Daya dukung air secara kuantitas akan mencukupi saat kepindahan ibukota 2024 mendatang. Meski demikian, jauh ke depan sesudah kepindahan ibukota, degradasi lingkungan berpotensi menjadi ancaman bagi kualitas dan keberlanjutan ketersediaan air bersih.
Liputan ini pertama kali diterbitkan di Kompas pada tanggal 26 Desember 2019 dan bagian terakhir dari serial liputan tentang Daya Dukung Air di Kawasan Ibukota Baru.
Baca bagian pertama Krisis Air Bersih di Ibukota Baru
Baca bagian kedua Ibukota Baru: Lingkungan Berubah, Air Bersih Makin Susah
Baca bagian ketiga Ibukota Baru: Membendung Untuk Surplus Air Bersih
Oleh M. Puteri Rosalina
Daya dukung air di wilayah Ibukota baru, bukan hanya soal kuantitas air yang dihitung dari ketersediaan dan kebutuhannya saja. Namun ketersediaan air bersih juga ditinjau dari kualitasnya. Kualitas air ini menghadapi ancaman dengan sejumlah persoalan kerusakan lingkungan di Kalimantan Timur.
Yohana Tiko, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Kalimantan Timur menyebutkan, ada sejumlah bentuk kerusakan lingkungan yang terjadi di Kaltim. Kerusakan itu adalah, deforestasi karena penerbangan illegal dan perkebunan sawit serta pencemaran air di Teluk Balikpapan dan Sungai Mahakam.
Potensi penurunan mutu lingkungan juga semakin besar mengingat ancaman kerusakan karst Sangkulirang Mangkalihat di Kutai Timur karena pembangunan pabrik semen, serta pembangunan sejumlah pembangkit listrik di Sungai Kayan yang berpotensi menurunkan kualitas lingkungan ekosistem Sungai Kayan.
Pencemaran air merupakan masalah yang paling bersentuhan dengan pengelolaan air di wilayah ibukota baru. Sungai Mahakam yang direncanakan sebagai salah satu sumber air baku ibukota baru tercemar.
Menurut Informasi Kinerja Lingkungan Hidup Kaltim (2016), Sungai Mahakam tercemar berat. Nilai rata-rata pencemaran tahun 2016 mencapai 46 yang menurut metode STORET (membandingkan kualitas air dengan baku mutu air), masuk kategori buruk (skor ≥ 31).
Anang Muchlis, Balai Besar Wilayah Sungai Kalimantan Timur III, menyarankan pengambilan air dari intake Loa Kulu dan Kalhol dari Sungai Mahakam menjadi alternatif terakhir lantaran pencemaran air di Sungai Mahakam itu.
Begitu juga dengan pencemaran di Waduk Samboja, Kutai Kartanegara yang rencananya akan menjadi sumber air baku IKN. Menurut paparan BBWS Kaltim III, parameter Fisika dan Kimia untuk waduk Samboja, dibawah baku mutu yang ditetapkan. Nilai pH nya 6, bersifat asam yang diduga karena maraknya tambang batubara.
Kualitas air ini menurut Yohanes Budi Sulistioadi (42), Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, menjadi hal penting yang harus diperhatikan dalam pengelolaan air di IKN. “Debit air yang berlimpah di Kaltim, tak bisa langsung dikonsumsi masyarakat. Masyarakat tidak punya kemampuan finansial untuk mengolah air. Tergantung pada olahan pemerintah atau swasta” katanya mengenai hambatan pengelolaan air di Kaltim.
Budi juga mengingatkan, persediaan air yang banyak harus bisa dikonversi, seberapa banyak air mampu didistribusikan ke masyarakat. Berapa yang mampu dibayar oleh masyarakat dari pengelolaan air dari zat pencemar.
Deforestasi
Kemudian soal deforestasi. Hilangnya tutupan hutan di Kalimantan Timur paling tinggi dibandingkan wilayah lainnya. Catatan Forest Watch (2018) menyebutkan, deforestasi selama 2013-2016 sebesar 472 ribu hektar . Deforestasi terbanyak terjadi di Bukan Kawasan Hutan (APL) : 217 ribu hektar dan hutan produksi (179 ribu hektar).
Peningkatan laju deforestasi sejalan dengan mulai maraknya pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI). Luasan izin HTI periode 2009-2016 terus meningkat. Data Forest Watch, tahun 2009, luas izin HTI adalah 298 ribu hektar dan meningkat menjadi 377 ribu di tahun 2016.
Salah satu pendorong peningkatan luas HTI menurut Laporan Forest Watch (2018) adalah dimulainya pembangunan pabrik pulp di Kabupaten Penajam Paser Utara sejak 2017 lalu. Kebutuhan kayu untuk pabrik pulp ini akan mendorong konversi hutan alam menjadi monokultur, baik di dalam ataupun di luar konsesi HTI.
Tingkat deforestasi yang tinggi akan meningkatkan debit air larian yang salah satunya berdampak pada tingginya sedimentasi di sungai dan bendungan. Anang mencontohkan tingginya sedimentasi di Bendungan Lempake yang menyuplai kebutuhan air baku di Kota Samarinda.
Penelitian “Analisis Spasial Laju Erosi Daerah Tangkapan Air Waduk Lempake Kalimantan Timur (2017) menghasilkan, sebaran laju erosi terbagi dalam 5 kelas, meliputi sangat ringan (0-14,6 ton/ha/tahun) hingga sangat berat 509,14 – 2.007,29 ton/hektar/tahun. Persebaran kelas erosi berat terdapat di Kecamatan Samaridda Utara dan Muara Badak, serta sebagian kecil di Kecamatan Tenggarong Seberang.
Tidak hanya Waduk Lempake, waduk Samboja juga rawan penumpukan sedimentasi. Menurut paparan BBWS Kaltim III, laju sedimentasi di daerah tangkapan air Waduk Samboja mencapai 23,29 mm/tahun. Angka ini masuk kriteria laju sedimentasi buruk dari ketentuan Kementerian Kehutanan (lebih dari 5 mm/tahun).
Selain itu, deforestasi juga memengaruhi pasokan air yang masuk ke air permukaan (sungai/bendungan/danau) dan cadangan air tanah. Hal ini yang membuat Kaltim mengalami defisit air. Kajian Kementerian Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (2018) menyebutkan Kaltim kekurangan air baku hingga 919 liter/detik. Kajian tersebut juga menyebutkan, hampir semua wilayah di Kaltim defisit air, kecuali Kota Samarinda dan Bontang.
Keberlanjutan
Selain menjaga kualitas air, ketersediaan air permukaan dari bendungan dan Sungai Mahakam harus dijaga keberlanjutannya. Budi mengingatkan, pembangunan bendungan baru sebagai pendukung IKN harus memikirkan detil bagaimana daerah tangkapan airnya. Ekosistem hutan dataran rendah yang masih baik menurut Budi hanya tersisa di beberapa titik, diantaranya di hutan lindung Sungai Wain dan sedikit di Tahura Bukit Suharto.
Keberlanjutan suatu bendungan bergantung dari debit masukan air masing-masing bendungan penting supaya bendungan tetap terisi saat musim kemarau. Hal senada juga diungkapkan Anang. Keberadaan green belt di pinggir bendungan juga harus tetap terjaga yang fungsinya untuk menyaring sedimentasi yang mau masuk ke bendungan.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Chay yang menyebutkan pemerintah harus menjaga landscape daerah tangkapan air bendungan sehingga tidak terjadi sedimentasi. Jika landscape tidak dijaga, yang terkena awal adalah sumber-sumber air.
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) menurut Chay menjadi kunci untuk menjaga keberlanjutan sumber-sumber air bersih di wilayah IKN. Ke depan, RTRW kab. Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara serta Kalimantan Timur harus diubah untuk melindungi Kawasan lindung seperti daerah tangkapan air dan Kawasan kaarst.
Daya dukung air di wilayah ibukota baru secara kuantitas dipastikan cukup saat ibukota pindah di tahun 2024 mendatang. Namun dengan catatan, rencana pengembangan air baku melalui pembangunan bendungan terealisir semua. Selain itu, air baku yang telah tersedia bisa terdistribusi merata melalui jaringan perpipaan pada seluruh masyarakat.
Pengelolaan sumber daya air secara berkelanjutan juga dibutuhkan untuk menjaga kualitas lingkungan. Aktifitas pertambangan, penebangan illegal, dan perkebunan sawit harus dibatasi untuk menjaga kuantitas dan kualitas air. Jangan sampai ada cerita ibukota baru krisis air bersih 10 atau 15 tahun mendatang. (Litbang Kompas)