Jakarta, Ekuatorial – Memasuki Desember, intensitas hujan yang mengguyur kawasan Ibu Kota terus bertambah. Waspada banjir pun ditingkatkan. Berdasarkan catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), kerugian bencana banjir pada Februari 2014 menembus Rp 5 triliun. Mendorong inflasi naik dari 1,03 persen menjadi 1,07 persen.

Berikut tujuh hal yang perlu dipahami dari peristiwa banjir Jakarta menurut BNPB.

Infografis statistik kependudukan dan resiko bencana DKI Jakarta. Sumber: BNPB
IMG_6032IMG_6039

Dataran Banjir

Sebagian besar kawasan utara Jakarta berada di dataran banjir. Lebih tepatnya lagi, di bawah muka pasang laut.

Degradasi Sungai

Total, ada 13 sistem sungai dari Bogor, Tangerang, dan Bekasi yang mengalir ke Jakarta dan bermuara di Teluk Jakarta. Adapun, kondisinya sudah terdegradasi . Jika seharusnya lebar Kali Ciliwung di wilayah Kampung Pulo, Kampung Melayu, Jatinegara, Jakarta Timur, mencapai 60 meter dengan kedalaman 10 meter, sekarang hanya selebar 10 meter dengan kedalaman air 2 meter. Dan, diatasnya terdapat banyak rumah warga.

Amblas

Penurunan tanah terjadi, utamanya di wilayah Kelurahan Kapuk, Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat. Sementara itu, pasang laut cenderung meningkat.

Kesadaran masyarakat rendah

“Saya pernah menghitung, tahun lalu waktu Kampung Pulo kebanjiran dalam waktu 15 menit saya menemukan 21 kasur. Ada juga kulkas dan kursi. Sosialisasi tidak membuang sampah sembarangan sudah berjalan 50 tahun lebih, tetapi perilakunya masih begitu,” kata Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho di Jakarta, Kamis (27/11).

Alih fungsi hulu

Undang-undang mengamanatkan bahwa idealnya kawasan hijau mencakup minimum 30 persen luas wilayah. Melihat Jakarta, sisa kawasan terbuka hanya sekitar 11 persen. Sama halnya dengan daerah sekitar seperti Bogor dan Depok yang saat ini terus berkembang.

Minim resapan

Sebagian besar wilayah permukiman sudah dicor, sedikit yang menyisakan resapan. Saat hujan, muncul genangan di banyak wilayah. Data Kementrian Pekerjaan Umum menyebutkan ada 78 titik rawan banjir, dengan daerah perhatian khusus yaitu Sungai Ciliwung, Sungai Pesanggrahan, dan Sungai Angke.

Hujan ekstrem

Perubahan iklim menyebabkan perubahan pola hujan global, Jakarta pun kena imbasnya. Perubahan pola tersebut ditandai dengan kemunculan hujan-hujan lokal berintensitas tinggi.

Menurut catatan historis antara 1879 dan 2002, puncak hujan di DKI Jakarta berlangsung pada Januari sampai Februari. Selama itu rata-rata curah hujan mencapai 400 milimeter (mm) per bulan.

Sesekali, ada kondisi ekstrem dimana curah hujan melebihi 200 mm hanya dalam tempo satu hari. Contohnya, pada 5 Januari 1988 pernah terjadi curah hujan dengan intensitas 356 mm per hari. Adapun, dalam satu dekade terakhir, kondisi ekstrem semacam itu semakin sering terjadi.

Pada 2002, curah hujan di Bekasi mencapai 250 mm. Otomatis, sungai meluap. Pada 2007, curah hujan di Ciledug mencapai 340 mm per hari dan di stasiun pemantau Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika mencapai 235 mm per hari.

Pada 2008, saat Tol Sedyatmo kebanjiran, curah hujan di Cengkareng menembus 317 mm per hari dan di Tangerang 263 mm per hari. Berikutnya, pada 2013, curah hujan di Jakarta mencapai 193 mm per hari. Menjebol tanggul di Latuharhari. Korban tewas akibat banjir mencapai 48 orang. Clara Rondonuwu

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.