Bukan hanya orang utan yang terusir karena pembakaran lahan gambut. Warga sekitar pun jadi tak bersahabat dengan alam Rawa Tripa.

Batok kepala primata itu tergolek begitu saja di bawah batang pohon yang menghitam karena terbakar. Ukurannya tak lebih dari satu setengah kali bola tenis. Tempo sempat memotret batok kepala satwa yang juga hangus itu dari bagian atas ke bawah. Sampai di situ, tak ada yang berkomentar.

Batok kepala primata yang diduga tengkorak anak orang utan tergolek di bawah batang pohon yang terbakar di lahan gambut di Rawa Tripa, Aceh.

Tapi, ketika benda itu hendak diangkat, dua lelaki yang awalnya terdiam sigap mengingatkan. ”Jangan dibawa. Itu barang bukti,” kata Indriyanto, aktivis Yayasan Ekosistem Lestari, yang Jumat dua pekan lalu menemani Tempo menelusuri lahan gambut di Rawa Tripa, Nagan Raya, Aceh.

Indriyanto dan Suratman, warga setempat yang jadi pemandu jalan, sangat yakin bahwa tengkorak itu milik anak orang utan yang tewas terbakar. Soalnya, beberapa bulan lalu, mereka masih melihat dua ekor orang utan di hutan gambut yang hendak disulap jadi perkebunan sawit tersebut. Waktu itu, pepohonan di lahan yang kini dikuasai PT Kallista Alam dan PT Surya Panen Subur tersebut masih ada yang berdiri tegak.

Sepanjang 2011-2012, Yayasan Ekosistem Lestari dan Badan Konservasi Sumber Daya Alam Aceh telah memindahkan enam ekor orang utan dari kawasan gambut Rawa Tripa. Bersama Suratman, Indriyanto turut mengantarkan satwa langka itu ke hutan yang masih utuh di kawasan Aceh Tengah.

Rawa Tripa kini hampir tak mungkin lagi menjadi tempat tinggal orang utan. Sejauh mata memandang, yang ada hanyalah hamparan batang dan ranting pohon yang berubah menjadi arang. Di banyak tempat, asap pun masih mengepul. Agar kaki tak ambles tertelan lapisan gambut yang kempis terbakar, pejalan kaki harus meniti batang pohon dan akar yang tersisa. Di tengah lautan arang itu, perangkat Global Positioning System sangat membantu memandu perjalanan. ”Dulu, di bawah batang dan akar pohon ini saya letakkan bubu untuk menangkap ikan lele,” kata Suratman, mengenang.

Setelah menyeberangi kanal selebar lima meter yang memisahkan lahan milik PT Kallista dan PT Surya, Suratman berdiri di tumpukan akar pohon yang tumbang. Dia pun mengeluarkan teropong, lalu mengintip menara penjaga nun jauh di sana. ”Kosong,” katanya. Artinya, siang itu kami aman memasuki lahan ratusan hektare yang sudah dipetak-petak dengan batas berupa kanal tersebut. Pada petak-petak tertentu, bibit pohon sawit tampak sudah tumbuh setinggi rata-rata 50 sentimeter.

● ● ●

Sejak Mei lalu, belasan penyidik dari Markas Besar Kepolisian RI dan Kementerian Lingkungan Hidup terus memeriksa manajemen PT Kallista Alam dan PT Surya Panen Subur. Penyidik tengah menelisik dua jenis dugaan pelanggaran hukum: pembukaan lahan dengan membakar hutan dan penanaman sawit di lahan gambut dengan kedalaman lebih dari tiga meter.

Perkebunan kelapa sawit memang menjadi biang keladi rusaknya lahan gambut Rawa Tripa, juga tempat lain di Serambi Mekah. Sebelum dijarah dan dijadikan kebun sawit, pada 1980-an, lahan gambut di pesisir barat daya Aceh itu berfungsi bak spons penyimpan air. Gambut menyerap air pada musim hujan, sehingga tak terjadi banjir. Lalu, pada musim kemarau, gambut pelan-pelan mengeluarkan airnya, sehingga tak terjadi kekeringan.

Tak kalah pentingnya, hutan gambut Rawa Tripa menjadi tempat tinggal yang nyaman bagi orang utan Sumatera (Pongo abelii). Sebagian besar populasi orang utan Sumatera tinggal di hutan rawa gambut pesisir Aceh yang banyak ditumbuhi palem  dan rotan itu. Sisanya menyebar di hutan pedalaman Kawasan Ekosistem Leuser dan di hutan Sumatera Utara.

Hingga awal 1990, orang utan di hutan gambut seluas 62 ribu hektare di Rawa Tripa berjumlah 1.000 ekor. Bencana datang ketika pemerintah Orde Baru memberikan hak guna usaha (HGU) kepada sejumlah perusahaan swasta pada 1991. Perusahaan-perusahaan itu menggasak hutan gambut, lalu menyulapnya menjadi kebun kelapa sawit.

Kini ada tujuh perusahaan yang memegang HGU di kawasan Rawa Tripa. Luas lahan garapan mereka masing-masing 3.000-13.000 hektare. Walhasil, lahan gambut yang tersisa hanya sekitar 17 ribu hektare. Para ahli orang utan menilai lahan seluas itu terlalu sempit untuk menampung sekitar 280 orang utan, yang diduga masih bertahan di Rawa Tripa.

Menurut Ian Singleton, Direktur Konservasi Sumatran Orangutan Conservation Programme, sebagian besar hutan Rawa Tripa yang dibakar merupakan habitat orang utan. ”Sebelumnya, kami melihat banyak orang utan di sana,” katanya.

Puluhan kanal atau drainase yang dibuat perkebunan kelapa sawit juga telah menyedot air yang ada di lahan gambut. Kalaupun tak dibakar, pepohonan yang menghasilkan buah makanan orang utan akan mati kekeringan. Merujuk pada sebuah kajian tahun lalu, Singleton memperkirakan hutan gambut dan orang utan di Rawa Tripa akan musnah pada 2015.

● ● ●

DALAM beberapa tahun terakhir, Ali Basyiah selalu melewatkan siang hari dengan bertelanjang dada. Warga Desa Kuala Semayam, Kecamatan Darul Makmur, Nagan Raya, ini tak tahan dengan udara panas. Bahkan, pada malam hari, Ali dan anak-istri harus tidur dengan menyalakan kipas angin. ”Udara makin panas sejak perusahaan kebun kelapa sawit beroperasi di sini,” kata Ali, yang kampungnya terletak di pinggir lahan milik PT Kallista Alam.

Menurut pengukuran suhu pada 14 November 2007, suhu di sekitar Rawa Tripa mengalami kenaikan drastis. Pada pukul 09.30, suhu udara sekitar 37 derajat Celsius. Tiga jam kemudian, suhu naik menjadi 43 derajat Celsius. Kini, setelah lima tahun berlalu, Ali merasakan kampungnya makin panas saja.

Bukan hanya suhu yang membuat Ali merana. Penghasilan dia sebagai pencari ikan dan kerang pun terus merosot. Saat hutan gambut Rawa Tripa masih utuh, untuk mencari ikan, Ali tinggal meletakkan belasan bubu di bawah pohon di hutan rawa. Dulu, dalam sehari, dia rata-rata menangkap 30 kilogram lele dan tiga karung kerang. Musim panen ikan itu sudah lama lewat. Kini Ali paling banter hanya bisa menangkap 10 kilogram lele dalam sehari. Itu pun dia harus bersusah payah mencarinya hingga ke hulu sungai.

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Aceh T.M. Zulfi kar mengatakan pengalaman warga sekitar Rawa Tripa dalam lima tahun terakhir bertolak belakang dengan program Aceh Green, yang dicanangkan Gubernur Irwandi Yusuf setelah dilantik awal 2007.

Zulfikar pun membeberkan data. Sebelum 2007, kerusakan hutan di Aceh rata-rata 20 ribu hektare per tahun. Sejak 2007, kerusakan hutan di Aceh meluas, menjadi 23-40 ribu hektare per tahun. ”Pemerintah Aceh seperti menjilat ludahnya sendiri,” kata Adnan N.S., anggota Dewan Pengawas Yayasan Ekosistem Lestari. ● UNTUNG WIDYANTO

DIUSUT MENJELANG BINASA
There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.