Perubahan Iklim dan Kesehatan III

Banyak aktivitas adaptasi digelar untuk menangkal serbuan malaria dan demam berdarah. Ada yang memberi harapan, lebih banyak lagi menunggu cemas apa yang dibawa oleh iklim yang terus berubah.

Jumantik (Juru Pemantau Jentik) memeriksa genangan air. Foto: Panmas Kota Depok
Jumantik (Juru Pemantau Jentik) memeriksa air tergenang. Foto: Panmas Kota Depok

Ternate dan Cimahi, dua kota dengan tingkat endemisitas malaria dan demam berdarah yang tinggi di Indonesia, terus mencari cara lepas dan bebas dari kedua penyakit itu. Selain program pengasapan yang masih populer untuk memberantas malaria, Dinas Kesehatan Ternate berinisiatif menggelar program kasanisasi atau memberikan kawat kasa gratis yang dipasang pada ventilasi rumah, agar nyamuk tidak bisa masuk. Di dalam rumah dilakukan indoor residual spraying atau IRS, yaitu penyemprotan cairan insektisida ke dinding rumah untuk mematikan nyamuk.

Selain kasa dan insektisida, ternyata memasang kelambu berinsektisida juga efektif menganggulangi jumlah penderita malaria. Pembagian kelambu beberapa tahun terakhir difokuskan hanya untuk balita dan ibu hamil karena keterbatasan jumlah kelambu. Meskipun insektisida termasuk bahan beracun, tetapi dosis yang ada di kelambu sangat kecil sehingga tidak akan membahayakan manusia.

Selain itu ibu hamil dan balita juga diberikan imunisasi karena kelompok tersebut adalah kelompok yang paling rentan sakit malaria. Dinas Kesehatan Kota juga terus melakukan pengamatan sarang nyamuk rutin dan survei darah secara massal untuk mengetahui profil penderita malaria.

Sementara itu, Kota Cimahi punya jurus sendiri menghadapi kedua nyamuk. Pemerintah kota menetapkan Jumat Bersih sebagai hari untuk membersihkan lingkungan di setiap rukun tetangga dan kelurahan. Kota juga cukup sering diasapi atau fogging, yang dirasakan cukup mahal untuk anggaran kota. Biaya sekali pengasapan sekitar Rp 3 juta untuk radius 100-200 meter dari titik pusat kasus, sama dengan radius terbang nyamuk demam berdarah. Bila daerahnya cukup luas, maka dana yang dibutuhkan akan menggelembung.

“Kami tak ingin anggaran daerah habis hanya untuk fogging,” kata Kepala Program DBD Dinas Kesehatan Jawa Barat Wawan Setiawan. Sayangnya efek fogging cuma setengah hari, setelah itu nyamuk bisa bertelur di tempat yang sama.

Karena tingginya frekuensi serangan, Wawan dengan berseloroh menyebut nyamuk demam berdarah sengaja menyerang selama bulan Desember dan Januari, ketika anggaran pemerintah belum cair, sehingga mereka kerepotan menggelar program pemberantasan jentiknya. “Bahkan dengue banyak sekali menyerang keluarga pejabat dinas kesehatan Jawa Barat, mungkin mereka balas dendam,” katanya sambil tersenyum.

Untuk jentik DBD harus diberantas dengan serbuk abate untuk tempat penampungan air yang jarang dikuras, dan ada juga gerakan 3M (menguras, menutup, mengubur), pemberantasan sarang nyamuk, desa siaga, pola hidup bersih dan sehat dan pelatihan jumantik (juru pemantau jentik). Setiap minggu para jumantik inilah yang mengontrol jentik-jentik di rumah warga dan mencatat temuan jentik lalu melaporkan ke ketua RT (rukun tetangga).

Jentik-Jentik Pak Jumantik

Soal jumantik, Cimahi punya cerita lain. Alkisah semangat Walikota Cimahi Atty Suharti Rochija membentuk jumantik ternyata dimanfaatkan para lurah untuk menutupi temuan si jentik. Kelurahan yang dalam laporannya menulis bebas jentik, ternyata banyak kasus demam berdarah. Usut punya usut, para lurah menekan para jumantik agar tak melaporkan temuan yang sebenarnya, karena khawatir daerah mereka akan dianggap sebagai sarang dengue sehingga penilaian kinerja para lurah itu akan buruk.

Tak kurang akal, kali ini Walikota meminta anak-anak sekolah dasar yang dilibatkan sebagai jumantik, dengan alasan mereka lebih jujur dibandingkan dengan orang dewasa. Awalnya anak-anak itu bersemangat berburu jentik karena dijanjikan hadiah pulpen jika berhasil menangkap jentik. Mereka boleh datang ke kantor Dinas Kesehatan, memperlihatkan jentik tangkapan dalam plastik dan hadiah pun akan dibagi. Program ini berjalan baik dan ribuan pulpen yang dijanjikan sebagai hadiah berpindah tangan. Beberapa minggu berselang, rupaya hasil buruan jentik oleh anak-anak ternyata meningkat tajam.

Illustrasi jumantik cilik. Foto: Republika.
Illustrasi jumantik cilik. Foto: Republika

Takjub dan sedikit menaruh curiga dengan hasil berburu jentik anak-anak kecil ini, para staf dinas kesehatan menanyai mereka bagaimana cara mendapatkan semua jentik itu. Rupanya, mereka membeli jentik yang banyak dijual di pinggir jalan untuk makanan ikan. Mereka membeli jentik karena menginginkan hadiah pulpen. Sejak saat itu, pengabdian Jumantik Cilik pun dengan terpaksa dipensiunkan Ibu Walikota.

Dinas Kesehatan kembali memutar otak mencari akal melibatkan masyarakat. Gagasan barupun diterima, yaitu mengadakan lomba desa menemukan jentik. Desa mana saja yang berhasil menemukan jentik paling banyak di desa tetangga mereka, berhak mendapatkan hadiah berupa penilaian kinerja terbaik. Lalu menyusul program arisan jentik di tingkat RT yang memberikan denda untuk rumah yang kedapatan punya jentik nyamuk paling banyak.

Cemas Menunggu Iklim

Cimahi dan Ternate masih terus meramu jurus-jurus ampuh melawan si nyamuk, sementara iklim tak membantu mereka berjuang malah memperburuknya. Informasi yang lebih mencemaskan datang dari penelitian National Health Institute, Amerika Serikat di Timika, Papua tahun 2008 lalu. Nyamuk malaria di tempat itu, demikian kesimpulan mereka, tak mempan lagi diobati dengan kina dan sulphadoxine-pyrimethamine, dua obat yang dikenal paling ampuh untuk menyembuhkan malaria. Bahkan spesies parasit malaria di Timika yaitu Plasmodium vivax dinyatakan memiliki tingkat kekebalan obat paling tinggi di dunia.

Nada optimistis memang tetap terdengar dari banyak orang, seperti Rina Kuswidiati, pejabat di Dinas Kesehatan Kota Cimahi, “Kami yakin bersama masyarakat bisa memberantas penyakit ini,” katanya, Begitu pula keyakinan Tati Sumiati, dosen kesehatan di Ternate. Kini perubahan iklim seolah ikut bersekutu dengan kedua nyamuk itu, namun setidaknya orang-orang bisa diajak untuk hidup bersih dan mulai memelihara lingkungan mereka, inilah dua jurus pertama menangkal serangan senyap malaria dan demam berdarah.

IGG Maha Adi (Jakarta), Januar Hakam (Ternate, Cimahi)

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.