Posted in

KELOMPOK SIPIL PROTES PROGRAM PERDAGANGAN PANGAN BEBAS

thumbnailForum Ekonomi Dunia (WEF) untuk Asia Timur baru saja usai digelar di Indonesia, 12-13 Juni 2011. Salah satu hasilnya, target Indonesia menarik investasi pangan 20 persen sekaligus pengurangan emisi karbon 20 persen. Namun target ini dapat kritikan dari kelompok sipil. Menurut mereka upaya ketahanan pangan lewat perdagangan bebas semacam ini sudah terbukti gagal memihak rakyat miskin.

 

Jakarta-Kelompok sipil advokasi nelayan KIARA (Koalisi  Rakyat untuk Keadilan Perikanan), Selasa, 14 Juni 2011, menentang Program 20-20 dari Pemerintah Indonesia. Menurut KIARA, program yang melandaskan kebutuhan pangan pada sistem perdagangan bebas itu sudah terbukti kebijakan gagal.

”Sistem perekonomian hari ini menghasilkan kemiskinan dan krisis pangan di negara berkembang. Penyelesaian krisis pangan sebagai dampak globalisasi memerlukan tindakan koreksi. Bukan menggantungkan pengelolaan pangan pada korporasi,” kata Riza Damanik, Sekretaris Jenderal (Sekjen) KIARA dalam pernyataan pers mereka.

Kritik KIARA ini tertuju pada rencana Program 20-20 Pemerintah Indonesia, yang dihasilkan dari negosiasi WEF. Lewat program itu, Pemerintah Indonesia berencana meningkatkan investasi swasta ke bidang pangan sebanyak 20 persen, sekaligus mengupayakan pemotongan emisi karbon dari kegiatan produksi korporasi tersebut sebanyak 20 persen. Ujung-ujungnya, program ini diharapkan akan mampu mengurangi kemiskinan di Indonesia sebanyak 20 persen pula. Untuk rencana ini, Menteri Koordinator Perekonomian Nasional Hatta Radjasa telah mendapat komitmen dari 14 perusahaan pangan internasional.

Namun data membuktikan sistem perdagangan bebas ini tidak memihak masyarakat miskin seperti yang diinginkan Program 20-20. Terlihat dari hasil perdagangan bebas ikan dunia yang timpang dengan angka kemiskinan para nelayan di negara-negara berkembang.

Saat ini sekitar 50 persen ekspor ikan berasal dari negara-negara berkembang dengan konsentrasi di tiga pasar dunia yakni: Uni Eropa, Jepang, dan Amerika. Data Kementerian Perikanan dan Kelautan menyatakan ekspor nasional ikan pada 2010 adalah 653.514 ribu ton atau Rp 1,485 miliar. Angka ini naik dari tahun 2009 yang hanya 287.702 ribu ton. Sebagian besar produk ekspor adalah ikan segar dan beku.

Sebaliknya, pada 2010 Bank Dunia mendata masih ada 100 juta orang miskin di Indonesia dan lebih dari separuhnya bermukim di pedesaan dan pesisir pantai sebagai nelayan dan petani.

”Karena itu setiap negara harus bersedia datang ke meja perundingan guna mengupayakan solusi yang seadil-adilnya, dengan mengedepankan upaya perlindungan terhadap kelompok nelayan dan petani serta kewajiban untuk memenuhi kebutuhan pangan domestik sebagai prinsip mendasarnya. ” kata Riza.

KIARA mengusulkan agar Pemerintah Indonesia tidak mendasarkan solusi ketahanan pangan kepada perdagangan bebas, melainkan pada Konvenan Internasional tentang Hak Ekonomi Sosial dan Budaya. Ini berarti setiap perdagangan pangan harus diikuti upaya mencegah adanya dampak buruk dari perdagangan. Misalnya dengan mencegah monopoli pasar perusahaan besar dunia yang dapat mengendalikan harga pangan nasional dan menghancurkan produsen kecil serta dengan cara pengendalian investasi skala besar.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.