Posted in

Jurus Nyamuk dan Siasat Pak Jumantik

Perubahan iklim mengubah pola penyebaran dan mempercepat siklus penyakit malaria dan demam berdarah. Tindakan pencegahan dan adaptasi menjadi kunci mengurangi risiko kesehatan.

Anak itu tampak sehat saja, banyak senyumnya, banyak juga geraknya, bermain di bawah bayangan pohon menghindar dari siang yang terik. Tetapi, Syahrul, bocah 11 tahun itu tak boleh terlalu bersemangat, karena akan membuatnya lelah lalu malaria dalam tubuhnya akan kambuh lagi. Anak kelas empat sekolah dasar di Kota Ternate itu sudah tujuh kali terkena malaria. “Cukup sering kambuh kalau ia terlalu lelah,” kata Alim, ayahnya. Di kota itu cukup lumrah orang seperti Syahrul yang mengidap malaria menahun di dalam tubuhnya, karena sejak belasan tahun lalu Ternate di Maluku Utara, dikenal sebagai salah satu daerah epidemi malaria.

Kebersihan rumah Alim yang terjaga dan air yang cukup bersih, tak menghalangi nyamuk Anopheles sp. untuk berkembang biak karena masih bisa menyelinap dan bertelur di antara pepohonan yang banyak tumbuh di halaman rumah itu. Bila nyamuk-nyamuk itu kembali menyerang, “Saya hanya memakai sapu lidi untuk mengusirnya,” kata Alim.

Sikap tenang Alim menghadapi malaria, rupanya jadi sikap orang banyak di Ternate. Tati Sumiati, Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muhamadiyah Maluku Utara mengatakan tingginya endemisitas malaria di kota itu, disebabkan masyarakatnya masih menganggap penyakit itu biasa saja dan tidak menakutkan. “Malaria seperti warisan nenek moyang, jadi ya mereka hadapi dengan sikap biasa saja,” ujarnya kepada Ekuatorial.

Nurbaya Sangadji, Kepala Seksi Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Kota Ternate mengatakan secara geografis kota Ternate berada pada posisi 0-20 derajat lintang utara, yang merupakan daerah yang sangat cocok untuk perkembangbiakan nyamuk malaria. Karena Kota Ternate memiliki banyak lokasi perindukan vektor malaria yang disebabkan banyaknya genangan air, baik selepas hujan atau karena pasang air laut. Luas Pulau Ternate yaitu 111 kilometer persegi yang dikelilingi tidak kurang dari sebelas tempat perindukan vektor malaria. Tahun 2003 terjadi 17.625 kasus malaria di kota itu walaupun terus menurun hingga tinggal kurang dari dua ribu orang di tahun 2012.

Mohamad Riva Kepala Seksi Data dan Informasi Data Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Ternate mengatakan berbagai penyakit di Ternate kemungkinan besar dipicu oleh perubahan iklim. Catatan lembaga itu menunjukkan, suhu rata-rata Ternate sepuluh tahun yang lalu ada pada rentang 22-29,6C, namun sejak 2012 rentang itu naik menjadi 23-33C. “Sepuluh tahun lalu suhu 23C masih sering terjadi, namun sekarang rata-ratanya di atas itu” katanya.

Riva menjelaskan, curah hujan juga sudah berubah dari siklus normalnya sehingga sulit menentukan polanya. Data satu tahun terakhir menunjukka, intensitas dan volume curah hujan di Ternate mengalami perubahan dari normal. Curah hujan sudah tidak mengalami siklus tahunan lagi, dan pola yang lebih acak terjadi setiap bulan. Kondisi cuaca yang tak menentu ini, ditambah laju pembangunan rumah yang semakin naik ke pegunungan dan pembabatan hutan pantai untuk permukiman, membuat perindukan vektor malaria semakin banyak. —-berkurangnya vegetasi/hutan berakibat naiknya suhu. Menurut Tati Sumiati, banyaknya barangka atau sungai mati yang melintasi kota itu, juga menjadi tempat yang nyaman untuk nyamuk malaria berkembangbiak.

Dampak Perubahan Iklim

Perubahan iklim berdampak sangat serius terhadap kesehatan manusia, terutama bila terjadi pemanasan global. Peneliti dari Puslitbang Kementerian Kesehatan Supratman Sukowati mengungkapkan, curah hujan yang ekstrim dan tinggi sebagai salah satu dampak perubahan iklim, dapat menimbulkan berbagai penyakit selain malaria dan DBD, juga serangan gatal, diare, kolera, hingga filariaris atau kaki gajah yang disebabkan cacing, penyakit leptospirosis yang menyerang ginjal dan hati yang disebabkan oleh kencing tikus, dan penyakit batuk, influenza, serta sesak napas karena perubahan cuaca yang tak menentu.

Peneliti dari Australian National University Anthony Mc.Michael juga sampai pada kesimpulan serupa, bahwa perubahan iklim telah menyebabkan berubahnya curah hujan, suhu, kelembapan, dan arah angin, sehingga berefek terhadap ekosistem daratan dan lautan, serta berpengaruh terhadap perkembangbiakan vektor penyakit seperti nyamuk Aedes aegypti, dan Anopheles sp., yang merupakan vektor demam berdarah dan malaria. “Selain dampak langsung berupa menyebarnya berbagai penyakit, perubahan iklim juga dapat menyebabkan kebakaran hutan yang menghabiskan plasma nuftah yang banyak di antaranya merupakan bahan dasar obat-obatan, termasuk malaria dan demam berdarah,” kata Ketua RCCC UI Jatna Supriatna.

Suhu udara erat kaitannya dengan tingkat produktivitas seseorang dan secara nasional akan berhubungan pula dengan kinerja perekonomian suatu negara. Penelitian John Dunne, seorang oseanografer dari kantor National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) New Jersey Amerika Serikat membuktikan hubungan ini untuk orang Amerika. Kesimpulannya, kenaikan suhu 2 Celcius akan menyebabkan terjadinya serangan suhu panas yang ekstrim (heat stroke) yang akan mengurangi produktivitas pekerja sampai 80 persen. Itu artinya dalam cuaca panas yang ekstrim produktivitas mereka maksimal hanya 20 persen, demikian kesimpulannya seperti diterbitkan dalam Jurnal Nature- Climate Change. Bahkan ketika kenaikan suhu itu mencapai 3 derajat Celcius, produktivitasnya tinggal 10 persen saja.

Laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2012 menyimpulkan, bila dunia mengalami pemanasan global maka kenaikan suhu sebesar 2-3C akan menambah 3-5 persen penduduk dunia yang berisiko terkena malaria atau setara dengan 210-350 juta orang dari 7 miliar penduduk bumi.

Sampai saat ini malaria dan demam berdarah masih menjadi pandemi di berbagai negara tropis. Kementerian Kesehatan Indonesia juga menyatakan kasus malaria di Indonesia masih tinggi, 70 persen diantaranya terjadi di wilayah timur terutama di Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi, dan Nusa Tenggara.

Siklus Hidup Malaria 500px

Menurut Direktur Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang Kementerian Kesehatan Andi Muhadir, sampai pertengahan tahun 2013 kasus malaria masih tercatat di 31 provinsi dengan penderita 48.905 orang. Dari jumlah itu 376 orang diantaranya meninggal dunia, yang merupakan angka kematian tertinggi di kawasan Asia Tenggara. Wilayah endemik malaria di Indonesia tersebar di 84 Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk berisiko sebanyak 16 juta orang.

Kawasan Rentan Penyakit

Kementerian Kesehatan Indonesia sejak awal 2013 bekerja sama dengan Pusat Penelitian Perubahan Iklim-Universitas Indonesia (RCCC-UI), melakukan kajian pemetaan dan model kerentanan kesehatan akibat perubahan iklim. Hasil penelitian yang disampaikan April lalu di Jakarta menyimpulkan, dari 21 Kabupaten/Kota yang diteliti, semuanya memiliki tingkat kerentanan tinggi terhadap berjangkitnya malaria dan demam berdarah, karena ketidakmampuan mereka menghadapi dampak perubahan iklim.

Penelitian itu juga menyimpulkan, jika terjadi kenaikan suhu 2 – 2,5C pada tahun 2100 atau per dekade mencapai 0,2C dapat menyebabkan perubahan pula pada vektor nyamuk demam berdarah dengue dan malaria. Ketua Bidang Riset RCCC-UI Budi Haryanto menyimpulkan, “Kenaikan suhu dapat membuat rata-rata daur hidup nyamuk menjadi lebih pendek, namun frekuensi makannya lebih sering.”

Rata-rata suhu optimum untuk perkembangbiakan nyamuk malaria ada pada kisaran 25-27 Celcius dan waktu hidup 12 hari. Tapi karena pemanasan global, nyamuk ternyata mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan yang lebih hangat, dan suhu optimum perkembangbiakannya menjadi 32-35 Celcius. Kondisi suhu yang lebih hangat ini mempercepat metabolisme nyamuk, sehingga cepat dewasa tetapi waktu hidupnya hanya tujuh hari saja. Selama kurun waktu seminggu itulah, frekuensi makannya juga menjadi lebih sering dan lebih cepat, sedangkan ukuran badannya mengecil dan lebih gesit

Apakah perubahan iklim juga menyebabkan banyaknya kasus penyakit malaria di Kota Ternate? “Iya, sangat terasa,” kata Iswahyudi, pengelola Malaria Center Provinsi Maluku Utara, sembari memamparkan pengaruh perubahan iklim dengan gambaran grafik naik turun puncak penyebaran malaria di kota itu. Kota Ternate, katanya, sebelum tahun 2008 selalu mengalami puncak malaria pada periode bulan Oktober dan April atau selama periode musim hujan, dengan dua kali puncak epidemi. Tetapi, mulai 2009 puncaknya menjadi empat kali setiap tahun. Hal itu disebabkan hujan yang lebih banyak turun pada bulan yang seharusnya sudah masuk musim panas.

Kenaikan frekuensi hujan juga menyebabkan tanah cekung di sepanjang ekosistem bakau di pantai Ternate dalam beberapa tahun terakhir terus tergenang air. Selain air hujan, pasang air laut menyebabkan genangan itu tak pernah mengering. Kawasan tergenang yang biasanya dikelilingi tanaman bakau itulah yang kini menjadi lokasi ideal perindukan nyamuk malaria dan ikut menyulitkan pemberantasannya.

Serbuan Ke Dataran Tinggi

Kasus malaria yang terjadi di Papua dan Papua Nugini sangat populer di mata para peneliti dunia. Di kedua lokasi itu, mereka sampai pada kesimpulan bahwa penyakit malaria telah merambat ke daerah yang jauh lebih tinggi, dimana beberapa puluh tahun sebelumnya hampir tak mungkin menemukan nyamuk malaria karena suhu yang dingin.

Suhu dingin itulah yang membuat suku-suku dataran tinggi Papua dikenal “kebal-malaria” sampai tahun awal tahun 1960-an. Perubahan terjadi ketika terjadi industri kayu dan perkebunan masuk Papua dan membabat hutan atau membuka lahan dalam skala besar. Hutan yang rusak berarti merusak pula habitat spesies nyamuk malaria. Akibatnya, mereka menyebar sampai ketinggian 3.600 m yang dulu suhunya sering di bawah 16 C, batas suhu minimum nyamuk malaria untuk dapat hidup. Contoh kota mana di dataran tinggi yang dulu tidak ada penderita sekarang ada.

Kota Cimahi di Jawa Barat, yang dulu dikenal cukup sejuk kini juga mulai merasakan sengatan malaria. Kepala Seksi Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Kota Cimahi Rina Kuswidiati punya analisis kenapa kota ini terjangkit malaria. Menurutnya, ribuan tentara datang dan pergi ke kota itu, banyak diantaranya hanya tinggal dalam waktu singkat tetapi sebagian yang lain bertugas di sana. “Banyak anggota tentara itu berasal atau bertugas cukup lama di Indonesia Bagian Timur, yang mungkin saja sudah terinfeksi malaria dan membawanya ke sini,” ungkapnya.

Jadi, penyakit malaria di kota Cimahi adalah hasil “impor” dari luar Cimahi. Rina menambahkan, “Kami yakin di Kota Cimahi lokasi perindukan nyamuk malaria tidak ada, karena tak ada ekosistem air payau, rawa-rawa atau daerah pantai. Cimahi bukan daerah yang cocok untuk Anopheles.”

Demam Berdarah Dengue

Penyakit lain yang dipengaruhi perubahan iklim adalah demam berdarah dengue, kali ini vektornya nyamuk Aedes aegypti. Selama periode tahun 1968-2009 WHO mencatat Indonesia sebagai negara dengan kasus demam berdarah tertinggi di Asia Tenggara, dan tertinggi nomor dua di dunia setelah Thailand.

Data Kementerian Kesehatan menunjukkan, tahun 2008 kasus DBD di Indonesia sebanyak 137.469 kasus, dengan jumlah kematian mencapai 0,86 persen atau lebih dari 1.200 orang meninggal sia-sia. Tahun berikutnya tercatat 154.855 menderita demam berdarah, dengan jumlah kematian mencapai 1.316 kasus, dan pada tahun 2010 Indonesia menempati urutan tertinggi kasus di Asia Tenggara yaitu 156.086 kasus dengan kematian 1.358 orang. Tahun 2011 kasus DBD turun menjadi 49.486 kasus dengan kematian 403 orang. Hingga saat ini belum ditemukan vaksin maupun obat yang efektif untuk menyembuhkan penyakit yang disebarkan oleh nyamuk Aedes aegypti ini.

Serbuan demam berdarah boleh dibilang hampir merata di seluruh Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, baik di dataran rendah maupun tinggi. Sejak tahun 2013, laporan dengue dari kota-kota dataran tinggi yang sebelumnya berudara sejuk seperti Bandung, Lembang, dan Pangalengan mulai tercatat di dinas kesehatan. Di antara kota-kota di Jawa Barat, Kota Cimahi di ketinggian sekitar 1000 meter dari permukaan laut adalah salah satu yang paling parah terpapar demam berdarah.

Beraksi di Kota Tentara

Menjadi hunian ribuan tentara yang gagah perkasa, tak lantas membuat nyamuk-nyamuk “kecut”. Kota Cimahi yang dijuluki Kota Tentara, karena di sana berdiri 31 pusat pelatihan dan markas tentara dan polisi, malah seluruh kelurahannya yang berjumlah 15 itu berstatus endemis demam berdarah. Pada tahun 2013 Kota Cimahi ada di peringkat ke-13 nasional jumlah penderita DBD dengan angka kesakitan atau angka serangan mencapai 55 orang setiap 100 ribu penduduk.

Aktivitas nyamuk demam berdarah biasanya dua jam setelah matahari terbit dan dua jam sebelum terbenam, sekitar jam 9-10 pagi dan 4-5 sore. Namun, suhu yang lebih panas telah memperpendek daur hidup dengue dan membuat mereka semakin aktif makan, seperti temuan RCCC-UI, sehingga dapat menyerang dari pagi sampai sore tanpa jeda.

Kota Tentara itu pernah mengalami kejadian luar biasa DBD tahun 2007 dan terjadi kembali tahun 2012, jadi semacam siklus lima tahun. Biasanya ledakan jumlah penderita tertinggi terjadi sepanjang Januari dan Februari, lalu naik lagi di bulan Juni-Juli. Namun pola itu kini berubah, karena beberapa tahun belakangan hujan turun sepanjang tahun sehingga puncak penyebarannya ikut berubah. “Perubahan pola hujan dan musim panas itulah yang menyebabkan puncak demam berdarah merata setiap tahun,” kata Rina Kuswidiati dari Dinas Kesehatan setempat.

Rina juga yakin penyebaran demam berdarah dipengaruhi oleh perubahan iklim, karena kehidupan nyamuk Aedes aegypti sangat berkaitan dengan suhu lingkungannya dan curah hujan. Masalahnya, saat ini Pemerintah Kota Cimahi kesulitan untuk memperkirakan datangnya musim hujan. “Kalau musim hujan yang panjang sih gak jadi masalah, karena telur-telur nyamuk terbawa hujan. Kenyataannya, beberapa tahun terakhir musim hujan diselingi kemarau, terus hujan lagi dan kemarau lagi, begitu terus berganti-ganti,” katanya, sembari melanjutkan, “Karena bisa datang setiap tahun, sekarang demam berdarah di Cimahi tidak ikut siklus lima tahunan lagi.”

Grafik Kasus DBD Cimahi 2013 500px

Nyamuk “Elit”

Nyamuk Aedes aegypti. Foto: Jentavery
Nyamuk Aedes aegypti. Foto: Jentavery

Nyamuk Aedes dikenal menyukai tempat yang bersih untuk berkembang biak, seperti di air bersih, rumah berlantai semen, itu sebabnya dijuluki “nyamuk elit.” Tetapi, nyamuk dengue juga masih bisa bertahan di habitat alaminya seperti di antara pelepah dedaunan, batang pohon yang membusuk atau di lembar daun yang menampung air. Telurnya mampu bertahan selama enam bulan di tempat kering, dan berkembang biak ketika hujan datang.

Cimahi telah berkembang menjadi kota industri, terutama tekstil, pakaian jadi, dan industri kulit. Penduduknya dengan cepat bertambah, datang dari berbagai penjuru mengais rejeki pada puluhan pabrik yang ada. Situs resmi Kota Cimahi mengakui kota itu mulai menghadapi masalah kenaikan volume limbah cair dan sampah yang dibuang ke lingkungan. Genangan air kotor dan onggokan sampah gampang terlihat di berbagai penjuru kota. Buruknya pula, beberapa kawasan di dalam kota Cimahi menjadi lebih padat dibandingkan kawasan lain, karena para pekerja pabrik dari luar kota berebut menyewa kos atau mengontrak rumah yang tak jauh dari tempat mereka bekerja di pusat kota.

Usman, seorang buruh di salah satu pabrik garmen dan sudah 14 tahun tinggal di Cimahi pernah dua kali terserang DBD.

Ketika Ekuatorial meyambangi rumahnya di perbatasan Kota Cimahi-Bandung, ternyata ia tinggal di rumah petak yang cukup bersih, tidak pernah tampak sampah, tidak juga ada air yang tergenang atau pakaian yang bergantungan. Ventilasi rumahnya sudah dilengkapnya dengan kasa nyamuk. Ia juga mengaku cukup sering menguras bak mandinya dan memakai obat nyamuk semprot. “Saya terkena demam berdarah ketika bekerja di pabrik, karena ada saluran air tergenang dan kotor, ditambah lagi banyak tempat penampungan air untuk campuran pewarna tekstil,” ungkapnya.

Emon, 36 tahun, bekerja sebagai penjaga keamanan di salah satu pabrik di pinggiran Cimahi, tapi tinggal di dalam kota di rumah kontrakan dekat pasar bersama istri dan kedua anaknya. Lingkungan di depan rumahnya adalah gang sempit yang ramai dan sampah yang berserakan, berdampingan dengan got yang airnya hitam menggenang. Karena jarak antar rumah yang sempit, semua orang saling menjemur bajunya menjorok ke luar balkon sehingga menghalangi sinar matahari dan membuat gang itu sedikit gelap di siang hari. Walaupun kotor dan berada dekat pasar, ternyata keluarga Emon masih beruntung aman dari serangan demam berdarah, hanya setahun lalu tetangga di dekat situ meninggal karena penyakit yang sama.

Upaya Adaptasi

Selain program pengasapan yang masih populer untuk memberantas malaria, Dinas Kesehatan Ternate berinisiatif menggelar program kasanisasi atau memberikan kawat kasa gratis yang dipasang pada ventilasi rumah, agar nyamuk tidak bisa masuk. Di dalam rumah dilakukan indoor residual spraying atau IRS, yaitu penyemprotan cairan insektisida ke dinding rumah untuk mematikan nyamuk. Selain kasa dan insektisida, ternyata memasang kelambu berinsektisida juga efektif menganggulangi jumlah penderita malaria. Pembagian kelambu beberapa tahun terakhir difokuskan hanya untuk balita dan ibu hamil karena keterbatasan jumlah kelambu. Meskipun insektisida termasuk bahan beracun, tetapi dosis yang ada di kelambu sangat kecil sehingga tidak akan membahayakan manusia.

Ilustrasi Kelambu Malaria. Foto: Gates Foundation.
Ilustrasi Kelambu Malaria. Foto: Gates Foundation.

Selain itu ibu hamil dan balita juga diberikan imunisasi karena kelompok tersebut adalah kelompok yang paling rentan sakit malaria. Dinas Kesehatan Kota juga terus melakukan pengamatan sarang nyamuk rutin dan survei darah secara massal untuk mengetahui profil penderita malaria.

Sementara itu, Kota Cimahi punya jurus sendiri menghadapi kedua nyamuk. Pemerintah kota menetapkan Jumat Bersih sebagai hari untuk membersihkan lingkungan di setiap rukun tetangga dan kelurahan. Kota juga cukup sering diasapi atau fogging, yang dirasakan cukup mahal untuk anggaran kota. Sekali pengasapan menelan biaya sekitar Rp 3 juta untuk area dalam radius 100-200 meter dari titik pusat kasus, sama dengan radius terbang nyamuk demam berdarah. Bila daerahnya cukup luas, maka dana yang dibutuhkan akan menggelembung. “Kami tak ingin anggaran daerah habis hanya untuk fogging,” kata Kepala Program DBD Dinas Kesehatan Jawa Barat Wawan Setiawan. Sayangnya efek fogging cuma setengah hari, setelah itu nyamuk bisa bertelur di tempat yang sama.

Karena tingginya serangan, Wawan dengan berseloroh menyebut nyamuk dengue sengaja menyerang bulan Desember-Januari, ketika anggaran pemerintah belum cair, sehingga mereka kerepotan menggelar program pemberantasan jentiknya. “Bahkan dengue banyak sekali menyerang keluarga pejabat dinas kesehatan Jawa Barat, mungkin mereka balas dendam,” katanya sambil tersenyum.

Untuk jentik DBD harus diberantas dengan serbuk abate untuk tempat penampungan air yang jarang dikuras, dan ada juga gerakan 3M (menguras, menutup, mengubur), pemberantasan sarang nyamuk, desa siaga, pola hidup bersih dan sehat dan pelatihan jumantik (juru pemantau jentik). Setiap minggu para jumantik inilah yang mengontrol jentik-jentik di rumah warga dan mencatat temuan jentik lalu melaporkan ke ketua RT (rukun tetangga).

Jentik Pak Jumantik

Ilustrasi Juru Pematau Jentik CIlik. Foto: Republika.
Ilustrasi Juru Pematau Jentik CIlik. Foto: Republika.

Soal jumantik, Cimahi punya cerita lain. Alkisah semangat Walikota Cimahi Atty Suharti Rochija membentuk jumantik ternyata dimanfaatkan para lurah untuk menutupi temuan si jentik. Kelurahan yang dalam laporannya menulis bebas jentik, ternyata banyak kasus demam berdarah. Usut punya usut, para lurah menekan para jumantik agar tak melaporkan temuan yang sebenarnya, karena khawatir daerah mereka akan dianggap sebagai sarang dengue sehingga penilaian kinerja para lurah itu akan buruk.

Tak kurang akal, kali ini Walikota meminta anak-anak sekolah dasar yang dilibatkan sebagai jumantik, dengan alasan mereka lebih jujur dibandingkan dengan orang dewasa. Awalnya anak-anak itu bersemangat berburu jentik karena dijanjikan hadiah pulpen jika berhasil menangkap jentik. Program ini berjalan baik dan ribuan pulpen yang dijanjikan sebagai hadiah berpindah tangan. Beberapa bulan berselang, hasil buruan jentik oleh anak-anak ternyata meningkat tajam. Takjub dengan hasil berburu jentik anak-anak kecil ini, para staf dinas kesehatan menanyai mereka bagaimana cara mendapatkan semua jentik itu. Rupanya, mereka membeli jentik yang banyak dijual di pinggir jalan untuk makanan ikan. Mereka membeli jentik karena menginginkan hadiah pulpen. Sejak itu, sumbangsih Jumantik Cilik pun disudahi Bu Walikota.

Dinas Kesehatan kembali memutar otak mencari akal melibatkan masyarakat. Gagasan barupun diterima, untuk mengadakan lomba antardesa menemukan jentik. Desa mana saja yang berhasil menemukan jentik paling banyak di desa tetangga mereka, berhak mendapatkan hadiah. Lalu menyusul program arisan jentik di tingkat RT yang memberi denda untuk rumah yang kedapatan punya jentik nyamuk paling banyak.

Juru Pemantau Jentik sedang memantau jentik di tempat penampungan air. Foto: PanMas Kota Depok.
Juru Pemantau Jentik sedang memantau jentik di tempat penampungan air. Foto: PanMas Kota Depok.

Cimahi dan Ternate masih terus meramu jurus-jurus ampuh melawan si nyamuk, sementara iklim tak membantu mereka berjuang malah memperburuknya. Nada optimistis memang tetap terdengar dari banyak orang, seperti Rina Kuswidiati, pejabat di Dinas Kesehatan Kota Cimahi, “Kami yakin bersama masyarakat bisa memberantas penyakit ini.” Kini perubahan iklim memang ikut bersekutu dengan penyakit, namun setidaknya orang-orang bisa diajak untuk hidup bersih dan mulai memelihara lingkungan mereka.

IGG Maha Adi (Jakarta), Januar Hakam (Ternate, Cimahi)

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.