi pers di Kantor Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), Jakarta, Selasa siang (13/11). Kesepakatan untuk memperpanjang pemberlakuan Protokol Kyoto dalam tahap kedua untuk periode tahun 2013-2015, akan memberi kesempatan kepada para pihak dalam UNFCCC untuk mempersiapkan pengganti protokol itu secepatnya pada tahun 2015.
Ada banyak ekspektasi yang dibawa oleh para delegasi Indonesia ke meja runding di Doha. Empat hal yang paling sering disebut adalah, berakhirnya masa kerja Ad-hoc Working Group on Further Commitments for Annex I Parties under the Kyoto Protocol (AWG-KP 17-2) dan Ad-hoc Working Group on Longterm Cooperative Actions (AWG-LCA 15-2), Komitmen Protokol Kyoto II termasuk didalamnya kesepakatan durasi masa berlaku, adanya rencana kerja dalam Ad-hoc Working Group on The Durban Platform for Enhanced Action (ADP), dan pendanaan jangka panjang . “Saya berharap di COP 18 akan ada keputusan yang definitif,” kata Rachmat.

Dengan target tersebut Indonesia akan mengirim 80 negosiator dari Indonesia untuk membicarakan 66 agenda di dalam tujuh persidangan di Doha, Qartar akhir November ini. Soal target Protokol Kyoto II, katanya tidak ada perjuangan besar untuk mencapai hal itu, “Masalahnya terdapat pada bagaimana dan sampai kapan Protokol Kyoto II berjalan dan kontribusi negara-negara berkembang seperti Cina, India dan Indonesia untuk melakukan lobi pada negara-negara maju,” ujar Rachmat.

Rachmat mengatakan, terpilihnya Barack Obama kali ini bisa menjadi spekulasi tersendiri, ” Saya sempat berbicara dengan negosiator Amerika serikat dan dengan terpilihnya Obama mungkin akan ada kemungkinan positif Amerika Serikat mau tandatangan kesepakatan pengurangan emisi, melihat Obama adalah sosok yang berani. Ya kita wait and see saja,”ujarnya.

Menurut Deputy Director for Sustainable Development Kementerian Luar Negeri Tazmin Hanif, yang menjadi perhatian utama adalah hanya ada beberapa negara Annex I di luar Amerika Serikat, Rusia, Kanada dan Selandia Baru yang mau ikut terlibat dalam pengurangan emisi dunia, ” Namun, pengurangan emisi negra-negara itu masih terhitung kecil sekali dibanding apabila negara-negara maju mengurangi 25 persen sampai 40 persen emisi gas rumah kaca,” ujar Tazmin.
“Kita ingin memastikan negara maju kita ikat di bawah konvensi untuk melakukan komitmen pengurangan emisi, ” katanya, “Sejauh mana negara maju punya komitmen untuk menyediakan 100 milyar dollar per tahun sampai 2020 untuk negara berkembang.”
Menurutnya, Sudah ada 30 negara berkembang yang sudah menyampaikan hal ini dan Indonesia akan terus mengajak negara berkembang yang lain, “Kalau kesepakatan ini terjadi akan ada loncatan besar di Doha,” tambah Tazmin. Sementara itu, dalam segi pendanaan, Sekretaris Kelompok Kerja Pendanaan DNPI, Suzanty Sitorus mengatakan, kalau kita tidak menyelesaikan perubahan iklim sekarang ongkos kita untuk beradaptasi dengan dampak buruknya akan lebih mahal, ” Sayangnya, banyak negara lebih memilih untuk menunda-nunda menyelesaikannya sekarang, ” ujarnya.
Menurut Suzanty, negara maju mempunyai dua kewajiban utama yaitu megurangi emisi dan menyediakan dukungan pendanaan dan teknologi untuk negara berkembang, ” Dalam COP 15 di Copenhagen disebutkan negara maju akan berkomitmen untuk memobilisasi 100 milyar dollar per tahun sampai 2020 dalam konteks negara berkembang melakukan mitigasi,” jelas Suzanty.

Ia mengatakan , namun sampai sekarang dana 100 milyar dolar Amerika tersebut tak ada kejelasannya, “Dana tak jelas akan dimulai kapan, bagaimana cara mekanismenya, apakah jumlah yang sama akan digulirkan setiap tahunnya, dan berapa masing-masing negara memberikan sumbangan dana, semua tak ada kejelasan, ” kata Suzanty, ” Negara maju selalu berdalih mereka sedang mengalami krisis keuangan kepada negara berkembang yang meminta mereka menepati janjinya, ini yang harus kita dapatkan kejelasannya di Doha nanti.”
Apabila kesepakatan pendanaan ini tidak bisa tercapai, Suzanty melanjutkan, akan dibuat mid-term financing untuk tiga tahun ke depan,” Kita harus dapat kejelasan dalam tiga tahun berapa dana yang akan keluar dan apakah sumbangan mereka akan masuk ke Green Climate Fund atau lewat jalan bilateral.” Menurut Suzanty lagi, dengan kesepakatan pendanaan ini negara berkembang sebenarnya memiliki tanggung jawab lebih, ” Menetapkan target-target pengurangan emisi, membuat rencana aksi nasional, dan pelaporan berkala dua tahun sekali mulai 2014, adalah tanggung jawab yang harus diemban negara berkembang dan semua itu perlu pendanaan,” katanya. Bellina Rosellini

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.