Bandarlampung, Ekuatorial – Menabung biasanya diidentikkan dengan uang. Tapi berbeda dengan tabungan yang satu ini, nasabahnya hanya diminta untuk membawa sampah di sekitar rumahnya.

Tabungan ini diberi nama Bank Sampah Laskar Peduli Lingkungan. Bank ini baru berjalan di sebuah pemukiman pesisir kota di Jl Selat Malaka, Gang Kiter I, Panjang Selatan, Bandarlampung.

Menurut Rahayu (20), Teller Bank Sampah tabungan tersebut baru berjalan sekitar empat bulan lalu dan kini sudah memiliki nasabah sekitar 50 orang.

“Setiap nasabah yang ingin menabung cukup membawa sampah mereka kepada kami. Setiap 1 ons kami menghargai Rp200,” katanya. Dari nasabah yang ada, sudah ada yang memiliki nilai tabungan mencapai Rp100 ribu sampai Rp200 ribu.

Sampah yang ditabung itu diolah menjadi produk kerajinan tangan seperti keranjang buah, tas pesta, topi pantai bahkan gaun cantik. Sedangkan sampah sisa makanan, diolah menjadi pupuk organik yang dapat digunakan untuk penyubur tanaman rumah tangga.

Rini Oktaviani (50) seorang ibu rumah tangga dan juga aktivis lingkungan di sekitar Pesisir Pantai di Bandarlampung mengatakan, adanya bank sampah ini bermula dari keprihatinannya atas sampah di pinggir pantai yang volumenya kian tak terbendung.

Sedangkan, membludaknya sampah itu tak diiringi dengan kesadaran masyarakat sekitar. “Kalau saya mengajak untuk gotong royong membersihkan pesisir ini tidak ada yang mau menanggapi,” kisahnya.

Kemudian, suatu hari Rini mengumpulkan anak-anak untuk belajar tentang lingkungan. Di sana dia menceritakan kondisi sampah, bahayanya dan bagaimana pengelolaanya. “Intinya di sana saya menyadarkan anak-anak tentang lingkungan hidup,” katanya.

Lalu, suatu hari ia menganjurkan anak didiknya untuk mengumpulkan sampah di rumahnya dan disetorkan setiap seminggu sekali saat pertemuan.

“Dari sampah yang mereka bawa itu kemudian ditimbang lalu dihargai sesuai dengan jumlah sampah yang dibawa. Suatu hari saya memberi buku tabungan kepada anak-anak dan mereka terkejut karena merasa tidak pernah menabung uang sepeser pun,” tuturnya.

Rini pun menjelaskan pada anak didiknya, bahwa sampah yang pernah disetornya itu bisa bernilai ekonomis. Sejak saat itu, siswa mulai mengumpulkam sampah di rumahnya bahkan sampah saat jajan di sekolah.

Seiring berjalannya waktu, tak cuma siswa saja yang menyetor sampah. Masyarakat sekitar juga mulai tergerak untuk mengumpulkan sampah di rumahnya.

Kegiatan ini mendapat respon dari pemerintah dan pengusaha. Rini sekarang mendapat bantuan berupa mesin pencacah sampah dari CSR perusahaan sekitar dan juga mendapatkan peralatan seperti komputer dan lainnya dari pemerintah.

“Kami menerima apapun yang diberikan dari pihak luar. Tapi yang menjadi kendala adalah, kami kesulitan memasarkan produk hasil olahan ini,” keluhnya.

Meski produk kerajinan dari sampah itu dibuat semenarik mungkin tetap saja peminatnya masih sangat sedikit. Padahal harga yang ditawarkan sangat terjangkau.

Meski demikian, Rini terus berusaha agar hal tersebut bermanfaat untuk lingkungan. “Upaya ini saya yakin masih nol persen untuk mengurangi persoalan sampah. Mungkin 5 bahkan 15 tahun ke depan juga belum menuai hasil yang maksimal, tapi inilah yang bisa saya perbuat untuk lingkungan sekitar,” imbuhnya.

Percontohan bank sampah ini rencananya akan dilaksanakan juga di kelurahan lainnya seperti di Waylunik, Bumiwaras dan Kotakarang. Daerah-daerah itu merupakan pemukiman di sekitar pesisir yang menjadi muara akhir sampah rumah tangga. Eni Muslihah

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.