Posted in

MASYARAKAT KEPULAUAN BELUM JADI PRIORITAS KESEPAKATAN CANCUN

thumbnailJakarta – Konferensi mengenai perubahan iklim ke 16 yang baru saja selesai diselenggarakan di Cancun, Meksiko beberapa hari yang lalu dinilai belum menempatkan keselamatan masyarakat kepulauan sebagai prioritas. Sementara itu pengamat lain mengungkapkan perlunya sistem pendanaan baru untuk adaptasi perubahan iklim di Indonesia. 
Demikian hal tersebut disampaikan oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, M Riza Damanik ketika ditemui SIEJ di kantornya, Jakarta (13/12/2010).

Dikatakan Riza, pada KTT perubahan iklim ke 16 yang baru saja berlangsung di Cancun, Meksiko beberapa hari yang lalu belum mengakomodasi kepentingan masyarakat kepulauan. Hal tersebut, kata Riza, dapat dilihat dalam sembilan poin kesepakatan Cancun yang bersifat tidak mengikat (non legally binding) dan sarat dengan kesewenang-wenangan.

“Tidak menjadi prioritasnya kepentingan masyarakat kepualauan tersebut dapat dilihat dari beberapa point kesepakatan Cancun yang bersifat tidak mengikat,” ujar Riza.

Seperti diketahui, KTT perubahan iklim di Cancun, Meksiko menghasilkan berbagai keputusan. Diantaranya kewajiban negara industri untuk melaksanakan pembangunan rendah karbon dan diharuskan untuk melaporkannya tiap tahun. Keputusan lain merupakan kesepakatan untuk melanjutkan putaran negosiasi di bawah Protokol Kyoto.

Salah satu keputusan terpenting merupakan akan digelontorkannya dana sebesar US$30 miliar dari negara industri kepada negara-negara berkembang hingga 2012m dan niata untuk meningkatkan dana sebesar US$100 miliar dalam jangka panjang hingga 2020. Dalam kaitan finansial tersebut semua pihak menyepakati pembentukan Green Climate Fund di bawah COP.

Menurut Riza, kesepakatan Cancun yang tidak mengikat tersebut hanya mengulangi apa yang telah terjadi di Copenhagen. Seharusnya negosiasi iklim ke 16 ini harus menghasilkan kesepakatan yang mengikat. Sementara itu bencana banjir, kekeringan, naiknya permukaan air laut, minimnya persediaan air bersih hingga tenggelamnya pulau sudah semakin nyata.

“Pemerintah global justru memperlambat keseriusan untuk menyelamatkan seluruh warga dunia, utamanya masyarakat kepulauan dari dampak perubahan iklim,” ujar Riza.

Meski demikian, tegas Riza, dengan berakhirnya negosiasi iklim tak berarti menghentikan keharusan pemerintah Indonesia untuk mengoreksi model pemabangunan berbasis kelautan guna menghadapi perubahan iklim, dengan merespon dampak perubahan iklim yang terjadi saat ini. Pembangunan yang tengah berlangsung, sambungnya, harus dikoreksi dan tidak lagi memakai pendekatan sektoral dan administrasi semata.

Sebab, imbuhnya, secara alamiah masyarakat yang berada di wilayah pesisir memiliki kerentanan yang cukup tinggi baik dari segi bencana yang ditimbulkan oleh alam maupun yang ditimbulkan oleh perbuatan manusia (antropogenik) seperti pencemaran yg dilakukna oleh industri ekstraktif di hulu yang berdampak bagi nelayan tangkap. Selain itu, cuaca ekstrim juga mempunyai dampak yang sangat buruk. sehingga masyarakat pesisir menjadi sangat rentan terhadap perubahan iklim.

“Apalagi Indonesia saat ini sedang meresapi makna Hari Nusantara ke 11 yang diperingati tiap tanggal 13 Desember. Momentum bersejarah ini harus dijadikan sebagai titik tolak untuk memperbaiki kekeliruan pembangunan yang tak arif pada lingkungan hidup dan mengabaikan keselamatan mkasyarakat kepulauan,” ujar Riza.

Pada kesempatan berbeda Koordinator Adaptasi Perubahan Iklim World Wild Fund (WWF) Indonesia, Ari Muhammad, menerangkan bahwa keberadaan sebuah badan pendanaan baru ini tentunya diharapkan dapat menjawab kebutuhan negara-negara berkembang dan negara dunia ketiga lainnya, khususnya yang rentan terhadap perubahan iklim, dalam menyiapkan teknologi bagi pembangunan rendah karbon di masing-masing negara tersebut.

“Untuk upaya adaptasi perubahan iklim, dana tersebut sangat dibutuhkan untuk kegiatan penguatan kapasitas adaptasi yang membutuhkan aktivitas pengembangan kapasitas, pengembangan model dan kajian kerentanan mulai dari level makro sampai dengan mikro, serta kebutuhan pembangunan atau kebutuhan teknologi untuk membantu kegiatan adaptasi,” tukas Ari.

Namun, sambungnya, tawaran yang telah masuk kepada Indonesia atas nama program perubahan iklim memang sudah banyak, baik melalui program hibah ataupun hutang. Persoalannya kini, apakah penggunaan dan distribusi pendanaan tersebut tepat digunakan oleh sektor teknis dan apakah program yang keluar merupakan program yang didasari oleh sebuah metodologi dan proses yang benar dan tepat.

“Jika berbicara mengenai adaptasi perubahan iklim, tentunya sangat diwajibkan untuk menjalankan pembangunan yang berdasarkan kepada pendekatan multidisiplin dan multisektor serta melihat program apa yang dapat dikembangkan dalam level nasional dan program apa yang dapat dikembangkan pada level daerah. Sementara poin yang perlu dicermati oleh seluruh elemen masyarakat adalah mengawasi penggunaan dana-dana tersebut,” tambahnya.

Dalam kaitannya dengan badan pendanaan baru, beberapa negara berkembang termasuk Indonesia di dalamnya, memang berharap agar hal itu berasal dari pendanaan publik, yang artinya murni berasal dari dana negara-negara maju. Jumlah yang diberikan oleh negara-negara maju sebagai pendanaan baru ini dihitung berdasarkan persentase dari GNI (Pendapatan Nasional Kotor) mereka, dan berkisar antara 0,8 – 1,5 persen. Secara detail, teknis pelaksanaan dan pengelolaan pendanaan baru ini diusulkan agar dapat diformulasikan oleh sebuah tim Ad Hoc yang akan melaporkan hasilnya pada COP UNFCCC ke-17 di Durban, Afrika Selatan 2011 mendatang. (ted/pri)

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.