Akibat larangan membuka lahan dengan membakar serta kurangnya dukungan dari pemerintah Enrekang, Sulawesi Selatan, tidak membuat masyarakat adat Kaluppini berhenti bertanam jewawut untuk melestarikan adat istiadat mereka. Baca laporen Didit Hariyadi.

Oleh Didit Hariyadi

Enrekang, SULAWESI SELATAN. Sulitnya membuka lahan baru membuat keberadaan jewawut, atau dikenal dengan nama lokal sebagai ba’tang, kian langka padahal keberadaannya sangat dibutuhkan untuk ritual adat masyarakat desa Kaluppini, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan.

Masyarakat Enrekang mengenal Jewawut (Setaria italica), salah satu jenis serealia, pada tahun 1960an sebelum mengenal beras.  Tanaman ini dibawa oleh migrasi Austronesia sekitar 3.000 tahun lalu dan masuk ke Sulawesi melalui jalur migrasi masyarakat Tiongkok.

Tokoh adat Kaluppini, Abdul Halim, mengatakan meski jewawut sudah tidak ditanam lagi secara luas namun masyarakat tetap menanam untuk kebutuhan ritual adat, maccera manurung yaitu syukuran panen dan penghormatan kepada leluhur yang dilakukan delapan tahun sekali.

“Masyarakat Kaluppini tetap membudidayakannya karena kebutuhan adat,” jelas Abdul.

Menurutnya, jewawut semakin jarang ditanam karena tanaman tersebut tidak bisa tumbuh subur di tanah yang sudah terkena bahan kimia.

“Saya perhatikan tanaman jewawut lebih subur di lahan baru, yang sudah dibakar. Nah, kalau sudah ditanam dengan tanaman lain kan sudah terkontaminasi kimia. Jadi, tak terlalu subur lagi,” katanya.

Ia menjelaskan bahwa jewawut biasanya dikelola tanpa menggunakan bahan kimia atau herbisida. Sedangkan, untuk jenis tanaman lain seperti jagung, kacang, dan padi, petani biasa menggunakan pupuk kimia untuk  mengendalikan hama.

Abdul Halim mengunjungi kebun jewawut di desa Kaluppini, Enrekang, Sulawesi Selatan. Foto oleh Didit Hariyadi.

Akibat tidak memiliki saluran pengairan yang cukup memadai serta adanya larangan pembukaan lahan baru dari pemerintah, para petani desa Kaluppini menerapkan sistem tanam tumpang sari atau polikultur, yaitu menanam banyak jenis tanaman pada lahan yang sama dan mengandalkan hujan untuk bercocok tanam atau tadah hujan.

Jewawut, jelas Abdul, ditanam saat musim kemarau antara April dan Juni. Setelah itu, masyarakat menanam kacang atau jagung, dan menanam padi saat memasuki musim hujan.

Sebelum jewawut ditanam, lanjutnya, masyarakat Kaluppini, meletakkan terlebih dahulu bibitnya bersama pinang, sirih dan kapur pada tiang di tengah rumah, atau dikenal dengan posi bola, semalaman sebelum dipindahkan ke ladang.

“Jewawut ini kan ditanam sekali setahun saat masuk musim kemarau antara April-Juni,” katanya, menambahkan sesudahnya masyarakat akan menanam kacang atau jagung dan padi saat memasuki musim hujan. Padahal, jewawut sudah bisa dipanen dalam waktu dua bulan, katanya.

Dalam penelitiannya pada tahun 2015, peneliti jewawut asal Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Muhammad Riadi menemukan bahwa jewawut sulit tumbuh subur jika lahan yang ditanami sudah terkontaminasi dengan bahan kimia.

Karena itu, ungkap Muhammad, harus ada kawasan pengembangan khusus tanaman jewawut untuk daerah budidaya.

Ia menambahkan bahwa setelah menemukan lahan maka harus memperhatikan tanah dan iklim kawasan tersebut karena jewawut suka tanah yang gersang.

“Tanaman ini bisa jadi pangan alternatif saat kekurangan air, bisa juga ditanam di tebing untuk menahan erosi,” jelasnya.

Hal sama diutarakan oleh Abdul yang berharap pemerintah bisa menyiapkan bibit dan membuka lahan baru khusus jewawut yang dikelola dengan cara alami.

“Kalau tidak, jewawut ke depannya bisa hilang. Apalagi, bibit yang didapat juga dari masyarakat bukan pemerintah,” katanya menambahkan harga jewawut bisa mencapai Rp40 ribu per kilogram di pasaran.

Sementara, Siddiq, salah seorang petani Kaluppini, mengatakan bahwa ia membudidayakan jewawut hanya untuk dikonsumsi saja. Apalagi, jewawut sudah bisa diproduksi massal seperti  beras untuk memudahkan konsumsi masyarakat.

“Tapi, tak menjadi bahan pokok karena cepat bosan. Jadi, jewawut dikonsumsi hanya sebulan sekali, itupun dicampur dengan beras,” kata Siddiq.

Ia menambahkan bahwa jewawut juga diolah menjadi makanan ringan dengan cara dicampur gula merah atau baje’. Namun, baje’ tidak dikonsumsi setiap hari oleh masyarakat Sulawesi Selatan.

“Jika bibit jewawut sekilogram ditanami di lahan 50 are [5000 meter persegi], itu bisa menghasilkan sekitar lima karung,” ujarnya.

“Paling kita bersihkan rumputnya dengan tajak [cangkul] saja,” lanjutnya. Namun, saat sudah berusia sebulan lebih dan sudah mengeluarkan biji harus dijaga agar tidak habis dimakan burung.

 

Budidaya Jewawut Tingkatkan Ketahanan Pangan Lokal 

Ahli antropologi Universitas Hasanuddin, Makassar, Tasrifin Tahara menyatakan seharusnya pemerintah mendorong budidaya pangan lokal. “Apalagi masyarakat di sana [desa Kaluppini] mempraktekkannya dengan cara organik, sehingga ada sinergi antar alam, sistem pertanian dan kebudayaan,” tutur Tasrifin.

Mempertahankan budidaya jewawut, tambahnya, merupakan media untuk mempertahankan identitas masyarakat desa Kaluppini sebagai salah satu masyarakat di Sulawesi Selatan yang masih membudidayakan jenis pangan tersebut.

Selain desa Kaluppini, sebagian kecil masyarakat desa Duri, Kecamatan Malua, Kabupaten Enrekang, yang merupakan daerah pegunungan, juga masih menanam jewawut.

“Kami berharap kearifan lokal tetap bisa dipertahankan di negeri ini. Dan, mendapat ruang dalam memperkaya khasanah kebudayaan Indonesia serta memperkuat jati diri bangsa,” tutur Tasrifin.

Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa jewawut mulai ditinggalkan karena minimnya sosialisasi dan informasi tentang konsumsi pangan tersebut.

“Sekarang, pemerintah hanya fokus pada penguatan pangan yang laku di pasaran saja. Tapi, mengabaikan potensi lokal yang menjadi basis identitas lokal. Ini bisa menjadi faktor masyarakat mulai tinggalkan jewawut. Apalagi konsep ketahanan pangan yang dipahami pemerintah itu hanya tanaman seperti padi.  Akhirnya, pemerintah lupa ada tanaman yang menjadi kekuatan bagi suku tertentu,” ucap Tasrifin.

Pelaksana tugas Kepala Dinas Ketahanan Pangan Enrekang, Arsil Bagenda mengatakan hingga kini pemerintah belum memikirkan untuk membudidayakan tanaman jewawut karena masih melihat potensi ekonomi bagi masyarakat setempat di masa depan.

“Kalau potensi [jewawut] bagus kita bisa kembangkan [tapi dengan] varietasnya lain,” kata Arsil.

Menurutnya, belum ada intervensi pemerintah untuk budidaya jewawut di Kabupaten Enrekang sehingga masyarakat hanya bisa peroleh bibit dari hasil panen. “Jadi, belum ada budidaya secara permanen. Paling kelompok taninya saja yang kita bina,” ujar Arsil menambahkan budidaya jewawut di desa Kaluppini merupakan inisiatif dari masyarakat.

Sementara itu, Kepala Dinas Pertanian, Ketahanan Pangan dan Hortikultural Sulawesi Selatan, Fitriani mengatakan tanaman sejenis jewawut memang tak masuk agenda ketahanan pangan pemerintah sehingga tidak dibudidayakan.

“Tak ada bibitnya kita siapkan, jadi yang di tanam masyarakat di Enrekang itu inisiatif mereka sendiri saja,” kata Fitriani.

 

Jewawut Untuk Kesehatan

Tidak hanya digunakan dalam ritual adat, jewawut juga merupakan pangan yang memiliki kandungan protein lebih tinggi dibandingkan beras yang bermanfaat bagi kesehatan manusia.

Selain itu, jewawut asal Enrekang juga mengandung Omega 3, 6 dan 9, lebih tinggi dibandingkan dengan telur yang diberikan omega. “Itulah kenapa millet (red: jewawut) ini perlu dikembangkan,” jelas Muhammad Riadi, peneliti jewawut dari Universitas Hasanuddin, Makassar.

Muhammad menambahkan manfaat kesehatan dari mengkonsumsi jewawut antara lain membantu dalam perkembangan tulang, mengurangi berat badan dan kadar glukosa darah, hingga kemungkinan terhindar dari anemia, kanker dan diabetes. Jewawut juga memiliki indeks glikemik yang rendah, cocok bagi penderita diabetes.

Jewawut yang sudah dikeringkan. Foto by Didit Hariyadi.

“Jadi, tanaman ini bebas gula. [Oleh karena] itulah kami ingin jewawut dibudidayakan sebagai tanaman pangan alternatif. Karena, [jewawut] penting sekali untuk kesehatan,” katanya.

Ia mengusulkan adanya lahan khusus atau desa untuk mengembangkan budidaya jewawut. “Kalau mau dikembangkan kumpulkan keragaman genetiknya lalu lakukan seleksi untuk pengembangan tanaman jadi varietasnya harus bagus,” ucapnya.

Meskipun sudah dibudidayakan secara besar-besaran, ia mengingatkan bahwa memerlukan waktu yang panjang untuk membuat masyarakat berpaling dari padi.

“Kalau mau berpaling dari padi, prosesnya pelan-pelan,” katanya. “Dan, jika dikaitkan fungsi kesehatannya jewawut lebih baik dibandingkan padi dan jagung.”

 

Balai Penelitian Tanaman Serealia Indonesia, Maros, Roy Efendi beralasan tidak pernah ada penelitian tentang jewawut lantaran orang lebih memilih jagung dan biji-bijian lainnya.  Apalagi, tambah Roy, jewawut lebih dikenal di Indonesia sebagai makanan burung.

“Jewawut hanya dijadikan bahan kue saja. Kita juga tak pernah lakukan penelitian secara mendalam tentang jewawut,” tuturnya. Ekuatorial.

Didit Hariyadi adalar Jurnalis leaps yang berbasis di Makassar, Sulawesi Selatan.

 

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.