Posted in

PULANG SEBELUM NEGOSIASI SELESAI, BIKIN MALU KELUARGA; KATA GREENPEACE

thumbnailKetidakpastian hasil negosiasi perubahan iklim di Durban, Afrika Selatan membuat banyaknya delegasi-delegasi yang pulang ke negara masing-masing sekalipun palu konferensi belum final diketuk.

Durban-Suasana pesimistis semakin memenuhi perundingan perubahan iklim di Durban, dengan semakin banyaknya delegasi-delegasi dunia yang memilih pulang ke negaranya masing-masing sesuai jadwal. Mereka tak mau memperpanjang masa tinggalnya di Afrika Selatan, sekalipun pada Jumat sore waktu Durban, 9/12, COP 17 sudah memutuskan memperpanjang negosiasi itu satu hari lagi. Artinya, masih ada waktu kalau sekedar berurusan memperpanjang tiket pulang kampung.

Tapi pada Sabu, 10/12, sudah banyak delegasi yang pulang kampung termasuk dari kubu Indonesia. Intinya memang, sudah tak ada yang mereka bisa lakukan lagi. Uniknya, di luar tempat konferensi justru aliansi lembaga swadaya masyarakat dari Greenpeace international, 350.org, Friends of the Earth dan AVAAZ, terus berteriak-teriak memprotes lambannya negosiasi ini. Banyak dari mereka justru ingin tapi tak bisa masuk ke konferensi, karena kartu izinnya sudah berakhir sehari sebelumnya pada Jumat, 9/12.

“Banyak negara-negara yang datang ke perundingan PBB di Durban malam ini seharusnya malu. Ketika mereka pulang ke negaranya kami bertanya-tanya bagaimana mereka akan bisa melihat ke mata anak dan cucu mereka nanti,” kata Kumi Naidoo, Direktur Eksekutif Greenpeace Internasional, Sabtu, 10/12

Kumi dan 9 aktivis Greenpeace internasional lainnya pada Jumat, 9/12, sudah diambil kartu izin masuknya ke perundingan PBB ini, sehingga mereka tak lagi bisa menginjak area konferensi. Selain mereka, banyak juga anggota-anggota kelompok sipil lainnya juga banyak tak bisa masuk area konferensi karena memang kartu izinnya berakhir pada Jumat, 9/12.

Secara resmi perundingan iklim Durban berlangsung dari 27 November-9 Desember 2011. Demikian banyak kelompok-kelompok sipil hanya mendapatkan izin masuk konferensi hingga 9 Desember 2011. Namun sesuai pengalaman perundingan iklim sebelumnya di Bali, Poznan, Copenhagen dan Cancun yang betambah satu hari, pers dan para delegasi umumnya mendapat kartu izin masuk hingga konferensi dinyatakan berakhir atau ditutup.

Akibatnya, para kelompok sipil yang tak puas menggalang demonstrasi massa di depan area koferensi.

“Ketika perundingan dimulai mereka seharusnya berusaha mendekatkan jarak antara apa yang dikatakan sains iklim harus dilakukan, dan apa yang para pemerintah sekarang berkomitmen untuk dilakukan. Tapi mereka di Durban ini sama sekali tidak berusaha mendekatkan jarak itu, yang mereka lakukan hanyalah memutuskan tenggang waktu untuk menyepakati sesuatu dan mereka tak bisa begitu,” kata Kumi.

Menurut Kumi, perundingan iklim memang rumit, tapi faktanya sederhana, di mana mulai banyak bukti terjadinya bencana akibat perundingan iklim. Pada COP 17, IPCC, yang notabene kelompok ilmuwannya PBB, terus berkampanye akan bukti-bukti ilmiah mereka tentang perubahan iklim mengakibatkan perubahan cuaca secara ekstrim atau yang di Indonesia akrab disebut anomali cuaca.

Sehari sebelum perundingan dimulai, Durban sendiri mengalami cuaca ekstrim berupa hujan badai yang sangat jarang alami sebelumnya, hingga merusakkan atap tempat konfereni UNFCCC. Hujan badai ini menelan korban 8 jiwa.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.