Niat awal pemerintah menyediakan bibit tanaman hutan dan jenis tanaman serbaguna Purpose Trees Species (MPTS) lewat program Kebun Bibit Rakyat (KBR) layak di ajungi jempol. Mengacu pada Permenhut No.24/Menhut-II/2010 dan perubahannya serta yang terakhir No.12/Menhut-II/2013, KBR dilaksanakan secara swakelola oleh kelompok masyarakat, terutama masyarakat pedesaan. Bibit hasil KBR digunakan untuk merehabilitasi lahan kritis, kosong, tidak produktif di dalam dan luar kawasan hutan, serta kegiatan penghijauan lingkungan.

Dan jenis tanaman serbaguna MPTS di peruntukkan sebagai salah satu upaya pemulihan kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) yang kritis. Jika dari 2010 hingga 2014 program ini benar-benar berjalan baik, bisa di bayangkan, hutan, lahan kritis dan DAS akan menghijau kembali.

Keinginan masyarakat untuk menanam tanaman hutan dan jenis tanaman serbaguna dalam berbagai upaya rehabilitasi hutan dan lahan sesuai Rencana Usulan Kegiatan Kelompok (RUKK), dibatasi oleh ketidakmampuan mereka untuk memperoleh bibit yang baik. Bertolak dari pengalaman itu, lahirlah kegiatan penyediaan bibit yang lebih baik berbasis pemberdayaan masyarakat dengan nama KBR. Penyediaan bibit tidak cuma-cuma, kelompok tani peserta program yang sudah di verifikasi menerima bantuan dana sebesar Rp 50 juta dalam tiga tahap.

Jika berhasil menumbuhkan helai-helai bibit menjadi pohon-pohon mungil, maka di hadiahi uang perawatan sebesar Rp 750 tiap batangnya. Tinggal hitung, jika 25 ribu bibit (luar Jawa, red) tumbuh sempurna, maka Rp 750 x 25.000 = Rp 18.750.000. Plus, empat atau lima tahun ke depan, pohon serbaguna sudah bisa di nikmati buahnya.

Namun, di berbagai kabupaten dan kota di Sumatera Utara, laporan atau berita keberhasilan program ini teredam dengan isu adanya korupsi, penggelembungan anggaran (mark up), proyek fiktif dan tanaman gagal tumbuh dengan banyak alasan, sejak program ini dimulai.

Pelakunya, sudah menjadi rahasia umum, oknum-oknum Petugas Lapangan Penyuluhan Kehutanan (PLPK) yang melakukan pendampingan kepada kelompok petani penerima program. Tapi tak banyak yang mau buka mulut, semua punya ketakutan sendiri, atau kepentingan masing-masing, dan akhirnya, kegiatan-kegiatan tanpa pertanggungjawaban terjadi begitu saja. Menjadi biasa, terlupakan oleh waktu, serta terus terjadi.

Kita ambil contoh yang di alami Ketua Kelompok Tani Serba Indah di Desa Aek Banir, Kecamatan Panyabungan, Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Tambat Nasution. Kelompoknya menjadi peserta KBR Tahun Anggaran (TA) 2012. Satu-satunya di Desa Aek Banir dan urutan ke-20 kelompok penerima, dari 60 kelompok tani yang mengajukan. Pihaknya menerima 20 ribu bibit karet, 5000 bibit mahoni dan ingul. Pada pengiriman kedua, mereka menerima bibit karet setinggi 30 centimeter yang dalam perjalanan ke desanya, banyak yang rusak dan mati. “Janjinya bibit karet ukuran kecambah. Ini sudah tumbuh sekitar 30 centimeter. Rata-rata tidak hidup, kalau kecambah lebih terjamin. Dalam perjalanan saja sudah rusak,” kata Tambat yang di temui di rumahnya pertengahan Maret 2015 lalu.

Sementara bibit unggul, tidak ada yang tumbuh. Mahoni tumbuh sekitar 1500 pohon. “Kalau karet, dari 20 ribu batang yang hidup sampai saat ini cuma 5000-an dan sudah di bagi ke anggota kelompok,” ucap petani karet ini. Padahal, sewaktu RUKK, kelompoknya mengusulkan bibit karet, mangga dan jambu lonceng merah. Rencananya, seluruh bibit jambu dan mangga akan di tanam di seluruh areal desa. Tak harus anggota kelompok saja yang menerima, tujuannya biar seluruh warga desa bisa menikmati buahnya nanti. Sekarang, 20 ribu plastik polybag bekas bibit teronggok di belakang rumahnya. Kami di ajaknya untuk melihat namun hari sudah menjelang gelap, jadi kami menolaknya. Tapi kami masih sempat melihat pohon karet setinggi dua meter yang kurus sisa KBR yang tertinggal di halaman depan rumahnya.

Ditanya soal jumlah uang yang di terimanya, terlihat jelas keningnya berkerut. “Sudah terlalu lama, lupa aku.” Lama-lama di pancing bercerita, akhirnya dia mengingat. “Total sekitar Rp 19 juta yang kami terima dari pagu Rp 50 juta per kelompok tani. Dalam tiga kali pencairan. Terakhir kami terima Rp 9 juta-an, kami bawa pulang tinggal Rp 5 juta. Sama orang itulah Rp 4 juta,” kata laki-laki berkulit hitam yang saat di temui di temani Sekretaris Kelompok Tani, Kamal Lubis.

Seharusnya, sesuai prosedur, PPK melakukan penyaluran dana melalui KPPN setempat dengan mekanisme langsung (LS) ke rekening kelompok masyarakat pelaksana KBR melalui tahap. Ini sama dengan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Mekanismenya: Pembayaran Tahap I sebesar 40 persen dari keseluruhan dana dilakukan jika RUKK telah disetujui oleh PPK dan SPKS telah ditandatangani ketua kelompok tani pelaksana KBR dan PPK.

Pembayaran Tahap II sebesar 30 persen dari keseluruhan dana dilakukan jika pembuatan KBR telah mencapai realisasi fisik minimal 30 persen, yaitu telah tersedia sarana dan prasarana serta benih generatif telah ditabur pada bedeng tabur atau benih vegetatif telah ditanam ke dalam media semai di dalam polybag/kantong/wadah lainnya. Realisasi fisik ini dibuktikandengan berita acara pemeriksaan pekerjaan yang ditandatangani oleh tim pengawas dan diketahui oleh Ketua Tim Pelaksana dan Ketua Kelompok.

Pembayaran Tahap III sebesar 30 persen dari keseluruhan dana dilakukan jika pembuatan KBR telah mencapai realisasi fisik minimal 60 persen, yaitu semua bibit, baik generatif maupun vegetatif, dalam jumlah cukup dan sehat, sudah di dalam polybag/kantong/wadah lainnya. Realisasi fisik ini dibuktikan dengan berita acara yang ditandatangani oleh Tim Pengawas dan diketahui oleh Ketua Tim Pelaksana dan Ketua Kelompok.

Pembayaran tahap I sebagaimana di maksud dalam huruf J angka 1, pertanggungjawaban penggunaan dana dibuktikan dengan kwitansi bermaterai cukup dan ditandatangani oleh Ketua Tim Pelaksana dan Ketua Kelompok, dilampiri dengan SPKS. Begitu juga dengan pembayaran tahap kedua.

Adakah bukti-bukti pembayaran dan lembar-lembar berita acara tersebut? Nasution menggeleng. Siapa yang memotong dana? Dia kembali lupa. Tapi dia mengiyakan petugas PLPK dari Dinas Kehutanan Kabupaten Madina. Lambat laun, dia ingat namanya Sukron. Ketua tim PLPK seorang perempuan, kembali dia lupa namanya. Tim terdiri dari tiga orang.

“Biaya perawatan dan penanaman kami tak terima,kalau janjinya dulu Rp 2000 per batang, lalu turun jadi Rp 1000. Lama-lama tidak ada. Waktu kami tanya, alasannya karena berada di kawasan lindung dan bukan cuma kelompok kami saja yang begini. Katanya lagi, ini sudah aturan dari sana, tak bisa ngomong lagilah kami.” Lanjut dia, pihaknya juga tidak bisa berkata apa-apa saat buku tabungan yang harusnya di pegang di kuasa petugas PLPK.

“Kami hanya menyaksikan uang di ambil, di potong biaya ini-itu, terus balik ke desa. Kami kalau habis ambil uang, ngumpul lagi ketua-ketuanya, ambil setengah-setengah, kasi sama mereka. Pernah kami tanya, alasan mereka kami-kan mau belanja lagi untuk kalian. Kata orang itu, sisa saldo juga harus ada Rp 500 ribu.”

Petugas PLPK, menurutnya hanya datang beberapa kali. Mengambil foto bibit yang tumbuh bagus lalu pergi. “Kalau mereka datang dan ambil foto, kerja kami menyingkirkan bibit-bibit yang mati dan jelek. Ku rasa laporan orang itu bagus-bagus semua. Kami tanya soal bibit yang mati, mereka bilang nanti di ganti,” ujarnya kesal.

Melihat sisa polybag yang mubajir, 2013 dan 2014 berdasarkan kesepakatan bersama seluruh anggota kelompok dia mengusulkan lagi agar bisa menerima program KBR lagi. Tapi tak di setujui dengan alasan berada di kawasan hutan lindung. “Kami merasa hanya di jadikan alat, di manfaatkan saja. Kami jera! Kalau misalnya ada perubahan dan program baru, janganlah ada pemotongan-pemotongan lagi. Sangkin senangnya saya dengan program ini, saya rela mengeluarkan dulu uang saya untuk membeli polyback dan menyelamatkan mereka dari laporan survei. Tapi begini jadinya. Kami jera,” pungkas guru sekolah dasar tersebut.

Sebelum pulang, kami sempat bertanya kelompok tani lain yang mendapat perlakuan sama dengannya. Tambat merekomendasikan Iskandar. Ketua kelompok tani di Desa Pangkat, Maga Lombang, Kecamatan Lembah Sorik Merapi. Saat di sambangi rumahnya, Iskandar sedang pergi ke pekan (pasar rakyat yang di buka pada hari-hari tertentu tiap minggu, red). Lama menunggu, tak juga kunjung datang, kami kembali ke Panyabungan. Esok hari, pagi baru menunjukan pukul sembilan, kami kembali mendatangi rumahnya, tapi tidak juga bertemu.

Apa yang di ceritakan Tambat Nasution, di perkuat dengan status pemilik akun Ahmad Jaizs di media sosial Facebook. Di wall-nya tertulis: Program KBR di Sumut sebagian wilayah DAS Asahan Barumun yang telah di cairkan dananya banyak yang asal-asalan dan persentase kematian bibit di atas 80 persen karena kelompok tani banyak yang tidak paham pembibitan. Dana banyak di sunat Dishut kabupaten, KBR yang tidak jadi di Tapsel, Tapteng, Paluta, Palas dan Madina.

Begitu juga dengan pernyataan Sekretaris Jenderal Komunitas Peduli Hutan Sumatera Utara (KPHSU)Jimmy Panjaitan. Menurutnya, berdasarkan hasil pengamatan mereka dan pengakuan dari masyarakat yang menerima proyek KBR di Kabupaten Dairi, Simalungun, dan Tobasa. “Kami menyimpulkan bahwa, pelaksanaan KBR tidak sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan dalam Permenhut. Mulai dari perencanaan hingga pelaksanaanya. Sehingga pelaksanaan KBR di Sumut sarat dan patut di curigai adanya kegiatan korupsi. Hampir keseluruhan pelaksanaan KBR di Sumut menempatkan masyarakat penerima manfaat sebagai objek bukan pelaku utama,” kata Jimmy. Pasalnya, masyarakat hanya diberikan bibit dan uang penanaman atau pemeliharaan berkisar antara Rp 15 sampai Rp 20 juta per kelompok. “Sisa dari dana total proyek per kelompok sebesar Rp 50 juta di kelola langsung oleh Dinas Kehutanan kabupaten atau BP DAS,” tegasnya.

Dari berbagai sumber, KBR 2012 di Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara banyak terindikasi terjadi penyimpangan dan pungutan liar yang dilakukan oleh oknum di Badan Pengelola Daerah Aliran Sungai (BP DAS) Wampu Sei Ular dan Dinas Kehutanan Simalungun. Pada 2012 ada 54 kelompok tani penerima KBR, setiap kelompok menerima bantuan uang Rp 50 juta untuk pembelian beberapa jenis bibit tanaman dan biaya penyemaian dan perawatan. Namun, setiap kelompok penerima di pungli sekitar Rp 5 juta sehingga banyak kelompok penerima dana yang melakukan penyimpangan. Bentuknya, ada yang di sinyalir menjual bibit ke kelompok tani lain.

Saat tertangkap, oknum kelompok tani dan pembeli mengaku hanya memindahkan bibit dan sudah mmbuat permohonan kepada Dinas Kehutanan Simalungun. Seorang Kasi di BPDAS Wampu Sei Ular, Sofwan (saat ini menjadi Kepala BP DAS Asahan Barumun, red) waktu itu mengatakan, penjualan bibit hasil KBR adalah penyimpangan.

Di tempat terpisah, tepatnya di Lingkungan VII, Kelurahan Payaroba, Kecamatan Binjai Barat, Kotamadya Binjai, warga meminta Kejaksaan Negeri (Kejari) Binjai mengusut tuntas kegiatan program KBR.Mereka menuding, pelaksanaan di lapangan menyimpang dari bestek program sehingga hasil kerjanya tidak tepat sasaran dan tidak mampu meningkatkan usaha tani melalui upaya pemeliharaan tanaman produktif dalam waktu relatif singkat. Tudingan lain, program ini sebelumnya tidak di sosialisasikan kepada instansi terkait seperti lurah dan Kepling, akibatnya tidak mendapat dukungan dari warga.Bibit yang di kembangkan tergolong jenis tanaman tidak berkualitas baik, lambat tumbuh, tidak sesuai peruntukan dan jumlahnya tidak memadai.
Mirisnya lagi, penetapan lokasi tanpa survei.

Ahmad Sofian, Kepala BP DAS Wampu Sei Ular yang menerima warisan menangani program KBR mulai 2013 menjamin tidak ada penyimpangan di 2013 dan 2014 di wilayahnya, tidak ada yang fiktif dan semua bisa di pertanggungjawabkan. Untuk 2013, ada 300 KBR dan 2014 sebanyak 120 KBR, tidak ada masalah. Bahkan di 2013, pihaknya menjadi juara ketiga se-Indonesia program KBR yang berhasil dan terbaik, yaitu KBR di Kampung Kolam, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang.

“Telunjuk saya lurus, kalau salah, saya tindak. Kapan lagi kita mau bagus kalau tidak sekarang. Siapa lagi yang mau merubah kalau tidak kita, ini menurut saya. Jadi kalau ada indikasi-indikasi fiktif, ayo kita periksa. Kalau ada bibit yang mati, ini kesalahan kita karena tidak di rawat. Padahal untuk bibit yang tumbuh ada dana tambahan sebesar Rp 750 per pohon. Kurang apa lagi pemerintah? Kalau tanaman di tanam, di rawat. Pandailah menanam, pandailah merawat. Jangan katanya-katanya,” kata Sofian panjang lebar.

Untuk di 2015, kita dapat jatah 25 KBR untuk 17 kabupaten dan kota dan saat ini sedang proses verifikasi. Kita akan buat sentra-sentra seperti aren, berdasarkan usulan masyarakat. Saya yakin ini berhasil. Ini binaan kami. Datanglah melihatnya, kebetulan ada kerja tahun nanti tanggal 26 ini,” ajaknya.

Kenapa ada penurunan jumlah KBR di 2015, mungkin karena penggabungan kementerian. “Inilah bagusnya Jokowi, biar sedikit asal berhasil. Ngapain banyak kalau kelompok tani abal-abal yang di libatkan. Makanya sekarang, bibit yang akan di tanam di ladang anggota kelompok tani harus di pastikan ada tidak ladangnya. “Jangan seperti dulu lagi.”

“Makanya kalau ibu bilang ada yang fiktif, dimana? Saya kejam dan tidak main-main. Makanya tingkat kehidupan bibit harus 100 persen tumbuh, kalau tidak saya tidak akan bayar. Kalau Cuma 10 ribu yang hidup, ya 10 ribu yang saya bayar. Karena program itu targetnya 25 ribu bibit hidup. Kalau tidak ada bibit yang hidup, ya kembalikan uangnya. Telunjuk saya lurus, lo bu…” ucapnya sambil bercanda menutupi keseriusannya.

Ke depannya, harus benar-benar kelompok yang menerima. “Makanya di cari kelompok yang benar-benar mau menanam dan mau di bina. Soal tidak ada sanksi hukum, jangan tanya saya, tanya pusat. Dan saya tidak pernah menyarankan rekan-rekan kerja saya untuk melakukan pemotongan.” Sambungnya, “Saya tidak munafik pasti ada pemotongan, tapi tidak ke meja saya. Tapi sepanjang uang rokok, saya fikir wajarlah. Dari 120 kelompok di 2014, ketika saya tanya masyarakat penerima mengaku hanya di potong uang minum dan rokok saja.”

Di singgung soal kejadian yang di alami Tambat Nasution di Madina. Dia seperti tiba-tiba teringat pernah di fitnah kelompok tani di Kabupaten Simalungun. “Paling sakit, di Simalungun di 2013, tiga kelompok memfitnah saya mengatakan saya menerima Rp 5 juta. Waktu saya datangi kesana, mereka membantah. Ini permainan oknum lapangan yang nakal. Saya suruh kembalikan uangnya. Kasihan korban karena setahu saya dana langsung ke kelompok. Saya berani jamin!” ucapnya sambil memperkenalkan kelompok tani binaannya dari Desa Bulu Kawar, Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, yang kebetulan datang serombongan ke ruangannya.

“Yang jelas, kita harus memproteksi diri dan rajin ke lapangan. Jangan ABS (asal bapak senang, red) saja! Kalau ada yang buruk, tunjukan, sama-sama kita perbaiki. Terkadang ada juga masyarakat yang tidak tau makanya sama-sama mengkoreksi diri kita. Satu lagi, tapal batas dan hukum harus jelas dan tegas. Walau terbatas dana, ini bentuk peduli lingkungan, maunya di ikuti semua orang,” pungkasnya.

Di tempat yang jauh dari Kota Medan, Kepala BP DAS Asahan Barumun, Sofwan yang di konfirmasi via telfon seluler, menanggapi indikasi-indikasi yang terjadi terkait KBR tak jauh berbeda dengan Ahmad Sofian. Di tanya soal masalah di Madina, dia bilang tidak valid dan miskomunikasi. “Datang saja kesini, kita punya data. Pada 2012, jumlah bibit adalah 50 ribu batang, sementara di 2013 terjadi pengurangan jumlah bibit menjadi 25 ribu bibit. Ini yang harus di perjelas,” ungkapnya.

Soal pemotongan anggaran yang di duga dilakukan oknum PLPK di Kabupaten Madina, nada suaranya terdengar geram. “Saya memberi apresiasi program pemerintah ini, di mungkinkan tidak ada kecurangan dan indikasi-indikasi negatif. Boleh di audit. Ini program yang langsung mengena ke masyarakat. Bagi oknum-oknum yang melakukan, tindak dan penjarakan. Sanksi hukumnya sudah jelas dan tegas. Saya saja tidak pernah melihat rekening kelompok tani, haram hukumnya. Apalagi petugas pendamping di lapangan, ya juga haram, apalagi sampai melakukan pemotongan,” katanya lagi.

Disinggung apakah sebelumnya sudah pernah mendengar indikasi-indikasi negatif dari implemetasi KBR di wilayahnya, dia bilang belum pernah. “Saya baru dengar ini. Makanya saya heran, sebelumnya tidak ada laporan. Lagian saya baru menangani KBR di 2014 ini. Kabupaten Asahan, Taput, Tapteng dan Labuhan Batu itu terbaik KBR-nya. Tinggat keberhasilannya 70 persen. Ini harus di pertimbangkan,” harapnya.

Rurita Ningrum SH, Direktur Eksekutif Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran Sumatera Utara (FITRA Sumut) yang di mintai tanggapannya berharap di pemerintahan baru saat ini, hal-hal buruk seperti di sebutkan di atas tidak terjadi lagi. “Kita berharap pada pemerintahan yang baru hal ini tidak terjadi lagi. Karena hal ini terjadi di tahun-tahun sebelumnya, dimana berbagai program mengatasnamakan kebun rakyat/kebun bibit rakyat ternyata fiktif alias tidak pernah ada real di lapangan. Adapun laporan-laporan yang masuk adalah data-data fiktif yang dimanipulasi oleh oknum tertentu. Kejadian yang terus-menerus dan berulang di anggarkan berkali-kali sebagai ajang korupsi,” papar Ruri.

Ada dua hal yg terjadi yakni fiktif atau manipulasi jumlah yang dilaporkan. Dan pelaku tidak dikenakan sanksi apapun karena mengatasnamakan rakyat. Himbauan kita, untuk proyek APBN dan APBD jika itu berhubungan dengan kebun rakyat, bantuan bibit peternakan dan perikanan rakyat agar setiap tahunnya dievaluasi khusus oleh BPK. Agar tidak ada lagi calo anggaran baik di eksekutif maupun legislatif utamanya pada BUMN dan BUMD. Korban bisa mengajukan gugatan sebagai pihak yang dirugikan. FITRA Sumut dan jaringan siap mendampingi jika mereka membutuhkan.

“Jangan namanya ‘rakyat’ selalu di pakai oleh pihak-pihak atau oknum yang mencari keuntungan pribadi dan golongannya saja,” masih katanya.Ditanya apakah sebelumnya FITRA Sumut sudah pernah mendengar soal indikasi kecurangan, fiktif dan korup program KBR ini. “Ada beberapa program (maaf tidak bisa bilang oknumnya karena teman kita juga, red) ada bibit dari Kementrian Lingkungan Hidup yang jumlahnya di manipulasi di beberapa kabupaten dan kota. Untuk bantuan-bantuan yang mengatasnamakan rakyat saja program tersebut menghabiskan miliaran rupiah.”

“Jadi, bukan jeruk makan jeruk tapi teman-teman penyalur dana hibah, Bansos, baik LSM, kelompok tani, dan lain-lain, wajib di audit apabila sudah menerima bantuan pemerintah tersebut. Karena indikasi mark up- nya sangat keterlaluan dan memalukan. Apabila terbukti fiktif, manipulatif, mark up, nama lembaganya, oknum yang bertanggungjawabnya juga wajib diumumkan kepada publik. Agar tidak hanya mendapat sanksi hukum tetapi juga mendapat sanksi sosial,” tegasnya.

Pemungkas, Ketua Presedium Gerakan Transparansi Anggaran Rakyat (GETAR) Sumatera Utara, Arif Tampubolon mengatakan, program KBR ini sangat baik, tujuannya untuk merehabilitasi hutan dan lahan di seluruh Indonesia. Program ini berfungsi juga sebagai alternatif pemberdayaan masyarakat di tingkat grass root atau masyarakat bawah. Pelaksana kegiatan ini adalah kelompok masyarakat yang tergabung dalam kelompok tani atau koperasi. Keberadaan kelompok ini dapat diinisiasi dan dibentuk oleh pimpinan persyarikatan sebagai bagian amal usaha.Kelompok yang sudah dibentuk selanjutnya mengajukan proposal pengembangan KBR kepada Kementerian Kehutanan RI (pemerintah), dalam hal ini Kepala BPDAS di wilayah setempat.
“Jika dikelola dengan baik dan profesional, program ini akan memberikan manfaat yang sangat besar bagi masyarakat. Namun tak jarang program yang dibuat dan disipakan menjadi objek untuk mencari keuntungan pribadi oleh oknum-oknum yang dipercaya mengelolanya.Artinya, pemerintah harus awas dengan program yang dilaksanakan. Terkadang tak sedikit oknum yang dipercaya mengelola menyalagunakan wewenang sehingga merugikan masyarakat. Pemrintah khususnya Kementerian Kehutanan RI harus transparan menjelaskan kepada masyarakat langkah dan tujuan program ini dilasanakan, jangan hanya sebatas pemberitahuan biasa,” kata Arif.

Lalu bagaimana dengan indikasi penerima fiktif dan korup? “Saya percaya itu terjadi. Saat ini kondisi SDM pejabat di negara kita ini sudah sangat kronis, mungkin karena sudah seperti budaya mencari uang tambahan selain gaji yang diterima, sehingga segala cara dilakukan.Jangankan ditingkat penerima difiktifkan, mulai pejabat teratas hingga terbawa sangat kuat dugaan ada meminta fee dari program yang dibuat dan dilaksanakan. Itu sangat naif jika kita pungkiri,” ucapnya.

Lanjut dia, seperti kasus KBR di Dinas Kehutanan Kabupaten Labuhanbatu TA 2013. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) disinyalir melakukan tindakan melawan hukum. Program KBR yang diberikan Kementerian Kehutanan RI pada saat itu tidak jelas. “Masa PPK-nya mengaku lupa dengan jumpah kelompok tani yang menerima bantuan. Inikan aneh?.”

“Membuat kelompok tani fiktif itu terlalu gampang. Oknum yang ditunjuk sebagai pelaksana program KBR ini bisa berkerjasama dengan kelompok tani yang ada. Artinya, dari pengurus kelompok tani yang terdaftar digunakan menjadi pengurus kelompok tani fiktif. Dugaan itu sangat kuat bisa terjadi,” praduganya.

Ditanya apakah lembaganya pernah mendengar atau menerima pengaduan soal ini atau mendampingi langsung. “Saya (lembaga) pernah ada mendengar program ini. Tetapi sampai saat ini belum ada pengaduan yang kita terima. Jika ada yang mengadukannya ke kita, sangat senang, kita bisa mengungkap kejahatan ini.”

Saya rasa, sambungnya, bagi pengurus kelompok tani yang merasa dirugikan atau masyarakat yang mengetahui adanya kejahatan pada program KBR, sebaiknya melaporkannya ke penegak hukum, baik itu polisi maupun kejaksaan. Kemudian, penegak hukum tidak perlu menunggu adanya laporan dari masyarakat. Jika mereka ada mendengar terjadinya tindak pidana korupsi pada program KBR ini bisa langsung melakukan penyelidikan.

“Tapi saya sangat pesimis dengan sikon (situasi dan kondisi) penegak hukum saat ini, apalagi penegak hukum di Provinsi Sumatera Utara. Sepertinya laporan masyarakat menjadi modus bagi penegak hukum untuk keuntungan pribadi. Penegak hukum di Sumut sering beralibi tidak ada pengaduan masyarakat yang masuk ke mereka, padahal mereka sudah tahu, dan itu diduga sudah terkondisikan oleh mereka. Sekali lagi saya sangat pesimis dengan penegak hukum di Sumut,” tutup Arif. (Mei Leandha)

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.