SIEJ, Jakarta – Benih adalah titik awal sebuah sistem pangan. Ketika benih dikuasai oleh beberapa gelintir kelompok, maka sistem pangan akan dikuasai oleh kelompok tersebut. Hal itu diungkapkan Vandana Shiva, seorang eco-feminis, filsuf, penulis, ilmuwan dan aktivis dunia asal India pada acara kuliah umum bertajuk “Our Seed Our Future” di Kampus Universitas Indonesia Depok (18/8).

[Vandana Shiva saat memberikan materi pada acara Kuliah Umum di Kampus UI Depok. Foto: Januar Hakam]
[Vandana Shiva saat memberikan materi pada acara Kuliah Umum di Kampus UI Depok. Foto: Januar Hakam]

Kedaulatan benih menjadi hal yang sangat penting karena hingga kini benih dimonopoli oleh beberapa perusahaan multinasional. Dampaknya petani mengalami kesulitan dalam membeli dan mengembangkan benih, terjadi kenaikan harga pangan, sulitnya mengakses makanan yang sehat dan aman, pemanasan global karena sistem pertanian industri, kenaikan angka kelaparan, konflik agraria, hingga hilangnya keanekaragaman hayati.

Perusahaan seperti Monsanto menurut Shiva merupakan salah satu perusahaan monopoli benih terbesar di dunia. Hal itu karena perusahaan tersebut membuat paten benih, monopoli benih, dan biopiracy genetic engineering, dan pembuatan biji steril yang tidak dapat diperbarui. Monopoli benih oleh Monsanto telah merugikan lebih dari 250 ribu petani di India.

Di Indonesia juga pernah terjadi kasus petani yang mengembangkan benih jagungnya sendiri yang kemudian masuk penjara karena terlibat hak paten atas benih tersebut oleh perusahaan. Kasus ini membuat petani menjadi jera, sehingga mereka sekarang lebih memilih untuk membeli benih walaupun dengan harga yang mahal.

Shiva menjelaskan bahwa pestisida sama dengan gas pembunuh, hanya saja konsentrasinya diturunkan sehingga tidak berefek langsung kepada manusia. Nyatanya, pestisida tidak mengontrol hama tetapi justru dapat menciptakan hama yang tahan terhadap pestisida.

Hidden cost atau akibat yang tak terlihat akibat penggunaan pestisida antara lain adalah efek sosial pada masyarakat, efek lingkungan dan efek terhadap spesies lain. “Efek lain penggunaan pestisida pada spesies lain seperti keracunan pada hewan domestik, liar, ikan, burung, lebah madu, dan polinator lain” ujar wanita yang mendapat gelar pahlawan lingkungan dari majalah TIMES tahun 2003 lalu.

Ia menyebutkan, “Kasus di India akibat penggunaan pestisida secara besar-besaran, lebah madu sebagai polinator hilang hingga 75%.” Karena efek penggunaan pestisida yang lebih banyak menimbulkan kerugian, ia merekomendasikan penggunaan pemangsa alami untuk penanggulangan hama.

Shiva mengatakan bahwa pertanian organik yang berprinsip pada diversitas dan agroekologi merupakan satu-satunya metode pertanian yang paling berkelanjutan dalam mengontrol hama.

Lebih lanjut Ia menerangkan bahwa sistem pertanian monokultur atau pertanian hanya satu jenis tanaman merupakan cara pertanian yang kurang baik, karena sangat rentan terkena gangguan hama, berbeda halnya dengan pertanian polikutur. “Dengan sistem pertanian polikultur juga dapat lebih tahan terhadap perubahan iklim,” ujarnya.

Ia menegaskan pertanian monokultur merupakan sistem yang tidak memperhatikan keanekaragaman hayati. Pertanian monokultur justru dapat merusak lingkungan. Selain itu, sistem monokultur juga rentan terhadap monopoli dan intensifikasi yang merusak.

Ia menceritakan keberhasilannya dalam menciptakan kedaulatan pangan dengan membangun kemandirian petani di negaranya, India. Di sana Ia berhasil menanam 7 sampai 12 jenis berbeda pada satu lahan untuk menjaga keanekaragaman hayatinya. Dari situ, ia juga berhasil menanamkan pengetahuan kepada masyarakat dan membangun ketahanan pangan. Januar Hakam.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.