Karanganyar, Ekuatorial – Delapan wilayah di Karanganyar, Solo, Jawa Tengah terindikasi memiliki tingkat kerawanan longsor tinggi. Delapan Kecamatan di kaki gunung Lawu itu merupakan Jatipuro, Jatiyoso, Tawangmangu, Matesih, Karangpandan, Ngargoyoso, Kerjo dan Kecamatan Jenawi masuk zona merah rawan longsor. Tahun 2007 lalu, 65 orang tewas akibat tertimbun tanah longsor diwilayah tersebut.

Mengantisipasi hal tersebut Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) kemudian membuka layanan aduan masyarakat. Layanan tersebut dibuka selama 24 jam nonstop, untuk memantau terjadinya bencana alam di bumi Intan Pari ini. Kepala Pelaksana Harian (BPBD) Karanganyar, Aji Pratama Heru, mengatakan pihaknya terus melakukan koordinasi dengan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Semarang untuk mengetahui informasi cuaca di Karanganyar dan sekitarnya.

“Kita melakukan kerjasama dengan Pusat Studi Bencana (PSB) UGM, PSB, UNS, untuk memetakan lokasi rawan bencana disana,” jelas Heru saat di temui Ekuatorial di Karanganyar, Jawa Tengah, Rabu (17/12).

Heru menjelaskan untuk mengetahui peta kedalaman dilakukan oleh ahlinya seperti dari Universitas Gajah Mada (UGM) dan Universitas Sebelas Maret (UNS). Sedangkan untuk pemetaan luar bekerjasama dengan Pusdiktop (Pusat Pendidikan Topografi). Dari hasil pemetaan tersebut ada 14 yang tersebar dalam delapan kecamatan yang paling rawan bencana longsor. Ada beberapa desa yang cukup berbahaya terkena longsoran, terutama di dusun Guyon, desa Tengklik Kecamatan Tawangmangu. Lokasi tersebut berada di lereng-lereng bukit dengan kemiringan yang cukup curam.

“Saat ini didaerah tersebut sudah terjadi keamblesan tanah sedalam 20 meter dan itu masih bergerak sampai sekarang,” ungkapnya lagi.

Dalam pengamatan, penambahan keamblasan tanah tersebut terjadi setiap hujan turun dengan intensitas tinggi dan lebih dari dua jam. Tak hanya itu, yang mengkhawatirkan ungkap Heru, di bawah lokasi tanah yang ambles tersebut ada 127 KK dengan total 279 jiwa yang tinggal di lokasi tersebut dan dalam kondisi terancam jiwanya.

Sedangkan lokasi lain yang juga mendapatkan pengawasan tingkat tinggi adalah desa Koripan, Matesih. Ada dua dusun yang rumah warganya sudah mengalami retak-retak. Jumlahnya ada 176 rumah. Dusun lainnya adalah desa Plosorejo, Kecamatan Kerjo. Di lokasi tersebut ada dua bukit, dan antara bukit tersebut ada retakan dan ditengahnya ada pemukiman penduduk. Untuk mengatisipasi hal yang tidak diinginkan pihak BPBD Karanganyar memperbanyak sosialisasi kepada masyarakat di sekitar lokasi. Kemudian dipetakan dan dibuat jalur evakuasi.

Selain itu, pihak BPBD juga mensosialisasikan dan menjelaskan ciri-ciri atau pertanda akan terjadinya longsor kepada masyarakat. Diantaranya, saat curah hujan sangat tinggi, lebih dari dua jam, namun saluran air di sekitarnya justru tidak ada airnya atau berkurang kondisi tersebut perlu diwaspadai masyarakat akan terjadinya longsor.

Ciri lain akan terjadinya longsor yaitu posisi pohon diatas bukti. Bila posisi pohon tersebut masih tegak berdiri berarti daerah tersebut masih aman dari bahaya longsor. Namun bila banyak pohon dibukti tersebut dalam kondisi miring berarti itu salah satu pertanda akan terjadi longsor. Tanda lain yang bisa dijadikan patokan masyarakat, terutama yang tinggal di bawah bukti yaitu jika melihat guduran batu sekepalan tangan jatuh menggelinding dari atas bukit, itu juga menjadi pertanda dibawah bukit sedang terjadi pergerakan tanah karena efek hujan ekstrem tadi.

“Di lokasi tersebut sudah terpasang EWS (Early Warning System). Bahkan di Mogol telah terpasang delapan EWS. Jadi ada interval waktu (jarak) sampai 1,5 jam sejak tanda peringatan berbunyi. Sehingga masyarakat bisa menyelamatkan diri sebelum longsor terjadi,” urainya.

Meski masuk dalam zona merah rawan longsor, sampai saat ini tiga desa yang rawan longsor itu tidak mudah untuk direlokasi karena menyangkut faktor ekonomi, mata pencaharian, budaya . Terlebih lagi relokasi memerlukan persyaratan yang cukup rumit.

Pasalnya, maunya warga, mereka mau pindah namun syaratnya tanah yang ditinggalkan tetap menjadi milik warga, itu yang tidak bisa dipenuhi.

“Sebab jika masyarakat sudah mapan di situ, mau di pindah ke lain tempat (relokasi) tanah yang ditinggalkan syaratnya menjadi milik negara. Dan rata-rata mereka tidak mau,” jelasnya.

Klaten Hujan Lebat
Sementara itu di wilayha Klaten hujan lebat sudah terjadi selama dua hari terakhir ini. Kebanyakan hujan terjadi diwilayah Subosukowonosraten atau eks Karesidenan Surakarta. Akibat hujan tersebut dua jembatan penghubung antar desa di kecamatan Wonogiri Kota dan Kecamatan Selogiri ambrol. Selain itu jembatan yang terletak di Dusun Pokoh, Kelurahan Wonoboyo, Kecamatan Wonogiri Kota dan jembatan Desa Jendi, Kecamatan Selogiri putus dan tidak bisa dilewati.

Salah satu warga Selogiri, Gading mengungkapkan jika hujan yang turun hampir tiga jam lebih membuat aliran sungai semakin deras. Hujan mulai turun sekitar jam 16.00 WIB dengan derasnya. Ditambah dengan banyaknya sampah yang ada di pinggir jembatan membuat jembatan tidak kuat menahan derasnya arus air.

“Kesadaran masyarakat juga kurang, mereka masih membuang sampah di sepanjang aliran sungai. Repotnya kalau sudah begini, jembatan jadi ambrol. Yang repot khan masyarakat juga,” sesalnya, Rabu (17/12).

Jembatan sepanjang 12 meter dengan lebar 4 meter dan tinggi 3 meter menghubungkan desa yakni Desa Jendi dan Desa Pule, merupakan salah satu akses penghubung yang sangat penting. Satu lagi jembatan yang ambrol di Wonogiri adalah jembatan desa Pokoh Kelurahan Wonoboyo juga ambrol karena tiang penyangga jembatan amblas akibat tergerus aliran air sungai yang cukup deras.

Kondisi serupa juga terjadi di wilayah Klaten, Jawa Tengah. Di wilayah tersebut dua titik tanggul tanggul yang menjadi pembatas dan pelindung jebol, karena tak mampu menahan luapan air sungai. Akibat dari jebolnya tanggul tersebut, puluhan hektare sawah yang baru tanam terendam. Hujan yang turun dengan derasnya mengakibatkan tanggul sungai gamping desa Burikan, Cawas jebol jebol karena tidak kuat menahan derasnya air hujan yang terus menggerus badan tanggul. Panjang titik tanggul yang jebol yang pertama sekitar 15 meter dan satu lokasi lagi jebol sepanjang 5 meter yang berakibat merendam sekitar 50 hektare sawah milik warga yang sebagian tanaman padinya juga tertimbun pasir dan tanah.

Kepala desa Burikan, Maryadi mengatakan jebolnya tanggul karena tidak bisa kuat menahan derasnya arus sungai yang berhulu di daerah pegunungan gunungkidul.

“Jebolnya tanggul sekitar pukul 01.00 WIB. Setelah diguyur hujan deras selama tiga jam,” jelasnya di lokasi kejadian.

Terpisah Kepala pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Klaten, Sri Winoto menyatakan pihaknya langsung terjun ke lokasi kejadian dengan membawa bantuan berupa sak untuk menambal sementara tanggul sungai yang jebol. “Selain itu warga tetap harus waspada mendekati puncak musim hujan pada pertengahan Desember hingga Februari,” imbaunya. Bramantyo

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.