Lima, Ekuatorial – Data dari Internal Displacement Monitoring Center (IDMC), lembaga di bawah Dewan Pengungsi Norwegia, memperkirakan 144 juta orang di seluruh dunia telah berpindah paksa selama tahun 2008-2012, karena bencana yang berhubungan dengan dampak perubahan iklim. Perpindahan paksa penduduk itu sebagian besar disebabkan oleh topan, badai, banjir, erosi dan kekeringan.

Menurut Lead Scientist pada United Nations University Institute for Environment and Human Security (UNU-EHS) Koko Warner, “Iklim menjadi faktor penekan penduduk untuk pindah secara paksa dari tanah dan rumah mereka dan hal ini sudah terjadi dan akan terus terjadi mulai dari negara-negara kepulauan di Pasifik sampai yang ada di Tanduk Afrika,”katanya.

Kajian UNU EHS terhadap program adaptasi nasional yang dilakukan di 39 negara di Afrika, Asia, dan negara kepulauan di Samudera Pasifik menyimpulkan, alasan utama perpindahan adalah hilangnya habitat dan sumber mata pencaharian terutama di daerah pesisir karena kenaikan muka air laut, erosi dan abrasi pantai, serta dampak bencana banjir terhadap sektor pertanian.

Koko meminta pemerintah di seluruh dunia segera menyiapkan rencana adaptasi nasional untuk mengantisipasi perpindahan paksa karena dampak perubahan iklim ini. “Manusia pasti bergerak, sekarang terserah setiap negara untuk mengintegrasikan pergerakan manusia ini ke dalam rencana adaptasi mereka,” ungkapnya dalam dalam rangkaian COP20 di Lima, Peru (9/11).

Ia menyatakan bahwa rencana adaptasi nasional perubahan iklim harus menyangkut beberapa isu mendasar terkait pergerakan manusia, yaitu migrasi, perpindahan paksa (displacement), dan relokasi terencana (planned relocation).

Menurut data UNU EHS, setiap negara memiliki kebutuhan berbeda dengan negara lainnya, untuk mengantisipasi isu pergerakan manusia ini. Republik Kiribati di Samudera Pasifik, contohnya, sudah melengkapi penduduknya dengan pelatihan berbagai ketrampilan agar dapat bersaing secara global, jika mereka terpaksa pindah karena kenaikan muka air laut atau erosi pantai.

Namun, sebagian penduduk di negara Tanduk Afrika seperti Somalia, Ethiopia, Yaman, dan Mesir, yang pindah paksa karena tekanan kekeringan berkepanjangan, sebagian besar masuk ke negara tetangga tanpa dokumen resmi, dan uang. Akibatnya, di tanah yang baru itu mereka dianggap pendatang haram, tidak mendapatkan akses layaknya pengungsi, dan tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga kondisi hidup mereka lebih buruk dibandingkan sebelumnya.

Marine Franck dari kantor PBB untuk urusan pengungsi atau UNHCR mengungkapkan, jika sekelompok manusia berpindah karena faktor tekanan dampak perubahan iklim, maka “Risiko yang ada bukan hanya soal keselamatan tetapi tak terpenuhinya hak asasi mereka sebagai manusia,”katanya.

Oleh karena itu, dibutuhkan jalan keluar terhadap mata pencaharian, keselamatan, bahkan pemulihan rasa harga diri mereka. Senada dengan Koko, ia juga meminta negara peserta konvensi UNFCCC/COP20 di Lima ini, untuk segera menyusun strategi adaptasi nasional dengan memasukkan aspek perpindahan manusia (human mobility), baik yang kedatangan para imigran maupun yang mengalami migrasi penduduk. IGG Maha Adi (Lima, Peru)

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.