Bandarlampung, Ekuatorial – Petambak di Bumi Dipasena Kabupaten Tulangbawang, Provinsi Lampung mulai gelisah karena produksi udang mereka sejak empat bulan terakhir mengalami penurunan.

Menurut Donal (45) salah satu petambak di Dipasena, agar tidak mengalami kerugian besar, dia dan petambak lainnya mengurangi penebaran benur.

“Biasanya tebar 100 ribu benur berani tetapi sekarang 20 ribu sampai 30 ribu saja sudah maksimal,” katanya. Menurut Donal, peralihan cuaca menyebabkan penyebaran virus yang mematikan bagi udang-udang yang ada di pertambakan.

Kepala Bidang Budidaya Dinas Keĺautan dan Perikanan Lampung, Candra Murni mengatakan pihaknya telah melakukan penelitian mengenai banyaknya kematian udang-udang milik petambak.

“Kami melakukan penelitian pada tiga lokasi areal tambak udang di Lampung, yakni di Lampung Selatan, Lampung Timur dan Dipasena. Dari hasil penelitian terungkap saat ini sedang mewabah virus white feses disease atau lebih dikenal dengan Telek Putih,” kata Chandra, Jumat (6/3).

Virus ini menurutnya menyebar sangat cepat dan biasanya menyerang pada udang yang berusia 20-30 hari paska tebar benur. “Ciri yang terlihat udang-udang ini mau diberi makan, tapi biasanya sore hari sudah tidak mau lagi dan tak lama mengambang kotoran berwarna putih dan saat dilakukan pengeringan kolam, udang-udang sudah banyak yang mati,” kata dia.

Kondisi ini terjadi karena kebiasaan para petambak menjadikan satu, antara air yang masuk ke kolam dengan air kotornya. “Input dan output air semuanya bersumber dari satu kanal,” ujar dia.

Lebih lanjut ia mengatakan pertambakan Bumi Dipasena adalah lokasi terbesar menyebaran virus ini, karena di sana merupakan kawasan terbesar dan terluas di Asia Tenggara dengan total luas sekitar 16 ribu hektare (ha).

Maraknya virus tersebut menurutnya hanya bisa diantisipasi dengan tendon, yang mana setiap 10 tambak harus menyiapkan paling tidak tiga tandon. Tandon adalah sebuah wadah penampungan air bersih.

“Hanya dengan sistem memisahkan air beraih dengan air buangan bekas tambak itulah yang bisa mengurangi penyebaran lebih luas lagi,” ujarnya.

Sementara itu Dirjen Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan, Slamet Subiakto mengatakan maraknya penyebaran virus Telek Putih karena petambak kekurangan lahan tebar di tengah tingginya permintaan.

“Petambak sebetulnya mengetahui tentang penanganannya, tetapi karena diburu dengan tingginya permintaan harga sedang bagus-bagusnya mereka tidak mengistirahatkan kolam tambak mereka,” ujarnya.

Seharusnya dalam satu tahun, menurutnya ada waktu tiga bulan untuk menghentikan aktivitas tambak udang dengan cara pengeringan. Menerapkan sistem budidaya alternatif agar tanah juga tidak jenuh.

“Misalnya dua kali panen udang, satu kali panen jenis ikan lainnya. Jangan melulu ditebar benur, intinya kita harus kembali pada sistem budidaya yang benar, agar pertambakan ini tetap berlangsung lebih lama lagi,” jelasnya. Eni Muslihah

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.