Palangka Raya, Ekuatorial – Pembubaran Badan Pengelola Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi Degradasi Hutan dan Lahan Gambut (BP REDD+), dan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) pusat tidak berpengaruh terhadap program yang menjadikan Kalimantan Tengah (Kalteng) sebagai pilot project program ini.

“Program-program REDD+ di Kalteng tetap berjalan seperti biasa, walaupun badan pengelolaannya itu bubar dan melebur ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK),” kata Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kalteng Mursid Marsono kepada Ekuatorial, Senin (9/2).

Dia menjelaskan, pelaksanaan program REDD+ ke depannya dikoordinasikan dengan Kementerian Kehutanan, dan Pemda. Khususnya rapat membahas program REDD+ di Kalteng setelah BP REDD+ dibubarkan.

“Di sela pembahasan mengenai RTRWP Kalteng di pusat, gubernur ada pembicaraan dengan Menteri Kehutanan untuk koordinasi kelanjutan program REDD+ di Kalteng, dan bagaimana kelanjutan posisi Kalteng sebagai provinsi percontohan dari program REDD+ ini setelah BP REDD+ dibubarkan, dan nanti kita ada pertemuan di pusat untuk membahas hal tersebut lebih rinci lagi,” ujar Mursid Marsono, yang juga Kepala Sekretartai Bersama (Sekber) REDD+ Kalteng.

Kalteng sebagai provinsi percontohan REDD+, sudah berjalan sejak 2010. Dia menilai, dibuatnya Rancangan Peraturan Daerah (Raperda ) dan Peraturan Gubernur (Pergub), serta Memorandum Of Understanding (MOU) pelaksanaan perencanaan REDD+ yang dilakukan tujuh kabupaten di Provinsi Kalteng, mengharuskan program tersebut tetap dilanjutkan di Kalteng.

“Sudah banyak program kegiatan yang dilakukan oleh REDD+ ini melalui Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ataupun Non Government Organization (NGO) yang ambil bagian membantu Kalteng dalam segi lingkungan,” ungkapnya.

Sementara itu, Direktur eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalteng, Arie Rompas mengatakan, langkah diambil presiden dengan pembubaran BP REDD+ tersebut sudah benar. Jika dilihat dari segi ketatanegaraan mandatori di negara, harusnya domain REDD+ ini di kehutanan.

“Langkah presiden menurut saya sudah benar pembubaran BP REDD+ tersebut, karena seharusnya melihat dari beberapa sektor lainnya bahwa kehutanan dalam hal ini harus menjadi tata kelola di pemerintahan mengenai REDD+, dan mandatori itu yang dijalankan, dan tantangannya apakah setelah peleburan ke KLHK bisa dijalankan dengan baik nanti,” jelas pria yang akrab di sapa Rio, pada kesempatan berbeda.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Mitra Lingkungan Hidup Kalteng Kussaritano mengatakan, pihaknya sangat menyayangkan peleburan BP-REDD+ ke salah satu Ditjen di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Menurutnya, peleburan ini bisa dinilai sebagai pelemahan fungsi dan tugas BP REDD+. Dengan berada di bawah salah satu kementerian akan sangat menyulitkan dalam berkoordinasi dengan pihak lain.

Masih menurutnya, pembangunan berbasis rendah karbon sangat dipengaruhi oleh sektor-sektor lain, tidak hanya berhubungan dengan lingkungan hidup dan kehutanan semata.

Dalam Perpres Nomor 16 tahun 2015 tentang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, peleburan tersebut diatur dalam BAB VI perihal ketentuan lain-lain. Dalam Pasal 59, berisikan penjelasan tentang tugas dan fungsi penurunan emisi gas rumah kaca yang diselenggarakan oleh Badan Pengelola Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Dari Deforestasi Degradasi Hutan dan Lahan Gambut (Badan Pengelola REDD+), diintegrasikan menjadi tugas dan fungsi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

“Tugas dan fungsi perumusan kebijakan dan koordinasi pelaksanaan kebijakan di bidang pengendalian perubahan iklim yang diselenggarakan oleh Dewan Nasional Perubahan Iklim, diintegrasikan menjadi tugas dan fungsi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” jelas Itan sapaan akrabnya. Maturidi

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.