Posted in

PERBURUAN MAMMOTH BUKTI PEMICU PEMANASAN GLOBAL

thumbnailJakarta – Fakta teranyar menyebutkan bahwa kepunahan Mammoth (sejenis gajah purba) karena perburuan pada 15.000 tahun yang lalu, telah menjadi pemicu dimulainya proses pemanasan global. Selain karena faktor alami pada akhir zaman es, kepunahan Mammoth juga dipicu oleh ulah manusia sendiri.

Pemanasan global (global warming) merupakan proses yang terjadi secara berangsur-angsur dan dimulai selama ratusan atau bahkan ribuan tahun yang lalu. Apa yang sekarang ini menjadi permasalahan utama umat manusia, sebenarnya merupakan sebuah dampak nyata dari proses global warming yang berlangsung secara kontinyu tersebut.

Dalam artikel berjudul “Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan: Sebuah Pengantar”, yang dimuat dalam Prisma Vol. 29, April 2010, Ismid Hadad menjelaskan bahwa hasil kajian ilmiah telah membuktikan bahwa aktivitas manusia merupakan salah satu penyebab terjadinya perubahan iklim, di samping faktor alam. Sayangnya, isu ini dianggap sebagai masalah teknis lingkungan belaka, yang tidak berkaitan dengan masalah pembangunan.

Perubahan iklim merupakan tantangan multidimensi paling serius, kompleks, dan dilematis yang dihadapi umat manusia pada awal abad ke-21, bahkan mungkin hingga abad ke-22. Tak ada satu negara atau kelompok masyarakat di dunia yang mampu menghindar, apalagi mencegah terjadinya ancaman terhadap peradaban bangsa tersebut.

Bahaya Pemanasan Global

Tidak dapat kita pungkiri bahwa aktivitas manusia telah menyebabkan terjadinya perubahan iklim. Lebih lanjut, Ismid Hadad menjelaskan bahwa berbagai kegiatan pembangunan, seperti industri dan transportasi, yang mulai banyak dilakukan sejak terjadinya Revolusi Industri di Inggris pada abad 19 telah menghasilkan emisi gas buangan industri dan kendaraan bermotor yang menumpuk di udara selama berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus tahun lamanya. Akumulasi bahan pencemar tersebut di atmosfer bumi yang berupa gas-gas rumah kaca (GRK) kemudian mengakibatkan terjadinya fenomena pemanasan global yang kini tengah jadi isu “terpanas” di kolong langit.

Di antara gas-gas rumah kaca yang terpenting adalah karbondioksida (CO2), metana (CH4), nitrat oksida (N2O), dan klorofluorokarbon (CFC). Semuanya menyumbang pada proses radiasi sinar matahari yang dipancarkan/dipantulkan bumi, sehingga suhu memanas, dan proses inilah yang disebut sebagai proses pemanasan global.

Selama hampir satu juta tahun sebelum masuk zaman industri, konsentrasi gas CO2 di atmosfer berkisar hanya sekitar 170 sampai 250 ppm (ppm = parts per million by volume of CO2 equivalent). Ketika Revolusi Industri dimulai, konsentrasi CO2 di atmosfer baru sebesar 280 ppm, dan rata-rata temperatur bumi naik sekitar 0,74oC dibandingkan dengan zaman praindustri.

Namun, 160 tahun kemudian, menurut para ilmuwan, akumulasi CO2di atmosfer diperkirakan sudah mencapai sekitar 390 ppm, terutama karena pembakaran bahan bakar fosil dan sebagian karena emisi pertanian dan alih guna lahan hutan. Jika pola produksi, konsumsi, gaya hidup, dan pertumbuhan penduduk bumi dibiarkan tak terkendali seperti sekarang, maka 100 tahun ke depan konsentrasi CO2 diperkirakan akan naik menjadi 580 ppm atau lebih dua kali lipat dari zaman praindustri.

Akibatnya, dalam kurun waktu 50 – 100 tahun ke depan, jika manusia tidak mengambil tindakan apa pun untuk menstabilisasi GRK di atmosfer, suhu rata-rata bumi akan naik sebesar 1,1 hingga 5 oC. Panas yang dahsyat akan membawa dampak luar biasa terhadap berbagai sektor kehidupan manusia, flora dan fauna, serta makhluk bumi lainnya.

Ancaman kekeringan, kebakaran hutan, terganggunya ekosistem, ketersediaan air, punahnya aneka ragam sumber daya hayati, merosotnya produksi pangan, penyebaran hama dan penyakit (tanaman dan manusia), bahaya paceklik dan kelaparan, konflik sosial, merupakan beberapa contoh dampak sosial-ekonomi dan lingkungan yang ditimbulkan oleh peningkatan suhu bumi sepanas itu.

Bahaya dari pemanasan global tersebut kemudian telah memicu masyarakat internasional untuk mencegah atau bahkan mengatasinya. Masyarakat internasional mulai berjuang melalui Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (UNFCC) dan Protokol Kyoto yang berlangsung sejak 17 tahun yang lalu dengan tujuan untuk mengusahakan agar kenaikan suhu panas bumi tidak melebihi ambang batas 2 oC.

Kabar Teranyar dari Amerika

Di tengah hiruk-pikuk usaha umat manusia untuk mencegah terjadinya dampak buruk dari pemanasan global, sebuah penelitian di Amerika Serikat menyimpulkan bahwa kepunahan Mammoth pada 15.000 tahun yang lalu telah menjadi pemicu dimulainya proses pemanasan global. Hal ini dikemukakan lewat studi terbaru yang dipublikasikan di Geophysical Research Letters, a journal of the American Geophysical Union (AGU), yang dirilis pada 30 Juni 2010 yang lalu.

Penelitian yang dipimpin oleh Chris Dougthy dari Carnegie Institution for Science di Stanford, California, Amerika Serikat, mengemukakan bahwa perburuan yang mengakibatkan kepunahan Mammoth merupakan bukti awal pemanasan global memang berasal dari tangan manusia sendiri. Selain faktor alam di akhir zaman es, kegiatan para pemburu pada zaman purba juga telah menjadi penyebab lainnya di balik kepunahan Mammoth tersebut.

Chris Dougthy, Adam Wolf, dan Chris Field mengemukakan sebuah skenario yang menjelaskan bagaimana para pemburu pada masa purba telah memicu terjadinya pemanasan global, terutama terkait dengan kegiatan mereka memburu dan membunuh Mammoth.

Populasi Mammoth mulai menurun, selain karena faktor alam berupa perubahan iklim di akhir zaman es, juga karena perburuan oleh manusia. Mammoth sebenarnya merupakan pemakan sejenis pohon/tumbuhan dewasa yang hidup di padang rumput. Jika Mammoth mati, maka jenis tumbuhan tersebut akan semakin banyak dan bisa mendominasi padang rumput tersebut.

Tumbuhan tersebut kemudian akan mengubah warna dari landscapepadang rumput, membuat padang rumput lebih gelap, yang kemudian menyerap lebih banyak panas matahari, dan ini menyebabkan terjadinya pertukaran panas di udara. Proses ini akan lebih mendorong terjadinya perubahan iklim secara alami, membuat Mammoth lainnya kesulitan untuk mengontrol populasi tanaman tersebut yang semakin lama semakin banyak.

Untuk menguji seberapa besar pengaruh hal ini terhadap iklim, para peneliti tersebut mencari serbuk sari purba yang terdapat di endapan danau di daerah Alaska, Siberia, dan wilayah Yukon, yang terpendam ribuan tahun lalu. Mereka mencari serbuk sari dari tanaman yang digemari Mammoth tersebut (jenis Betula).

Para peneliti menemukan bahwa sekitar 15.000 tahun yang lalu, di mana populasi Mammoth menurun dan kegiatan para pemburu semakin banyak, jumlah serbuk sari tanaman tersebut mulai naik secara cepat.

Penelitian lainnya, yang dipublikasikan setahun yang lalu, menunjukkan bahwa kepunahan Mammoth diikuti oleh perubahan vegetasi secara drastis. Chris Dougthy menyebutkan bahwa kepunahan spesies ini memiliki pengaruh terhadap ekologi dan vegetasi, dan vegetasi memiliki pengaruh yang besar terhadap iklim.

Chris Dougthy dan kolega kemudian menggunakan simulasi iklim untuk memperkirakan bahwa menjamurnya jenis tanaman yang digemari Mammoth telah menghangatkan suhu bumi lebih dari 0,1 oC (0,18 oF) yang berjalan terus menerus selama beberapa abad lamanya. Sebagai perbandingan, bumi telah menghangat sekitar enam kali selama lebih dari 150 tahun, yang sebagian besar karena emisi GRK. (prihandoko)

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.