Aceh Timur, Ekuatorial – Empat desa di Kabupaten Aceh Timur, terisolir akibat banjir. Desa-desa tersebut adalah Desa Tampor Bor, Desa Tampor Paloh, Desa Melidi dan Desa Ranto Naru (Trans HTI). Empat desa ini berada di Kecamatan Simpang Jernih, Kabupaten Aceh Timur.
Kepala Desa (Geucik) Desa Tampor Bor, Jumarin mengungkapkan dirinya dan beberapa orang warga desa sekitar Kamis (18/12) lalu pergi ke kota kabupaten untuk suatu urusan penting. Namun sore harinya tidak bisa kembali ke desa karena air sungai Tamiang meluap. Sementara satu-satunya jalan menuju desa-desa tersebut adalah melalui jalur sungai.
“Waktu saya keluar dari desa debit air sungai masih belum tinggi, masih bisa dilalui perahu,” ungkap Jumarin. “Saat ini tidak ada perahu yang berani turun karena ombak dan air sungai sangat tinggi,” ucap Jumarin.
Pada saat debit air sungai tinggi atau banjir, jalur sungai ini sangat berbahaya. Terutama dilokasi yang disebut “Batu Katak”. Dititik lokasi ini sering terjadi kecelakaan, perahu yang membawa warga dari desa atau sebaliknya tenggelam dihisap pusaran air. Menurut catatan warga setempat, dari tahun 2012 sampai 2014, ada 10 peristiwa perahu tenggelam di titik lokasi “Batu Katak”. Korban tewas dua orang guru sekolah dasar, dua orang warga desa dan lebih dari sepuluh unit sepeda motor dan harta benda warga serta hasil bumi dari desa yang akan dijual ke kota hilang tenggelam.
Bulan November lalu, ada dua perahu yang tenggelam. Tidak ada korban jiwa, namun tiga unit sepeda motor tenggelam dan hilang dibawa arus sungai. Beras, bibit padi, barang dagangan warga dan perahu yang ditumpangi semua hanyut dibawa arus air sungai. Warga menyelamatkan diri dengan berenang ke tepi sungai.
Jumarin mengungkapkan, empat desa tersebut sudah sering terisolir, setiap debit air sungai Tamiang naik. Tepatnya sejak Kabupaten Aceh Tamiang dilanda banjir bandang 2006 lalu. Jika banjir seperti ini bisa lebih dari seminggu empat desa tersebut terisolir.
Aji Sah, warga Desa Melidi mengatakan mulai Oktober sampai Januari empat desa sering terisolir. Mungkin karena sungai Tamiang semakin dangkal dan sempit, sehingga debit air dan ombak di sungai ini semakin tinggi setiap kali musim hujan.
“Warga terpaksa bertahan menunggu air sungai normal untuk bisa kembali ke desa atau sebaliknya,” ungkap Aji Sah (46 th) warga Desa Melidi.
Empat desa ini terletak disebelah selatan Aceh Timur, berbatasan Kabupaten Aceh Tamiang dan Kabupaten Gayo Leuwes. Dari kota Kuala Simpang, Aceh Tamiang ke desa terdekat yaitu Desa Melidi adalah 90 km melalui jalur sungai. Ditempuh menggunakan perahu masyarakat dengan mesin 23 PK dengan kecepatan 15 km/jam, paling cepat perjalanan sekitar 6 sampai 8 jam dengan kondisi air sungai normal, tepatnya pada cuaca cerah.
Sementara jalur darat melalui jalan antar desa-desa tersebut tidak bisa dilalui dengan kenderaan karena rusak parah dan tidak pernah ada pengerasan jalan. Dari Desa Trans HTI ke desa terdekat yaitu Desa Melidi hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama 6 jam. Sedangkan dari Desa Melidi ke desa terdekat di Lukop, Penaron, Kecamatan Simpang Jernih tidak bisa dilalui, kecuali dengan berjalan kaki sekitar dua hari. Jalur ini naik-turun bukit dan berkelok melalui tepi hutan.
“ Dari Desa Melidi ke Lukop sekitar dua hari berjalan kaki, tidak bisa naik kendaraan karena jalanya rusak parah dan naik-turun bukit,” ungkap Aji Sah.
Saat berhari-hari terisolir, warga di empat desa ini kehabisan sembako. Jikapun ada harganya sangat mahal. Sebutir telur Rp 2.500/butir, biasanya Rp 1.200/ butir. Beras, minyak goreng, gula dan lain-lain harganya sangat mahal.
“ Harga mahal sudah wajar karena jauh sekali membelinya, masalahnya sembako tersebut habis. Kami makan apa saja tanaman yang ada di desa, sambil menunggu air sungai normal dan bisa pergi ke kota Kabupaten,” ungkap Aji Sah.
Selain empat desa yang terisolir karena banjir, hampir seluruh desa di Kecamatan, Aceh Timur diterjang banjir. Mulai (Jumat, 19/12/2014) air mulai menggenangi sejumlah desa di Aceh Timur. Puncaknya pada tanggal 23 Desember 2014 lalu, banjir meluas hingga ke Kota Peureulak dan Kota Idi.
Hingga awal minggu terakhir Desember 2014, air di sejumlah perkampungan warga sudah mulai surut, namun di beberapa titik masih tergenang. Khususnya di areal persawahan di desa-desa tersebut air masih belum surut. Hujan masih terus turun terutama malam hari. Sejumlah warga masih bertahan di pengungsian di Mesjid, Meunasah, Pesantren dan gedung Sekolah Dasar di desa-desa terdekat. Ivo Lestari