Kebakaran hutan sepanjang Februari hingga Oktober memusnahkan sebagian besar wilayah gambut di Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah, juga ribuan hektare tanah mineral di Papua.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) membuka informasi tersebut ke publik di sela-sela berlangsungnya Konferensi Iklim PBB COP21 di Paris, Prancis, pekan ini.
Berdasarkan analisis Belinda Margono dari Direktorat Invetarisasi Gas Rumah Kaca dan Monitoring Pelaporan Verifikasi KLHK, luas kebakaran tahun ini mencapai 2.640.049 hektare.
Umumnya area terbakar adalah gambut kering di Sumatera Selatan dan Kalimantan, diikuti oleh Riau dan Jambi. Di tanah mineral, provinsi yang areanya paling banyak terbakar ialah Papua, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Barat.
“Walau demikian, emisi yang dilepas sebagian besar hanya berasal dari dua provinsi, yaitu Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah,” kata Belinda.
Menurut dia, emisi yang dilepas ke atmosfer antara 0,8 dan 1,1 gigaton gas rumah kaca. Estimasi tersebut separuh dari perhitungan emisi Guido van der Werf, ilmuwan Global Fire Emissions — yang menyebutkan emisi karbon dari kebakaran hutan tahun ini setara dengan emisi karbon Jerman selama setahun.
“Estimasi Guido menggunakan data yang luas. Overestimate-nya tinggi, bisa sampai berkilo-kilo. Kami menggunakan Landsat dengan resolusi 30 meter, sehingga kalau meleset hanya dalam hitungan meter,” jelas Belinda.
Analisis detail dari pemerintah Indonesia dinilai jauh lebih baik memetakan kebakaran hutan dan emisinya ketimbang estimasi ilmuwan Global Fire Emissions. Walau Belinda mengakui bahwa estimasi menggunakan potret satelit semacam ini kesulitan mendeteksi titik terbakar yang ada di permukaan dengan area kecil.
Di sela Konferensi Iklim COP21, hadir juga peneliti asal Jerman Floarian Siegert yang sempat memetakan luas hutan yang terbakar pada 1997. Tahun ini Florian kembali memetakan dengan menggunakan data satelit Jerman, TET-1 dan Sentinel-1.
“Satelit eksperimen ini 1.000 kali lebih sensitif daripada data MODIS, serta mampu membedakan kebakaran vetegasi dari kebakaran gambut. Termasuk merunut sumber api,” kata dia.
Dari hasil kajian awal, Florian menyimpulkan bahwa emisi yang dilepaskan kebakaran hutan tahun ini tidak sebesar 1997. “Sebab, saat gambut terbakar untuk kedua kali, emisinya tidak sebesar gambut yang baru terbakar. Beberapa titik kebakaran saya lihat sama dengan titik kebakaran 1997.”
Upaya pemerintah Indonesia mencoba memadamkan kebakaran di lahan gambut juga dinilai sia-sia. Ia menilai, data satelit MODIS yang dipakai untuk menentukan titik pemadaman tidak andal.
“Titik api baru muncul saat area kebakaran sudah meluas, bahkan beberapa tidak terdeteksi karena satelit MODIS tidak mampu menembus tebalnya asap kebakaran di Kalimantan dan Sumatera.”