Pemerintah Cina memberi bantuan pembangunan infrastruktur untuk 60 negara dalam proyek Belt and Road Initiative (BRI). Mereka mengklaim bakal membawa manfaat bagi 4,4 miliar penduduk dunia dan menyumbang US$ 21 triliun GDP global. Wartawan dari Asia, Afrika dan Amerika Selatan berkumpul di Myanmar, mendiskusikan pemberitaan megaproyek ini.
Yangon, MYANMAR. Slide presentasi itu menampilkan grafiti tentang protes terhadap pemerintah Cina yang membangun pelabuhan di Uruguay. “No (gambar pelabuhan) Al Puerto Chino,” satu kalimat dalam grafiti. Slide lainnya menampilkan foto dua petani Kolombia yang membawa spanduk menolak rencana Emerald Energy (anak perusahaan Sinochem) melakukan eksplorasi minyak di Caqueta.
Dua belas slide dipaparkan Andres Bermudez Lievano, wartawan Dialogo Chino pada lokakarya media bertajuk “Inside out and outside in: Reporting the Socio-Environmental Impacts of the Belt and Road Initiative (BRI)”. Lokakarya yang diadakan di Yangon, Myanmar pada 28-29 Mei 2019 ini diikuti wartawan dari Asia Tenggara, Cina, Kolombia dan Kenya.
Lokakarya ini merupakan kerja sama dan diadakan oleh Chinadialogue, Earth Journalism Network (EJN) and Myanmar Journalism Institute (MJI). BRI adalah proyek ambisius Pemerintah Cina untuk menghubungkan dan meningkatkan jalur infrastruktur, perdagangan dan investasi dengan negara-negara di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika Selatan. “Ada 19 negara di Amerika Latin dan Karibia yang bergabung dalam BRI,” kata Andres Bermudez Lievano.
Peserta lokakarya lainnya, Maina Waruru (freelance journalist dari Nairobi, Kenya) memaparkan investasi Cina untuk proyek infrastruktur di Afrika. Banyak perusahaan dari Cina yang membangun jalur kereta api, jalan, gedung, pabrik dan lainnya. Proyek-proyek itu, kata Maina, saling menguntungkan kedua belah pihak.
Namun ada persepsi negatif terhadap proyek BRI, seperti tergambar dalam pemberitaan di media massa. “Mereka tidak peduli tentang lingkungan dan hak asasi manusia seperti kesejahteraan buruh dan lainnya,” ujar Maina. Selain itu muncul hoaks bahwa proyek BRI di Afrika banyak membawa tenaga kerja kasar dari Cina, termasuk narapidana. Persyaratan kontrak proyek yang terselubung rahasia menjadi pemicu hoaks tersebut tersebar.

Di Indonesia, tersebar hoaks bahwa ada 10 juta tenaga kerja Cina bekerja di Indonesia. Presiden Joko Widodo langsung membantah kabar bohong tersebut dan menyatakan hanya sekitar 23.000 pekerja dari Cina yang masuk Indonesia.
“Mereka itu, misalnya, masang turbin yang di mana kita belum bisa masang. Lagipula mereka kerja enggak terus-terusan kok,” ujar Jokowi dalam pidato Pembukaan Pendidikan Kader Ulama Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Bogor di Gedung Tegar Beriman, Cibinong, pada 8 Agustus 2018.
Manajer Proyek Internews’ Earth Journalism Network Asia-Pacific, Sim Kok Eng Amy, menjelaskan lokakarya media di Myanmar ini memiliki 4 tujuan. Pertama, memberikan kesempatan bagi wartawan yang negaranya bermitra dengan RRC untuk berbagi pengalaman tentang dampak sosial dan lingkungan proyek BRI kepada jurnalis atau kolega dari Cina.
Kedua, memberikan kesempatan bagi wartawan Cina untuk berbagi visi mereka terkait reportase dan praktek BRI saat ini.
“Ketiga, menyediakan platform bagi para wartawan untuk mendiskusikan kendala dan cara-cara mengatasinya, untuk berbagi informasi dan data, dan memfasilitasi kerja sama di antara mereka,” ujar Sim Kok Eng Amy yang pernah menjadi wartawan Lianhe ZaoBao di Singapura.
Keempat, menyediakan saluran untuk pelaku lain yang terlibat dalam BRI (seperti perwakilan perusahaan, peneliti dan lainnya) untuk mendapatkan masukan dan perspektif jurnalistik.
Mega proyek Belt and Road Initiative (BRI)
Pada 2013, Presiden Cina Xi Jinping mengumumkan prakarsa baru bertajuk The 21st century Silk Road Initiative yang kemudian dikenal sebagai Belt and Road Initiative (BRI). Pemerintah Cina ingin memperbaiki perekonomian global dengan mempromosikan perdagangan, kebudayaan dan pertukaran teknologi di antara bangsa-bangsa di Asia dan Eropa.
Untuk mendukung prakarsa itu, pemerintah Cina memberi bantuan pembangunan infrastruktur seperti jalur kereta, jalan tol, pelabuhan dan lainnya. Ada 64 negara yang tertarik dan bekerja sama dalam proyek BRI, hal ini mewakili lebih dari setengah penduduk dunia dan sepertiga GDP dunia. Jika proyek BRI sukses, diklaim akan membawa manfaat bagi 4,4 miliar penduduk dunia dan menyumbang US$ 21 triliun GDP global.
Ada 6 koridor ekonomi megaproyek BRI. Pertama, Bangladesh-Cina-India-Myanmar (BCIM). Kedua, Cina-Semenanjung Indocina (ICP). Ketiga, Cina-Asia Tengah-Asia Barat (CAWA). Keempat, New Eurasian Land Bridge (NELB). Kelima, Cina-Mongolia-Rusia (CMR). Keenam, Cina-Pakistan (CP). Dalam perkembangannya, proyek BRI juga merambah ke benua Afrika dan Amerika Selatan.

Proyek BRI tersebut selaras dengan kebijakan Presiden Joko Widodo (yang terpilih dalam Pemilihan Presiden 2014) yang memprioritaskan pembangunan infratruktur, termasuk visi ‘Poros Maritim Dunia’ dan ‘tol laut’. Visi tersebut bisa bersinergi dengan visi “Jalan Sutera Laut” Presiden Cina Xi Jinping.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 memperkirakan bahwa Indonesia membutuhkan dana Rp 5.500 triliun (US$ 460 miliar) untuk mendukung pertumbuhan ekonomi 6-7 persen. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia menargetkan pembangunan di sektor energi dan kelistrikan (35.000 MW, jalan tol baru (1000 km), jalan kereta baru (3.258 km), pelabuhan baru (306), dan bandar udara baru (15).
Cina telah menjadi mitra dagang yang penting bagi Indonesia. Pada 2010-2015, investasi di sektor perlistrikan, gas dan air sekitar 23 persen-nya berasal dari investor Cina. Lalu 20 persen di seKtor pertambangan. Puluhan perusahaan Cina membangun PLTU di berbagai daerah. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat sampai kuartal kedua 2017, Cina telah berinvestasi di 763 proyek dengan jumlah investasi US$ 1,3 miliar.
Pemberitaan tentang BRI
Bagaimana media sejumlah negara meliput proyek BRI? Vi Tran, wartawan Luat Khoa Magazine, menjelaskan media mainstream di Vietnam dalam laporannya kebanyakan memberitakan hal-hal yang positif tentang BRI. “Tidak banyak memberitakan soal ancaman jebakan utang dan polusi dari proyek BRI,” katanya.
Sebaliknya dengan media independen yang beberapa kali memberitakan soal dampak lingkungan dan sosial dari proyek BRI. Namun pemberitaan mereka dinilai Vi Tran, kurang intensif. Padahal, lanjut Vi Tran, ada 19 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) – dari 30 PLTU yang beroperasi di Vietnam – yang membawa dampak lingkungan. Tak hanya itu, teknologi PLTU yang dibangun perusahaan Cina kalah jauh dibandingkan milik perusahaan Jepang dan Korea Selatan.
Di Indonesia, pemberitaan tentang BRI juga diulas oleh media cetak dan online. Pada 26 Mei 2019, penulis melakukan pencarian dengan kata kunci “belt and road” pada lima media online ternama. Hasilnya, untuk kompas.com ada 582 berita, detik.com (87 berita), tempo.co (termasuk tempo.co English=700 berita), republika.co.id (8 berita), dan mediaindonesia.com (414 berita).
Akan tetapi, kebanyakan berita mengulas dengan sudut pandang ekonomi dan politik. Antara lain kehadiran Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla dalam konferensi BRI di Cina; nilai dan prospek investasi Cina; Jack Ma menjadi penasehat e-commerce Indonesia; skema kerja sama Indonesia dan Cina; dan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Relatif sangat sedikit pemberitaan tentang dampak lingkungan dari proyek BRI.
Ada juga pemberitaan tentang kebijakan Perdana Menteri Malaysia Mahatir Muhammad yang membatalkan proyek kereta cepat dan jaringan pipa untuk gas. Selain itu tentang jebakan utang proyek BRI pada pembangunan pelabuhan di Sri Langka.
Persoalan utang ini juga disampaikan Maina Waruru. Menurutnya, Kenya dan banyak negara Afrika lainnya menghadapi krisis utang. “Mereka memiliki pinjaman dari Cina dan lembaga internasional lainnya,” katanya. Infrastruktur nasional yang penting akhirnya dijadikan agunan.
Menurut Andres Bermudez Lievano, ada dua frame peliputan media. Pertama, yang melihat investasi Cina adalah membahayakan karena mengambil alih pekerjaan dan sumber daya lokal. Kedua, yang melihat Cina sebagai mitra ekonomi yang vital, sumber pembiayaan/pinjaman dan potensi perdagangan.
Ketika meliput proyek investasi Cina di Amerika Latin, sejumlah wartawan menulis narasi sederhana mengenai protes atau unjuk rasa. Ada lagi yang menulis mengenai invasi barang-barang impor yang murah atau volume perdagangan serta pengaruhnya bagi hubungan dengan Amerika Serikat. “Namun tidak ada upaya memasukkan perspektif Cina,” kata Andres.
Sudah bisa ditebak hasil dari peliputan semacam itu. Yakni, tidak ada nuansa sosial, ekonomi dan dampak lingkungan dari proyek BRI Cina. “Apakah positif atau negatif,” katanya. Tulisan juga lebih banyak menggunakan sudut pandang ekonomi yaitu soal komoditas.
Selain itu, masalah yang lebih penting dan luas hilang dari pemberitaan media. “Antara lain soal kontradiksi Cina di Amerika Latin,” Andres. Pada satu sisi, Cina menjadi pemimpin global dalam kesepakatan iklim dan teknologi yang ramah lingkungan. Namun di sisi lain, investasi Cina di Amerika Latin banyak ditujukan untuk eksplorasi bahan bakar fosil, dari pada energi terbarukan. Begitu juga minimnya transfer teknologi dari Cina.
Tantangan dalam peliputan proyek BRI
Vi Tran mengatakan ada cerita tentang proyek BRI yang tidak banyak dilaporkan oleh media massa di Vietnam. Mulai dari polusi, korupsi dalam tender dan pelaksanaan proyek, penggunaan teknologi Cina dan konsekuensinya, serta sisi gelap proyek BRI di negara-negara lain
“Sejumlah tantangan menghadang untuk meliput proyek BRI,” kata Vi Tran. Antara lain: penyensoran; larangan untuk mengakses proyek BRI; pemerintah Cina yang tidak bersahabat bagi civil society dan jurnalis; pelecehan dan penjara bagi aktivis dan wartawan anti-Cina; adanya Undang-Undang Keamanan Cyber; kurangnya pengetahuan dan kemampuan menganalisis BRI; dan kurangnya jaringan dengan jurnalis di negara lain (regional).
Sementara di Indonesia, halaman pertama atau cover story media kebanyakan berisi berita tentang politik dan ekonomi. Persoalan lingkungan masih menjadi isu pinggiran. Hal ini berkorelasi juga dengan sedikitnya wartawan yang mengkhususkan pada peliputan isu lingkungan. Oleh karena itu tidak heran jika isu dampak lingkungan dan sosial proyek BRI kurang banyak ditulis oleh wartawan di Indonesia.
Sejumlah proyek BRI berada di luar Jawa, bahkan di kabupaten atau daerah terpencil, dan dibutuhkan biaya besar untuk menjangkau lokasi-lokasi tersebut. Walhasil tidak banyak dan kurang intensif peliputan tentang proyek BRI tersebut. Selain itu, sejumlah proyek BRI kabarnya dijaga aparat keamanan. Sehingga wartawan tidak mudah untuk melakukan peliputan.
Tantangan lain bagi jurnalis di Indonesia adalah terkait isu pribumi dan non-pribumi (etnis Cina). Pada tahun 2016, sebesar 1 persen orang kaya menguasai setengah total kekayaan penduduk Indonesia. Sebagian besar konglomerat adalah etnis Cina. Isu etnisitas dan kesenjangan ini sangat sensitif dan menjadi tantangan bagi jurnalis Indonesia dalam meliput proyek BRI.
Hao Zhou, redaktur internasional dari majalah Caijing, menjelaskan medianya banyak menulis tentang BRI. Termasuk reportase ke lokasi proyek, mewawancarai sumber utama dan melakukan verifikasi, serta memilah-milah seluruh bahan. “Kesulitannya adalah biaya yang besar untuk meliput proyek BRI, yang terletak di daerah konflik, meyakinkan nara sumber untuk diwawancarai, dan mendapatkan aspirasi yang benar,” katanya.
Kolaborasi global dalam peliputan tentang BRI
Sim Kok Eng Amy menjelaskan jurnalis memainkan peranan penting dalam meningkatkan pemahaman global tentang BRI. “Laporan yang seimbang dapat membantu pemangku kepentingan negara penerima proyek BRI terlibat dengan prakarsa ini, cara ini akan menguntungkan masyarakat lokal dan pembangunan di dalam negeri,” katanya.
Peliputan semacam ini dapat mendukung lembaga-lembaga di Dunia Barat dan negara tuan rumah membuat penilaian yang lebih objektif terhadap BRI untuk memungkinkan terjadinya sinergi dan kolaborasi. Selain itu juga dapat memungkinkan aktor-aktor di Cina untuk mendorong perbaikan terhadap pemerintahannya dan pelaksanaannya, baik di tingkat domestik dan di negara penerima bantuan BRI.
Peliputan media soal BRI di Cina dan banyak negara saat ini memang belum sesuai dengan harapan di atas. Pemberitaan media di Cina sangat berfokus pada perspektif aktor Cina, kata Amy, mengabaikan suara aktor lokal yang bekerja sama dengan proyek BRI. Media-media asing dan negara yang bekerja sama dengan BRI memberitakannya dengan fokus pada pandangan mereka sendiri.
Wartawan di Cina dan negara yang bekerja sama dalam BRI, lanjut Sim Kok Eng Amy, dibatasi oleh kurangnya sumber daya, akses dan informasi untuk menulis tentang BRI yang informatif, seimbang dan kondusif untuk terjadinya dialog yang konstruktif. Dia berharap pemahaman tentang perspektif dan pertemanan akan membantu wartawan mengatasi beberapa kesulitan dan rintangan sehingga secara kolektif nuansa ceritanya dapat membentuk percakapan global yang lebih baik tentang BRI.

Maina Waruru mengusulkan agar pemerintah dan manajemen proyek BRI lebih terbuka kepada wartawan sehingga misinformasi dan kabar bohong tidak cepat menyebar. Pada sisi lain, wartawan harus selalu memegang teguh prinsip jurnalisme yang baik, yaitu kesetiaan pada fakta dan melakukan pengecekan fakta. “Melakukan penelitian, perbandingan lokal dan internasional, serta menghindari narasi populis,” katanya.
Pendapat ini disetujui Hao Zhou. Menurutnya, jurnalis harus tetap berani menceritakan kisah nyata dengan rasionalitas. Tetap berpegang pada perspektif yang objektif dan terus melacaknya. Hao Zhou juga mengatakan, selain perlu membuat peliputan dan penulisan lebih popular, sama pentingnya melakukan kerja sama dengan pihak internal dan eksternal.
Andres Bermudez Lievano mengusulkan dua tataran sebagai tindak lanjut lokakarya media di Yangon. Pertama, pada tataran individu dengan melakukan peliputan yang lebih baik dengan melihat pandangan dari aktor-aktor perusahaan Cina; meningkatkan pemahaman tentang kontrak dan pinjaman bank; memahami kegagalan pemerintah dan bahkan masyarakat (bukan hanya pihak perusahaan); dan memeriksa kembali klaim dari masyarakat.
“Memahami hal ini sebagai bagian dari proses yang lebih besar,” kata Andres. Dia merujuk pada perjanjian pasca perdamaian atau transisi konflik di Kolombia. Termasuk juga potensi konflik yang memungkinkan nasionalisme atau regionalisme tumbuh.
Kedua, kolaborasi di antara jurnalis mancanegara. Menurut Andres, hal itu dapat dilakukan dengan berbagi cerita/tulisan yang baik (diarsipkan ke dalam keyword “cerita BRI yang baik”). Berbagi rekam jejak perusahaan di negara lain (ini bagian dari perspektif komparatif). Selain itu, kata Andres, memperkuat jaringan yang dapat membantu menemukan informasi tentang proyek dan perusahaan, seperti jaringan Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) atau Finance Uncovered. EKUATORIAL.