Jakarta, Ekuatorial – Menanggapi isu peleburan BP REDD+ ke dalam Direktorat Jendral Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Heru Prasetyo selaku Kepala BP REDD+ pada Jumat (9/1) mengatakan isu tersebut tidak benar.
Adapun ia menjelaskan bahwa ia benar telah bertemu dengan Ibu Menteri KLHK, Siti Nurbaya untuk membahas beberapa hal penting terkait susunan struktur Dirjen. Namun ia mengatakan tidak membahas secara langsung masalah peleburan REDD ke dalam KLHK.
“Saya dan ibu menteri bersama dengan Bapak Andi (seskab-red) yaitu membahas bagaimana baiknya untuk sama-sama menuju visi misi Jokowi,” ujar Heru di kantor REDD+ di Jakarta.
Ia mengatakan dalam diskusi yang dilakukan di KLHK pada Selasa lalu, ia menanyakan bagaimana baiknya posisi lembaganya itu. “Saya konsultasikan bagaimana ya baiknya? Apakah nantinya di absorp ke dalam kementerian, atau bagaimana?”, tuturnya.
Pada saat itu menteri KLHK mendiskusikan mengenai konsep struktur, kesulitan dan hambatan, serta kondisi peralihan. Disitu juga disebutkan butuh tenaga-tenaga kepakaran. Namun ia mengatakan tidak ada persetujuan saat itu mengenai persoalan peleburan ini.
“Saya saat itu meminta waktu dua hari untuk memikirkan itu. Karena ini persoalan yang tidak ringan, karena tidak hanya menyangkut teknis dan manajemen tapi juga policy of the president. Jadi untuk struktur kita masih bicarakan terus,” tambah Heru.
Meskipun demikian, Menteri KLHK memang sepertinya ingin meleburkan beberapa lembaga yang menangani isu yang serupa, untuk mendukung efisiensi dan tidak ada tumpang tindih kerja antar lembaga.
“Ibu Siti mengatakan ada gagasan untuk mengkolaborasi berbagai dirjen di kementeriannya. Kemudian ia menyampaikan ada konsep sembilan dirjen dan enam staf ahli. Ia juga mengatakan telah membuat fokus besar dengan Menpan (Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara-red) untuk fokus ke Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim,” jelasnya.
Namun mengenai format peleburan dan detail dirjen pengendalian perubahan iklim Heru mengatakan masih belum ada. Begitu pula di dalam draft di organisasinya juga belum ada. “Jadi ini baru ide, kita diskusi ide,” tambahnya.
Ditanya mengenai keinginan REDD, Heru mengatakan ia ingin menyelesaikan dahulu pekerjaannya. “Kita ingin apa yang awalnya kita lakukan tidak berhenti dengan cepat,” ujarnya. Namun, Heru mengaku sangat sadar bahwa di awal terbentuknya REDD akan menghadapi peralihan pemerintahan. Dan ia mengembalikan keputusan itu kepada Presiden Jokowi.
“Sejak terjadinya pemerintah baru kita hampir setiap minggu menyampaikan laporan ke presiden ini yang kita lakukan, ini yg kita akan lakukan, ini yang butuh masukan dari presiden. Oleh karena itu kita ingin presiden menerima informasi yang lengkap dan baik mengenai kami (REDD). Kita ingin presiden mengambil keputusan yang menempatkan kita dalam posisi terbaik, yang efektif. Dengan begitu lets the president decide,” tutupnya.
Sebelumnya Abdon Nababan, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan, ia tidak mendukung dan menolak peleburan BP REDD+ ke dalam KLHK. Ia mengatakan peleburan ini memiliki resiko yang cukup besar untuk kelestarian hutan Indonesia.
“BP REDD+ ini kan terbilang baru, sebaiknya ya dibiarkan kerjakan tugasnya dulu. Sementara penggabungan dengan KLHK ini berisiko, karena kerja kementerian ini saja belum teruji penggabungan KLH dan Kemenhut,” terangnya kepada Ekuatorial melalui telepon, Kamis (8/1).
Selain belum terujinya kerja KLHK, ia mengkhawatirkan pejabat-pejabat lama Kementerian Kehutanan berserta birokrasi didalamnya, akan semakin melemahkan perbaikan kondisi hutan.
“Tidak berjalannya perbaikan kondisi hutan di Indonesia salah satunya ya akibat birokrasi di kemenhut itu sendiri, belum lagi rezim politiknya. Ibu menteri harusnya bisa menjamin kinerja KLHK dan meyakinkan bahwa perbaikan hutan dilakukan dengan baik,” jelasnya.
Mengenai keuntungan peleburan ini, Abdon menjawab tidak begitu yakin akan ada keuntungan besar. Ia mengatakan mungkin saja BP REDD+ bisa menjadi semacam tenaga baru dalam tubuh KLHK. Namun sebaliknya ia kembali mengegaskan bahwa tugas BP REDD+ sebenarnya lebih singkron dengan KLH. Bukan Kemenhut yang bersifat eksploitatif. “Takutnya power Kemenhut masih sangat besar, nanti KLH dan BP REDD+ bisa menjadi lemah. Kita harus tahu dulu kinerja kementerian ini,” tambahnya.
Lebih lanjut Abdon menerangkan bahwa salah satu jembatan dalam pengakuan masyarakat adat berada pada BP REDD+ dan UKP4. Dengan adanya peleburan ini otomatis jembatan ini akan hilang. Sehingga ancaman pengakuan hak-hak masyarakat adat akan mengalami stagnansi.
“Sebenarnya untuk masyarakat adat, Presiden Jokowi dan JK sudah berkomitmen kuat, salah satunya membentuk Satgas. Ini bisa menjadi jembatan kuat bagi kami untuk pengakuan hak-hak masyarakat adat. Namun hingga saat ini Satgas itu masih dibayang-bayangkan (belum terbentuk). Jangan sampai satu jembatan runtuh, jembatan lain belum ada,” katanya. Januar Hakam