Jika 2,4 juta orang buang air besar sekaligus, maka setara itulah beban pencemaran yang diderita Sungai Barito yang melintasi Kalimantan Tengah dan Selatan, untuk parameter kebutuhan oksigen terlarut atau BOD. Tingkat BOD Barito mencapai 94,8 ton per hari ,sedangkan kandungan COD mencapai 121,5 ton per hari dan kandungan TSS mencapai 51,344 ton per hari. Studi nasional terbaru tentang perhitungan daya tampung beban pencemaran Barito itu diuraikan oleh Pusat Pengelolaan Ekoregion (PPE) Kalimantan Kementerian Lingkungan Hidup, di Jakarta (31/10).
Kajian dilaksanakan sejak April-September 2013 di hulu Sungai Barito di Kabupaten Barito Selatan dan Barito Timur, Kalimantan Tengah; serta hilir Sungai Barito di Kabupaten Tabalong, Hulu Sungai Utara, Balangan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan, Tapin, Barito Kuala, Banjar, dan Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Pemeriksaan dilakukan terhadap BOD atau Biological Oxygen Demand, COD atau Chemical Oxygen Demand, dan TSS atau Total Susppended Solid, dan kandungan beberapa logam berat. Parameter BOD dan COD merupakan parameter yang mewakili kandungan zat organik di perairan, sedangkan TSS merupakan parameter kekeruhan yang menggambarkan kandungan zat tersuspensi di perairan, baik organik maupun anorganik. Kandungan logam berat di Sungai Barito dinilai tidak signifikan, sehingga analisis mendalam dilakukan terhadap BOD, COD, dan TSS.
Sumber pencemar di wilayah hulu utamanya berasal dari sektor industri, pertambangan, dan migas, sedangkan di wilayah hilir utamanya berasal dari aktivitas rumah tangga. M. Noor Andi Kusumah, Kepala Bidang Pengendalian Pemanfaatan dan SDA PPE Kalimantan, menyayangkan kondisi pencemaran Barito dari hulu hingga hilir. “Ini timpang, di hulu saja sudah melebihi daya tampung,” ujarnya sambil menunjukkan data total kandungan pencemar di hulu dan hilir saat menjelaskan hasil kajian pada acara sosialisasinya di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta Pusat.
Untuk kembali ke kondisi normal, sesuai daya tampungnya, kandungan BOD Sungai Barito harus diturunkan sebesar 86%, sedangkan kandungan COD harus diturunkan 62% dan TSS diturunkan 70%. Tim kajian pun memperkirakan biaya yang ditanggung akibat pencemaran Barito lebih dari 540 milyar rupiah meliputi biaya kesehatan dan biaya pengolahan air baku untuk air minum.
“Data menunjukkan bahwa wilayah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan harus bersama-sama menurunkan masukan bahan pencemar ke Sungai Barito. Tidak bisa saling mengandalkan karena kalaupun di KalTeng (hulu) sudah kembali normal, belum cukup membuat hilir (KalSel) kembali normal. Perlu ada usaha dari keduanya,” ujar Prof. Moehansyah, guru besar konservasi tanah dan air Unlam sekaligus tim teknis kajian, merujuk pada walikota KalTeng dan KalSel yang hadir.
Menteri Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya pun mendorong agar kedua walikota ini bersinergi dalam usaha pelestarian Sungai Barito. “Pemerintah daerah sudah saatnya mengelola lingkungan tidak hanya pada wilayahnya tetapi bersinergi dengan daerah sekitarnya,” ujarnya. “Masyarakat juga perlu merubah kebiasaan, jangan membuang sampah sembarangan, ke sungai. Kalau perlu rumah-rumah itu jendelanya (bagian depan rumah) menghadap sungai, jangan rumah itu membelakangi sungai, sungai jadi seakan tempat pembuangan belakang rumah,” tambahnya. (Ratih Rimayanti)