Perubahan Iklim dan Kesehatan I

Perubahan tata guna lahan, buruknya sanitasi, menyebabkan malaria dan demam berdarah menjadi epidemi. Perubahan iklim ikut memicu perubahan pola penyebaran dan mempercepat siklus kedua penyakit ini.

Syahrul (11), Anak Ternate sudah tujuh kali terkena Malaria. Foto Januar Hakam.
Syahrul (11), Anak Ternate yang sudah tujuh kali terkena Malaria. Foto Januar Hakam.

Anak itu tampak sehat saja, banyak senyumnya, banyak juga geraknya, bermain di bawah bayangan pohon menghindar dari siang yang terik. Tetapi, Syahrul, bocah 11 tahun itu tak boleh terlalu bersemangat, karena akan membuatnya lelah lalu malaria dalam tubuhnya akan kambuh lagi. Anak kelas empat sekolah dasar di Kota Ternate itu sudah tujuh kali terkena malaria. “Cukup sering kambuh kalau ia terlalu lelah,” kata Alim, ayahnya. Di kota itu cukup lumrah orang seperti Syahrul yang mengidap malaria menahun di dalam tubuhnya, karena sejak belasan tahun lalu Ternate di Maluku Utara, dikenal sebagai salah satu daerah epidemi malaria.

Kebersihan rumah Alim yang terjaga dan air yang cukup bersih, tak menghalangi nyamuk Anopheles sp. untuk berkembang biak karena masih bisa menyelinap dan bertelur di antara pepohonan yang banyak tumbuh di halaman rumah itu. Bila nyamuk-nyamuk itu kembali menyerang, “Saya hanya memakai sapu lidi untuk mengusirnya,” kata Alim.

Sikap tenang Alim menghadapi malaria, rupanya jadi sikap orang banyak di Ternate. Tati Sumiati, Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muhamadiyah Maluku Utara mengatakan tingginya endemisitas malaria di kota itu, disebabkan masyarakatnya masih menganggap penyakit itu biasa saja dan tidak menakutkan. “Malaria seperti warisan nenek moyang, jadi ya mereka hadapi dengan sikap biasa saja,” ujarnya kepada Ekuatorial.

Nurbaya Sangadji, Kepala Seksi Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Kota Ternate mengatakan secara geografis kota Ternate berada pada posisi 0-2 derajat lintang utara, yang merupakan daerah yang sangat cocok untuk perkembangbiakan nyamuk malaria tambahan pula Kota Ternate memiliki banyak lokasi perindukan vektor malaria yang disebabkan banyaknya genangan air, baik selepas hujan atau karena pasang air laut. Menurut Nurbaya, Luas Pulau Ternate yang 111 kilometer persegi dikelilingi tidak kurang dari sebelas tempat perindukan vektor malaria. Tahun 2003 saja terjadi 17.625 kasus malaria di kota itu walaupun terus menurun hingga tinggal kurang dari dua ribu orang di tahun 2012.

Mencari Pemicu

Mohamad Riva Kepala Seksi Data dan Informasi Data Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Ternate mengatakan malaria di Ternate kemungkinan dipicu oleh perubahan iklim. Catatan lembaga itu menunjukkan, suhu rata-rata Ternate sepuluh tahun yang lalu ada pada rentang 22-29,6°C, namun sejak 2012 rentang itu naik menjadi 23-33°C. “Sepuluh tahun lalu suhu 23C masih sering terjadi, namun sekarang rata-ratanya di atas itu” katanya.

Riva menjelaskan, curah hujan juga sudah berubah dari siklus normalnya sehingga sulit menentukan polanya. Data satu tahun terakhir menunjukka, intensitas dan volume curah hujan di Ternate mengalami perubahan dari normal. Curah hujan sudah tidak mengalami siklus tahunan lagi, dan pola yang lebih acak terjadi setiap bulan.

Kondisi cuaca yang tak menentu ini, ditambah laju pembangunan rumah yang semakin naik ke pegunungan dan pembabatan hutan pantai untuk permukiman, membuat perindukan vektor malaria semakin banyak. Pasalnya, kerusakan hutan yang menjadi habitat perindukan nyamuk malaria akan menyebabkannya menyebar ke berbagai tempat mencari perindukan baru, termasuk di permukiman. Menurut Tati Sumiati, banyaknya barangka atau sungai mati yang melintasi kota itu, juga menjadi tempat yang nyaman untuk nyamuk malaria berkembangbiak.

Dampak Perubahan Iklim

Perubahan iklim berdampak sangat serius terhadap kesehatan manusia, terutama bila terjadi pemanasan global. Peneliti dari Puslitbang Kementerian Kesehatan Supratman Sukowati mengungkapkan, curah hujan yang ekstrim dan tinggi sebagai salah satu dampak perubahan iklim, dapat menimbulkan berbagai penyakit selain malaria dan DBD, juga serangan gatal, diare, kolera, hingga filariaris atau kaki gajah yang disebabkan cacing, penyakit leptospirosis yang menyerang ginjal dan hati yang disebabkan oleh kencing tikus, dan penyakit batuk, influenza, serta sesak napas karena perubahan cuaca yang tak menentu.

Peneliti dari Australian National University Anthony Mc.Michael juga sampai pada kesimpulan serupa, bahwa perubahan iklim telah menyebabkan berubahnya curah hujan, suhu, kelembapan, dan arah angin, sehingga berdampak terhadap ekosistem daratan dan lautan, serta berpengaruh terhadap perkembangbiakan vektor penyakit seperti nyamuk Aedes aegypti, dan Anopheles sp., yang merupakan vektor demam berdarah dan malaria.

“Selain dampak langsung berupa menyebarnya berbagai penyakit, perubahan iklim juga dapat menyebabkan kebakaran hutan yang menghabiskan plasma nuftah yang banyak di antaranya merupakan bahan dasar obat-obatan, termasuk malaria dan demam berdarah,” kata Ketua RCCC UI Jatna Supriatna.

Suhu udara erat kaitannya dengan tingkat produktivitas seseorang dan secara nasional akan berhubungan pula dengan kinerja perekonomian suatu negara. Penelitian John Dunne, seorang oseanografer dari kantor National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) New Jersey Amerika Serikat, membuktikan hubungan ini untuk orang Amerika. Kesimpulannya, kenaikan suhu 2°C akan menyebabkan terjadinya serangan suhu panas yang ekstrim (heat stroke) yang akan mengurangi produktivitas pekerja sampai 80 persen.

Dunne juga menyimpulkan bahwa dalam cuaca panas yang ekstrim produktivitas mereka maksimal hanya 20 persen, seperti yang ditulisnya dalam Jurnal Nature. Bahkan ketika kenaikan suhu itu mencapai 3 derajat Celcius, dipastikan produktivitas orang Amerika tinggal 10 persen saja.

Laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2012 menyimpulkan, bila dunia mengalami pemanasan global maka kenaikan suhu sebesar 2-3°C akan menambah 3-5 persen penduduk dunia yang berisiko terkena penyakit malaria atau setara dengan 210-350 juta orang dari 7 miliar penduduk bumi. Sebagian besar dari mereka hidup di daerah tropis di Asia, dan Indonesia adalah salah satu negara dengan kematian akibat malaria tertinggi di kawasan ini.

IGG Maha Adi (Jakarta), Januar Hakam (Cimahi, Ternate)

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.