Jakarta, Ekuatorial – Lembaga konservasi alam World Wide Funds (WWF), mengatakan jumlah populasi biodiversitas di dunia mengalami kemerosotan mencapai 52 persen, selama 40 tahun terakhir.

“Berdasarkan Living Planet Index (LPI), terjadi penurunan populasi yang besar sejak tahun 1970. Penurunan populasi terbesar berada di wilayah tropis sebesar 56 persen, dan penurunan di Asia-Pasifik mencapai 67 persen,” ungkap Marco Lambertini, Direktur Jenderal World Wide Funds (WWF) di Jakarta dalam acara Living Planet Report, Jumat (10/10).

Selain itu, Marco menyatakan bahwa populasi biodiversitas pada ekosistem laut dan ekosistem laut, mengalami penurunan jumlah populasi yang sama yaitu sebesar 39 persen. “Parahnya, populasi pada ekosistem air tawar mengalami penurunan hingga 76 persen,” tambahnya.

Marco mengatakan penyebab utama kemerosotan jumlah populasi di dunia yaitu karena akibat pemenuhan kebutuhan manusia yang semakin meningkat tajam tiap tahunnya. Ia menyebutkan overfishing, kerusakan hutan akibat pembangunan tidak berkelanjutan, emisi yang semakin meningkat, dan faktor alam seperti bencana dan perubahan iklim merupakan contoh-contoh penyebab kemerosotan populasi biodiversitas dunia. “Sangat penting bahwa pola produksi dan konsumsi kita masih dalam batas alam planet kita. Manusia harus beralih ke hubungan yang lebih seimbang antara alam dan permintaan ekonomi,” tambahnya.

Pada tahun ini, ia mengatakan bahwa tingkat kebutuhan masyarakat dunia sudah tidak tercukupi ditambah lagi dengan penambahan jumlah populasi manusia yang meningkat setiap tahun. “Untuk kebutuhan masyarakat dunia, kita memerlukan 50 persen tambahan sumber daya alam atau kita membutuhkan satu setengah bumi,” jelasnya.

Oleh karena itu, ia mendorong bahwa setiap negara sebaiknya mulai memerhatikan sumber daya alam yang dimilikinya, dan memikirkan solusi agar SDA negaranya tidak kemudian lenyap. “Karena kecenderungan saat ini adalah kemerosotan jumlah SDA dunia, jika terus-menerus mengejar pemenuhan kebutuhan tidak akan pernah bisa selesai,” tambahnya.

Sementara itu, Erfansjah CEO WWF-Indonesia menilai bahwa Indonesia terlalu ambisius untuk selalu menjadi negara sepuluh terbesar dalam industri berbagai sektor. “Indonesia terlalu ambisius untuk menjadi negara terbesar penghasil minyak sawit, kacang kedelai, dan hasil tambang. Ironisnya, Indonesia merupakan negara penghasil emisi yang tertinggi, dan laju kerusakan alam yang juga sangat tinggi,” jelasnya.

Lebih lanjut, Elfansjah mengatakan jika Indonesia tidak mengubah pola produksi dan konsumsi, peningkatan jejak ekologis indonesia tidak akan bisa dihindari dalam lima tahun ke depan. “Ini merupakan tanggung jawab bersama, bukan hanya pemerintah. Sebagai masyarakat, kita mempunyai kekuatan untuk memilih bagaimana menjalankan gaya hidup kita, agar tidak menambah tekanan pada bumi,” katanya.

Jejak ekologis merupakan sistem yang mengukur seberapa banyak ruang, baik di darat maupun di air yang diperlukan manusia untuk menghasilkan sumber daya yang dihabiskan dan menyerap limbah yang dihasilkan.

Acara Living Planet Report (LPR) merupakan sebuah kajian ilmiah yang dirilis oleh WWF tiap dua tahun sekali. Laporan ini menganalisis mengenai tingkat kesehatan planet bumi dan dampak adari aktivitas manusia. Living planet Index (LPI) merupakan sebuah tolak ukur tren mengenai lebih dari 10.000 jenis populasi satwa liar. Penurunan nilai indeks ini mengartikan bahwa terjadi penurunan jumlah mamalia, reptil, burung, amfibi, dan ikan di seluruh dunia. Januar Hakam.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.