Jakarta, Ekuatorial – Rencana Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) merevisi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (PWP-PPK) dengan menggelar konsultasi publik serentak di 3 lokasi, yakni Universitas Brawijaya, Malang, Universitas Diponegoro, Semarang, dan Institut Pertanian Bogor – IPB, Senin (9/9) tanpa melibatkan nelayan tradisional dan masyarakat adat yang tersebar di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan tunduk pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010 akan berakibat pada konflik horizontal dan kriminalisasi nelayan juga masyarakat pesisir.

Revisi UU Pesisir versi KKP, konsep perizinan berupa izin pemanfaatan perairan pesisir – IP3 dan izin pemanfaatan ruang perairan pesisir – IPRP2 semangat untuk melegalkan pengkaplingan dan komersialisasi wilayah pesisir serta pulau-pulau kecil sama halnya dengan hak pengusahaan perairan pesisir – HP3 yang telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi berdasarkan hasil uji materi terhadap UU pesisir  terdahulu.

“Substansi putusan MK hanya dimaknai sebatas perkara teknis operasional, yakni dengan mengganti HP3 menjadi IPRP2 dan IP3. Bahkan menambahkan pasal yang berpotensi besar mengkriminalisasi nelayan dan masyarakat adat. Inilah jebakan Menteri KP kepada Presiden,” ujar Sekretaris Jenderal KIARA Abdul Halim di Jakarta.

Dimana, subjek yang dapat diberikan untuk IP3 dan IPRP2 adalah perseorangan maupun badan hukum yang tidak jauh berbeda dengan HP3. Proses perizinan tersebut juga tidak menempatkan nelayan tradisional sebagai subjek penting dalam mengelola sumber daya pesisir. Sehingga akan terjadi persaingan yang tidak sebanding dengan swasta untuk dapat memanfaatkan sumber daya pesisir.

Persaingan tersebut tentu akan berakibat pada adanya pembatasan akses, seperti mengkriminalkan usaha pemanfaatan sumber daya pesisir yang sudah terlebih dahulu ada namun, tidak memiliki IP3 atau IPRP2. Apalagi hingga kini masih terjadi penguasaan areal wilayah pesisir untuk kepentingan individu yang membatasi akses nelayan dan masyarakat ke pantai atau ke laut.

Konsep penguasaan areal lokasi berpotensi menjadi pengkaplingan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan memberikan IP3 dan IPRP2 sebagai izin lokasi terhadap kegiatan usaha. Akibatnya, akan terjadi eksploitasi sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil. Seharusnya, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil harus mengedepankan prinsip dikuasai Negara untuk sebsar-besarnya kemakmuran rakyat.

Mahkamah Konstitusi telah menjabarkan empat tolok ukurnya, yakni kemanfaatan sumber daya alam untuk rakyat, tingkat pemerataan sumber daya alam untuk rakyat. Lalu, tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam, dan penghormatan terhadap hak rakyat secara turun temurun.

KIARA mendesak Pertama, Presiden SBY untuk mengevaluasi kinerja menteri kelautan dan perikanan yang berpotensi menjebak dirinya karena draft revisi UU pesisir yang diusung  KKP bertolak belakang dengan amanah UUD 1945 dan putusan Mahkamah Konstitusi.

Kedua, kepada DPR KIARA mendesak untuk tidak melangsungkan pembahasan revisi UUNomor 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil karena hanya akan menghamburkan anggaran Negara dan mengulangi kesalahan.

Ketiga, kepada akademisi di lingkungan Universitas untuk mengkritisi rencana KKP merevisi UU pesisir dan pulau-pulau kecil karena semangatnya masih mengkapling, mengkomersialisasi, dan bahkan mengkriminalisasi nelayan dan masyarakat adat karena substansi yang dibawa melalui inisiatif ini bertentangan dengan amanah konstitusi  UUD 1945. (Wishnu/KIARA)

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.