Sejumlah isu krusial terkait perubahan iklim dipaparkan para pakar akan mendominasi dialog pada COP26 di Glasgow, Skotlandia, 31 Oktober-12 November 2021. Salah satu isu utama yang sepertinya bakal kencang disuarakan adalah mempertanyakan komitmen negara-negara maju terhadap climate financing (pembiayaan iklim) seperti termaktub dalam Paris Agreement.

Demikian dipaparkan Mahawan Karuniasa, pendiri Environment Institute, dalam diskusi publik bertajuk “Menuju COP26 di Glasgow: Pembelajaran Peningkatan Aksi Iklim yang Lebih Ambisius”, yang digelar secara daring oleh The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) dan World Resources Institute (WRI) Indonesia, pada Jumat (16/7/2021).

Mahawan menegaskan pentingnya para delegasi dari negara paling tertinggal (least develop countries/LDC) dan negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk menagih komitmen dari negara maju terkait climate financing sebesar 100 miliar dolar AS per tahun hingga 2020 yang dijanjikan negara maju sejak COP15 pada 2009.

Janji climate financing untuk negara berkembang dan terbelakang tersebut ditegaskan kembali dalam COP21 di Paris tahun 2015. Akan tetapi hingga saat ini belum terealisasi sepenuhnya, seperti diungkapkan Sonam P Wangdi, Ketua Kelompok LDC pada COP26, kepada The Guardian (15/7/2021).

“Isu krusialnya adalah menagih komitmen negara maju untuk menyalurkan dana 100 miliar dolar AS ke negara berkembang dalam mitigasi perubahan iklim. Sebab sampai saat ini, janji tersebut belum terealisasi sepenuhnya,” tegas Mahawan.

Sementara itu, pembicara lain dalam diskusi daring tersebut, Tony La Viña dari Manila Observatory, Filipina, menyatakan bahwa isu climate and vaccine justice (keadilan iklim dan vaksin) juga penting untuk dibahas karena keduanya saling terkait.

“Isu keadilan distribusi vaksin Covid-19 khususnya di negara-negara berkembang saat ini juga berkait dengan isu keadilan iklim. Sebab, saat ini banyak negara berkembang, yang notabene terdampak perubahan iklim, masih kesulitan mendapatkan vaksin Covid-19 bila dibandingkan dengan negara maju,” papar Tony.

Moekti H. Soejachmoen – Co-Founder & Direktur Eksekutif Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID) menambahkan, agenda COP26 akan dilaksanakan paralel secara negosiasi dan non-negosiasi.

“Dalam KTT nanti kelompok perundingan tetap di UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) dan kelompok perundingan baru, serta berdasarkan isu atau kepentingan sesaat dari sekitar 200 negara akan melakukan negosiasi. Sedangkan non-negosiasi berasal dari Cartagena Dialogue (forum dialog dan berbagi informasi sekitar 30-40 negara) dimana Indonesia menjadi salah satu penggagas,” paparnya.

Agenda menciptakan kesepakatan bersama dalam penanganan perubahan iklim ini nantinya akan sangat membutuhkan kepemimpinan global dan dorongan diplomatik yang kuat, mengingat dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim atau UNFCCC COP25 di Madrid, Spanyol tahun 2019, berakhir dengan kesepakatan kompromi dan tanpa komitmen besar.

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres bahkan menyesalkan hasil pertemuan tersebut karena negara pencemar yang mempunyai kekuatan finansial besar dan  kekuatan berpengaruh tidak mencapai kesepakatan dengan negara yang rentan perubahan iklim.

Negosiasi antara perwakilan sekitar 200 negara yang datang ke Madrid untuk menyelesaikan buku aturan perjanjian Paris 2015,  khususnya artikel 6 Perjanjian Paris yang memerintahkan negara-negara membatasi kenaikan suhu global hingga di bawah dua derajat celcius, berakhir buntu. Pasalnya, sebagian besar negara penghasil emisi terbesar di dunia tidak beraksi dan menolak seruan menurunkan suhu global.

Di Indonesia, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah meluncurkan dokumen perencanaan pembangunan rendah karbon (PPRK) atau Low Carbon Development Initiative (LCDI). Kebijakan yang mendorong implementasi penurunan karbon ini fokus pada lima hal penting, yakni transisi menuju energi terbarukan dan mengurangi energi batubara, moratorium dan penggunaan kehutanan dan pertambangan berkelanjutan. Juga, meningkatkan produktivitas lahan, kebijakan efisiensi energi, menetapkan target pada sektor kelautan dan perikanan serta biodiversitas.

Ketua Umum SIEJ Rochimawati menyatakan komitmen Indonesia dalam menurunkan emisi dan isu perubahan iklim harus dikawal. Peran media dan jurnalis sebagai watch dog sangat penting untuk mengawasi pemerintah agar mewujudkan komitmen sesuai dengan peta yang telah dibuat.

“Momentum COP26 menjadi penting untuk mendorong isu ini diangkat ke publik, terlebih di tengah dominasi isu pandemi Covid-19, masifnya bencana, dan persolan energi kotor di Indonesia,” katanya.

SIEJ selama ini berkomitmen memasifkan narasi tentang lingkungan dan perubahan iklim melalui pemberitaan dan transfer pengetahuan ke kalangan jurnalis di Indonesia. Karena itu SIEJ berupaya untuk menjembatani hal ini dengan menggelar berbagai program peningkatan kapasitas jurnalis untuk peliputan isu perubahan iklim.

Salah satunya, bekerja sama dengan WRI Indonesia membuka beasiswa peliputan isu perubahan iklim dan penurunan emisi untuk jurnalis di Indonesia agar isu penting ini tak ditinggalkan.

Cynthia Maharani, Climate Research Analyst WRI Indonesia menyatakan, untuk mendukung peningkatan kapasitas jurnalis memahami isu perubahan iklim di Indonesia, pihaknya berupaya menghadirkan sejumlah pakar iklim dan negosiator untuk terus memperbarui isu ini.

“Harapannya bisa mendorong lebih banyak lagi pemberitaan terkait upaya penurunan emisi baik oleh pemerintah, swasta, dan lembaga-lembaga non-pemerintah,” ujar Chintya.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.