Warga di calon ibu kota negara baru hingga kini masih kekurangan air bersih. Perubahan lingkungan dan distribusi air yang belum optimal menjadi penyebabnya.

Liputan ini pertama kali diterbitkan di Kompas pada tanggal 24 Desember 2019 dan bagian kedua dari serial liputan tentang Daya Dukung Air di Kawasan Ibukota Baru.

Baca bagian pertama Krisis Air Bersih di Ibukota Baru

 

Oleh M. Putri Rosalina dan Debora Laksmi I.

Heriyanto (55) sesekali terdiam sembari mengingat masa mudanya saat ditanya mengenai kondisi Kecamatan Sepaku di era 1970-an. Heriyanto adalah generasi kedua transmigran dari Jawa Tengah yang ditempatkan di Desa Sepaku 3 (Tengin Baru), Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara.

”Sepaku ini dulu daerah potensial sumber daya alam. Posisi desa ini mengikuti aliran sungai ketika awal transmigrasi. Dari Sepaku 1 sampai 4 dan Semoi 1 sampai 4, tiap lokasi diisi 500 KK,” ujar Heriyanto.

Desa Tengin Baru, tempat tinggalnya sekarang, terletak di daerah aliran Sungai Tengin yang bermuara ke Teluk Balikpapan. Dulu, di pingiran sungai terdapat dermaga dan pelabuhan kecil tempat perahu berlabuh untuk sarana transportasi, sekaligus untuk mengambil hasil alam seperti kayu, palawija, dan lada.

Sebelum jalan Raya Samboja-Sepaku dibangun, warga Kecamatan Sepaku lebih banyak menggunakan transportasi air, menyeberang Teluk Balikpapan, menuju Kota Balikpapan.

Masyarakat transmigran bertani padi ladang, palawija, berkebun lada, hingga beternak sapi. Bahkan sapi Sepaku pada periode 1980-1990 dikenal sebagai sumber bibit sapi untuk perkembangan ternak wilayah lain.

Ketersediaan air bersih pun berlimpah. Tidak jauh dari rumah penduduk terdapat beberapa cekungan air (belik) yang selalu terisi air hujan karena Kalimantan Timur termasuk daerah bercurah hujan tinggi. Masyarakat dengan mudah dapat mengambil air dari cekungan air itu untuk kebutuhan sehari-hari.

Namun, karena ada perkebunan sawit yang mulai berkembang tahun 2000-an, menurut Heriyanto, kualitas lingkungan Sepaku pun perlahan menurun. Produksi perkebunan sawit yang hasil penjualannya lebih menghasilkan membuat warga Sepaku mulai beralih menanam sawit.

Luas perkebunan sawit pun terus meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2010 hanya ada 3.199,30  hektar. Tujuh tahun kemudian luasnya menjadi 8.663,75 hektar.

Namun, perkebunan sawit memunculkan masalah kekurangan air di Sepaku, termasuk Tengin Baru. Selain itu, peternakan sapi juga kekurangan pakan ternak karena areal pakan ternak telah beralih menjadi perkebunan sawit. Data BPS Penajam Paser Utara menunjukkan adanya penurunan luasan padang rumput. Tahun 2015 tercatat masih ada 145 hektar dan tahun 2018 tinggal 85 hektar.

Defisit air

Heriyanto mengenang, ”Dulu orang enggak pernah beli air saat musim kemarau. Tinggal ambil air dari ’belik-belik’ yang ada di sekitar rumah. Beli air pun kalau ada hajatan.” Namun sekarang sudah lazim tiap keluarga akan membeli air untuk kebutuhan sehari-hari.

Setelah kekurangan air bersih, masyarakat mengandalkan tangki dan tandon air yang diantarkan ke rumah mereka oleh penjual air. Sumber airnya berasal dari embung dan mata air yang dipompa dan dimasukkan ke tangki atau tandon.

Sugiantoro (70), seorang penjual air di desa Tengin Baru, biasa mengambil air yang bersumber dari bukit di Desa Sepaku 2. Air tersebut dijualnya dengan harga Rp 100.000 sampai Rp 200.000 per tangki air 2.000 liter.

Ia menjualnya dalam tandon-tandon yang dibawa menggunakan mobil bak terbuka. Namun, sering kali pada musim kemarau, debit sumber air menurun sehingga penjualan air bersih kepada warga tidak maksimal.

Air dari tandon dan tangki itu hanya digunakan untuk mandi dan mencuci. Sementara untuk minum, masyarakat memilih air minum dalam kemasan atau air isi ulang. Padahal, dari pengukuran derajat keasaman air (Ph) yang dilakukan Kompas pada air hasil tampangan Sugiantoro dari mata air, hasilnya menunjukkan angka 6,8. Artinya, air tersebut masih layak dikonsumsi sebagai air minum.

Bagi desa yang beruntung seperti Desa Tengin Baru, PDAM masih dapat mendistribusikan air bersihnya. Sungai Tengin yang mengalir di Desa Tengin Baru diolah menjadi sumber air bagi PDAM Sepaku.

Jangkauan perpipaan PDAM Sepaku hanya mencapai 2 desa di Kecamatan Sepaku. Debit air menurun di saat kemarau sehingga masyarakat sering tidak mendapat air bersih. Sumber: Debora Laksmi I.

 

Kekurangan air tidak hanya dirasakan warga Desa Tengin Baru, Kecamatan Sepaku, tetapi juga warga di tiga kecamatan lain di Kabupaten Penajam Paser Utara. Hasil analisis Kementerian PUPR pada September 2018 menyebutkan, Kabupaten Penajam Paser Utara, defisit air sebanyak 233 liter per detik. Kebutuhan sebanyak 341 liter per detik belum terpenuhi karena ketersediaan air baku hanya mencapai 108 liter per detik.

Selama ini Kabupaten Penajam Paser Utara mengandalkan Sungai Lawe-Lawe dan Sungai Tengin sebagai sumber utama air bersih yang dikelola PDAM Danon Taka. PDAM Danon Taka memiliki 4 unit SPAM dengan kapasitas terpasang 130 liter/detik. Cakupan layanan teknisnya pun baru 58,2 persen yang lebih banyak dinikmati warga di Kecamatan Penajam.

Catatan Susenas BPS (2017) menyebutkan, masyarakat  yang menggunakan air ledeng di Kabupaten Penajam Paser Utara hanya sekitar 14 persen keluarga. Bandingkan dengan masyarakat di Kabupaten Kukar yang 57 persen keluarga telah menggunakan air pipa.

Masyarakat Penajam Paser Utara akhirnya memilih menggunakan air tanah. Data Susenas mencatat, hampir tiga perempat persen responden keluarga memanfaatkan air tanah melalui sumur bor/pompa. Masyarakat pesisir dapat memanfaatkan air tanah dangkal dengan kedalaman 3-18 meter. Sementara masyarakat di dataran tinggi harus menggali lebih dalam sedalam 20-40 meter untuk mendapatkan air tanah.

Namun, sering kali air tanah tersebut tidak layak untuk diminum. Air berwarna keruh hingga merah dan mengandung kadar Fe (zat besi) di atas ambang batas. Catatan BBWS Kaltim III menunjukkan, kualitas air tanah di Sepaku, kadar besinya mencapai 1.881, melebihi baku mutu yang ditetapkan, yakni 0,3.

Ambo Sakak (59), warga Desa Tengin Baru yang menggunakan sumur bor dalam, mengatakan, dirinya cukup kesulitan untuk mendapatkan air tanah. Sumurnya harus digali sedalam 60 meter untuk mendapatkan air tanah.

”Setiap akan menggunakan, keran air harus dibuka supaya air mengalir terus sampai warnanya jernih,” kata penilik sekolah yang tinggal di Desa Tengin Baru tersebut.

Kompas melakukan pengujian pada air sumur milik Ambo Sakak menggunakan Ph meter. Hasilnya berkisar pada angka 6,4, yang artinya masih dalam batas ambang layak untuk diminum. Namun, Ambo memilih menggunakan air sumur hanya untuk keperluan MCK, tidak untuk minum.

Untuk mengebor sumur, tidak semua warga mampu karena biayanya mahal. Pilihan lain bagi warga Penajam Paser Utara adalah menggunakan air hujan. Tercatat dalam Susenas 2017, ada sekitar 3,7 persen responden keluarga yang memanfaatkan air hujan untuk keperluan MCK.

Pengambilan air tanah menurut Perda Kalimantan Timur Nomor 14 Tahun 2012 tidak perlu izin jika untuk memenuhi kebutuhan air minum dan rumah tangga serta kebutuhan lain yang tidak diperjualbelikan. Namun, hak guna pakai air tanah tersebut memerlukan izin jika cara pengambilannya menimbulkan kerusakan pada akuifer air dan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan selain domestik.

Tercatat dalam data ESDM Kalimantan Timur, di Kabupaten Penajam, ada tujuh sumur dalam dengan kedalaman 220 meter. Sumur tersebut milik PT Chevron dengan pengambilan terbesar 13,09 liter per detik.

 

Degradasi lingkungan

Keberadaan perkebunan sawit sedikit banyak juga berkontribusi pada berkurangnya ketersediaan air, seperti yang terjadi di Kecamatan Sepaku. Luas kebun sawit pada 2017 mencapai 8.663,8 hektar, naik hampir tiga kali lipat dibandingkan 2010.

Berkurangnya air salah satunya terkait dengan alih fungsi lahan hutan di Daerah Aliran Sungai Tengin (Kecamatan Sepaku) menjadi perkebunan sawit. Hutan yang salah satunya berfungsi untuk mengatur tata air menjadi berkurang perannya.

Penyerapan air oleh tanaman sawit memang tak sebanyak tanaman lain. Menurut paparan ”Pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit: Perspektif Lingkungan” (Sardjono, 2017), penyerapan air oleh tanaman sawit hanya 1.104 mm/th, sementara tanaman jati mencapai 1.300 mm/th.

Namun, yang menjadi masalah adalah degradasi tanah di lahan sawit. Penelitian German Development Institute (2017) mengungkap permasalahan ini dalam penelitiannya di Provinsi Jambi.

Hasilnya, pemanenan sawit dan pembukaan lahan penuh vegetasi menyebabkan pemadatan tanah. Air hujan tidak terserap di tanah yang padat. Akibatnya, air mengalir di permukaan tanah dan tidak tersimpan di dalam tanah.

Selain itu, tanaman sawit menekan siklus air dibandingkan tanaman lainnya. Tanaman sawit membutuhkan air sepanjang musim. Pada musim kemarau pun sawit akan terus menyedot air untuk pertumbuhannya, sedangkan tanaman lain, seperti tanaman karet, mengurangi kebutuhan air dengan menggugurkan daunnya.

 

 

Distribusi air

Defisit air di Penajam Paser Utara, menurut Kepala Balai Wilayah Sungai Kalimantan III Anang Muchlis, juga disebabkan distribusi air bersih yang belum merata oleh PDAM Danon Taka. Pihaknya telah berusaha menyediakan pasokan air bersih melalui bendungan dan waduk. Namun, kendala ada pada pihak PDAM yang masih kesulitan menyalurkan air ke rumah tangga. Belum lagi ada kebocoran dan pencurian air sehingga distribusinya tidak lancar.

Kondisi wilayah juga menghambat distribusi perpipaan PDAM. Contohnya, sistem perpipaan di Kecamatan Penajam tidak bisa menyambung ke kecamatan lainnya. Sementara itu, sistem penyediaan air minum (SPAM) yang ada di setiap kecamatan juga belum menjangkau semua warga. SPAM Tengin Baru, misalnya, yang dibangun sejak tahun 2000, hingga kini baru bisa menjangkau Desa Tengin Baru dan separuh keluarga di Desa Sukaraja.

Kisah kekurangan air di Desa Tengin Baru, Kecamatan Sepaku, menjadi gambaran air bersih menjadi persoalan besar di lokasi calon ibu kota baru. Dibutuhkan rencana terpadu tentang pengelolaan air bersih di ibu kota baru, yang diharapkan dapat mengatasi masalah krisis air bersih. Perlindungan lingkungan terhadap tata guna lahan dan air juga perlu dipertimbangkan dalam setiap poin rencana. (Litbang Kompas)

 

Serial liputan tentang Daya Dukung Air di Kawasan Ibukota Baru oleh Litbang Kompas ini didukung oleh program hibah Data Journalism Lingkungan dari Internews’ Earth Journalism dan Resource Watch.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.