Posted in

KEMBALIKAN HUTAN KAMI!

Ribuan kilometer jarak ditempuh Julianus Kowek (42) dari kabupaten Waropen, Papua menuju Jakarta, dengan menggunakan jalur perjalanan sungai, laut, darat hingga udara. Lelaki bertubuh gempal ini memiliki empat posisi penting di Waropen sebagai; Gio (sebutan bagi Raja atau Kepala Suku Besar), Mahkamah Tinggi Adat, Panglima Tinggi Adat (Kepala Militer) dan Ketua Otoritas Dewan Adat Suku Oadate. “Kekuasaan kami hingga kepulauan Solomon, “ujarnya.

 

Julianus datang ke Jakarta demi menyuarakan hak-hak masyarakat adat Papua menyangkut hak atas hutan dan tanah adat. Sejak tahun 1980 di kabupaten Waropen, telah terjadi sengketa antara masyarakat adat dengan PT. WMT, perusahaan pengolahan kayu. “Masalah kami selesai pada tahun 2006. Kami berhasil menghentikan PT. WMT beroperasi, yang melakukan penebangan liar di hutan adat. Meskipun alat-alat beratnya masih ditinggalkan disana. Sekarang muncul masalah baru, “keluh Julianus.

 

Tak jarang persoalan hak pengelolaan hutan dan tanah adat di Papua menjadi sumbu peletup konflik. Semisal, dengan dikeluarkannya ijin investasi oleh Departemen Kehutanan untuk  PT. Irmasolindo (Grup KLI), perusahaan swasta nasional yang berinvestasi dengan cara mengalih-fungsikan hutan adat menjadi perkebunan sawit. “Tentu saja masyarakat adat menolak. Pemimpin perusahaannya pernah diusir. Ijin dari Departemen Kehutanan inilah yang justru mengkhawatirkan. Kami takut, bisa menimbulkan konflik dikemudian hari. Masyarakat adat menuntut ijin beroperasinya dicabut dan  hutan dikembalikan kepada Suku Kuriye, “jelas Julianus.

 

Tak dipungkiri, praktek illegal logging di Papua kian marak. Bahkan alih-fungsi hutan menjadi perkebunan sawit masih terjadi. Persoalannya, masyarakat adat di Papua sangat bergantung dengan alam dan kekayaan hutannya. Tak ayal, dibukanya perkebunan sawit telah menghancurkan sendi kehidupan masyarakat, kebudayaan dan memusnahkan tanaman lokal, seperti sagu. “Itu sama saja dengan membunuh orang Papua, ”ujar Pietsau geram. Di Papua, hutan dibedakan dalam berbagai jenis; hutan berburu, hutan obat tradisional, hutan pemukiman, serta hutan kelola.

 

Bahkan di kabupaten lain seperti, Manokwari, Kerom dan Teluk Bintuni, masalahnya tak jauh berbeda dengan Waropen. Tokoh muda asal Manokwari, Pietsau Amafnini, bersuara keras soal alih-fungsi hutan di Papua. “Negara memecah-belah orang Papua. Orang Papua hanya punya nama, tak punya tanah. Negara dan investor yang menguasai hutan dan tanah adat kami, “teriaknya.

 

Fakta yang terjadi di Papua yakni, tak berlakunya hukum positif dalam kasus pertanahan. Hak ulayat masyarakat adat lebih dominan dibanding tanah yang bersertifikasi. Sistem pertanahan bersertifikasi sering digugat oleh masyarakat adat. “Di Papua,  kalau ada orang beli tanah cukup dengan surat ijin dari pemilik marga. Semua tanah di Papua adalah tanah adat, tak ada tanah pribadi! “tegas Pietsau.

 

Tak mengherankan, bila kepemilikan adat mengecewakan bagi investor atau iklim investasi. Ironisnya, pemerintah sebagai pemangku kepentingan tak melakukan pendekatan secara baik dengan musyawarah masyarakat adat. Pietsau pernah memiliki pengalaman getir,  terkait langkah keliru pemerintah “Sudah klaim tanahnya sangat murah, orang Papua masih mengalami diskriminasi, “cetusnya. Contoh,  kasus  pembebasan tanah  adat di Manokwari.  PT. Medco Papua Hijau Selaras yang berinvestasi dalam perkebunan sawit, berhasil membebaskan 18.500 hektar tanah adat dari  total 45.000 hektar. 13.580 hektar dibebaskan dengan ganti rugi cuma Rp. 45,- per meter persegi. “Ini kan gila! Masyarakat adat masih ditekan pula, ”seru Pietsau yang  berjuang melalui LSM Jasoil di Papua.

 

Banyak konflik horizontal di Papua yang tercipta– karena perebutan kekayaan sumberdaya alam seperti tambang, hutan dan tanah. Kasus Timika merupakan contoh gagalnya pendekatan pemerintah pada masyarakat adat. “Anehnya, justru pemerintah melakukan pendekatan personal pada Kepala Suku. Kenapa tak melalui musyawarah besar masyarakat adat Papua? Parahnya, militer mempersenjatai Kepala Suku agar melawan masyarakat adatnya sendiri, “kritik Pietsau.

 

Bagi Julianus Kowek maupun  Pietsau Amafnini, harapannya justru bertumpu  pada orang-orang diluar Papua yang peduli, berempati dan sudi menyuarakan derita masyarakat adat di Papua. “Kami pesimis dengan kebijakan pemerintah pusat yang tak bisa berlaku adil, bahkan dengan LSM dan gereja sekalipun. Semua terima suap, bermain politik dan kasus masyarakat adat  di Papua pun menguap begitu saja! “kata Pietsau kesal. (Farida Indriastuti).

 

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.