Posted in

INDONESIA SENDIRIAN BICARAKAN GAMBUT

thumbnail

Meski gambut disebut-sebut sebagai penyumbang emisi terbesar bila rusak, namun perhatian dunia terhadap kondisi gambut tidak serius. Buktinya Indonesia sendirian bicarakan gambut di COP 15.

KOPENHAGEN (RP) – Indonesia merasa sendirian saat memperjuangkan persoalan gambut masuk dalam pembahasan di COP15.

 

“Kita sudah meminta agar dalam teks negosiasi LULUCF COP 15, dipisahkan definisi peat land (gambut) dan wet land (peat land). Mengingat besarnya peranan lahan gambut dalam pengurangan emisi global. Namun saat ini, semua itu masih disatukan sebagai wetland, sehingga tidak ada pembicaraan khusus tentang gambut,” ungkap Ketua Kelompok Kerja Alih Guna Lahan dan Kehutanan (LULUCF) Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) Doddy S Sukadri, Jumat (11/12) petang waktu setempat.

            Padahal gambut dalam konteks pengurangan emisi secara global sangat penting. Lahan yang berasal dari pelapukan bahan organik itu berperan besar dalam menyerap, menyimpan dan melepas emisi karbon.

            “Kawasan ini sangat rentan. Bila ia dibuka, maka akan menghasilkan emisi. Setelah dibuka ia juga menjadi rentan terbakar yang juga menghasilkan emisi karbon terbesar. Kita tahu, kebanyakan kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia akibat kebakaran di lahan gambut. Maka diperlukan perhatian dunia untuk bersama-sama menyelamatkan kawasan ini,” paparnya.

            Doddy menjelaskan bahwa delegasi Indonesia telah mencoba mengajak lima negara lainnya yang memiliki lahan gambut untuk memaksukan teks khusus lahan gambut. “Kita sudah coba ajak Congo, Papua Nugini, Peru, Malaysia dan Brazil. Namun usulan kita di COP selalu kandas. Kalau sudah begitu kita bisa apa. Ini konvensi. Kita boleh mengusulkan, tetapi jika tidak ada yang merespon mau apa? Mungkin dorongan media yang bisa membantu,” ungkap Doddy saat menjawab pertanyaanRiau Pos lemahnya perjuangan Indonesia dalam memperjuangkan perlakukan khusus untuk penyelamatan gambut dalam upaya mitigasi perubahan iklim di konvensi internasional tersebut. (ndi)

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.