Liputan ini pertama kali terbit di jatimplus.id pada tanggal 4 Oktober 2019.
Baca juga:
Upaya di Kemelut Cuaca Yang Semakin Tak Bersahabat
Tengger dan Perubahan Iklim: Di Tungku Panjang itu, Sesaji Dihidangkan
Di lereng bukit yang nyaris tegak, warna bergradasi dari hijau muda, hijau yang lebih tua sampai ke warna coklat dari ranting tak berdaun, menyelimuti perbukitan di bawah Desa Wonokitri, Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan. Warna hijau merupakan tanah yang masih mendapatkan air dari pipa-pipa putih berdiameter 2 inch, malang melintang menyeberang dari satu bukit ke bukit lain, menyerupai tali yang ratusan meter panjangnya. Sedangkan hamparan warna coklat adalah tanah yang sudah menyerah pada kemarau, yang di tahun ini lebih panjang dari tahun sebelumnya.
Wonokitri merupakan salah satu di antara puluhan desa di 4 kabupaten (Pasuruan, Lumajang, Malang, dan Probolinggo) di Jawa Timur yang didiami suku Tengger. Ekonomi bergerak dari kesenyapan alam, mereka adalah petani. Turun temurun, tanah adalah sumber hidup.
Semakin ke atas, semakin tajam pula bukit-bukit itu memiringkan dirinya hingga makin curam tanaman sayuran itu tumbuh. Sebagai orang yang pernah aktif di Mapala dan pernah belajar tentang pertanian, ada rasa tak terima ketika bukit dengan kemiringan demikian tajam tetap diolah. Di atas kertas dan buku-buku diktat yang saya pelajari, pengolahan tanah khususnya untuk sayuran tak boleh dilakukan di kemiringan melebihi sudut 45 derajad. Penanaman di lahan dengan sudut kemiringan yang lebih tajam akan cenderung berakibat longsor dan hilangnya top soil sehingga degradasi lahan akan berjalan lebih cepat daripada secara alaminya.
Hanya saja, ada yang bergerak senyap di sini. Gerak senyap perubahan yang diam-diam mengubah tanah menjadi hasrat, air menjadi kucuran angka, dan proses produksi bukan lagi sebagai bentuk laku spiritual untuk menyatu dengan alam. Apakah ketika di luar sana berubah, maka suku Tengger diharapkan jadi artefak yang diam? Denyut perubahan mulai mengubah wajah perbukitan ini. Tarik ulur antara perubahan gaya hidup, kebutuhan yang terus meningkat sementara alam Tengger sudah memiliki mekanisme dan batas sendiri untuk berproduksi.
Kemarau lebih panjang dan perbedaan suhu ekstrem
Setia, perempuan berusia 22 tahun, sedang mengumpulkan umbi kentang yang disisakan kemarau bulan September 2019. Ia mengais tanah yang terlihat lama sudah tak disinggahi air. Tanah seluas 400-an meter persegi itu nyaris tegak, menjulang di pinggir jalan aspal berkelok yang menghubungkan Wonokitri dengan dunia luar. Sepatu boots plastik itu berkali-kali menahan tubuh langsing yang memanggul bakul berisi kentang seukuran bola ping pong, agar tak melorot. Menurut Setia, kentang yang tak besar ini karena tak mendapat cukup air ketika pembentukannya. Kentang yang sudah dikumpulkannya itu, nampaknya hanya separuh dari yang bisa diselamatkan dari kerusakan. Pada musim kemarau, serangan ulat (penggerek umbi) merusak kentang-kentang tersebut.
Kentang kecil-kecil itulah yang akan disetorkan ke pengepul. Dua orang pengepul yang saya temui di kawasan Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan adalah Sugiono dan Sukiyat. Pada musim kemarau kali ini, ia hanya menyetor 5 ton/hari. Sementara pada musim hujan, kentang yang bisa diangkut sekitar 10 truk/hari atau sampai 70 ton dan ukurannya besar. Kentang tersebut disetor ke Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur.
Tak jauh dari lahan milik Setia, saya bertemu dengan Sungkono (42th), salah satu petani kentang di Dusun Wonokitri, Desa Wonokitri, yang bertanam kentang sejak muda. Ia menggarap lahan seluas 1,5 hektar yang tersebar di 5 tempat. Kentang merupakan produk utama yang paling bisa diharapkan hasilnya meski ia juga menanam sayuran lain.
Kentang merupakan tanaman yang manja. Air harus ada tepat waktu. Bila terlambat, pertumbuhan terganggu. Bila terlalu banyak, penyakit datang.
“Ndak mesti datangnya kemarau. Kalau kemarau tahun kemarin agak panjang. Dulunya bulan-bulan 10 sudah turun hujan, sampai bulan 12 baru turun hujan. Molor 2 bulan,” kata Sungkono, putra Tengger.
Air hujan menentukan sebagian besar kisah pertanian di perbukitan ini. Menurut Sungkono, pengairan irigasi ke ladang bisa mengandalkan air dari buangan rumah tangga. Ladang-ladang yang dekat dengan perumahan biasanya bisa bertahan pada saat musim kemarau. Selain itu, ada ladang yang mengandalkan sumber mata air yang dibuat sendiri di dalam ladang.
“Ini bisa dilakukan kalau ladang kita ada sumber mata air. Bisa untuk mengairi ladang yang ada di atas sumber dengan pipa,” terang Sungkono yang juga ketua Kelompok Tani Subur 1. Sumber air ini pun kerap kali kering ketika kemarau terlalu panjang.
Sungkono mengatakan, bila kemarau telat pergi bahkan bertahan 2 bulan lebih lama, maka satu musim tanam kentang gagal dijalankan. Biasanya ia bisa menanam kentang 4 kali dalam setahun, namun sekarang hanya 3 kali atau malah hanya 2 kali.

Mengenai perubahan cuaca 5 tahun terakhir, saya mengkonfirmasikannya ke BMKG Malang melalui aplikasi perpesanan. “Di luar kasus El-Nino dan La-Nina, musim di Jawa Timur tren musim kemarau lebih panjang ditengarai awal musim hujan lebih mundur dan akhir musim hujan lebih cepat,” tulis Anung Supriyatno, Kepala Seksi Observasi dan Informasi Sta. Klim. Kelas II Malang. Dari data yang dikumpulkan Anung, secara total tahunan, curah hujan tidak signifikan berubah namun frekuensi intensitas hujan lebat lebih sering terjadi dengan durasi yg lebih pendek.
Anung juga mencatat, tren kenaikan suhu per tahun masih relatif kecil, pada kisaran 0.03°C. Sementara itu, Kariadi, petani di Dusun Wonomerto, Desa Tosari, Kecamatan Tosari lebih detail mengamati perubahan cuaca yang terjadi di tempat tinggalnya. Ia merasakan, beberapa tahun belakangan ini terjadi perbedaan suhu drastis antara siang dan malam. Hal ini menyebabkan kemunculan hama penyakit lebih luas pada tanaman kentang.
“Pendidikan saya tidak tinggi. Saya hanya lulusan SMP, tapi saya suka membaca. Saya juga pernah dikirim workshop lingkungan di Australia,” kata Kariadi. Putra Tengger ini merupakan salah satu intelektual yang dimiliki Wonomerto. Ia menginisiasi berdirinya Kelompok Pecinta Lingkungan Bala Daun yang aktif mengkampanyekan cara bertani yang ramah lingkungan.
Kariadi mengamati bahwa pada musim kemarau pertanian kentang terkendala soal air. Sedangkan pada musim hujan, terkendala hama dan penyakit.
“Penyakit berkembang ketika kelembaban tinggi. Siang sangat panas dan malam sangat dingin. Frost muncul, memicu jamur berkembang biak,” kata Kariadi.
Cendawan yang dimaksud adalah cendawaan busuk daun (Phytophthora infestan) yang sangat ditakuti petani. Menurut Kariadi, bila penyakit ini menyerang maka bisa satu musim tanam gagal. Bila panen kentang per hektar antara 15 ton hingga 51 ton dengan harga Rp 5.000,-/kg, maka petani bisa kehilangan Rp 60juta hingga Rp 255 juta dalam semusim. Oleh sebab itu, petani melakukan antisipasi dengan penyemprotan fungisida. Pada musim hujan, bisa sampai 4-5 kali/minggu.
“Ketika Phytopthora menyerang di lahan terbuka susah tersembuhkan sehingga pestisida meningkat dosisnya. Munculah beragam merek yang makin mahal harganya,” terang Kariadi.
Tak hanya itu, muncul hama yang baru, yaitu kutu kebul atau whitefly (Bemisia tabaci). Hama ini tak hanya merusak tanaman namun juga menjadi vektor penyakit lain yang tak kalah merusak.
Pengamatan langsung ini yang menjadikan Kariadi dan kelompoknya mencari solusi yang bisa menjawab permasalahan pertanian tanpa menimbulkan kerusakan yang lebih parah. Bagaimanapun, lingkungan yang berubah menjadi lebih buruk merupakan tantangan tersendiri untuk menghidupkan umbi-umbi kentang yang gemuk dan menopang kebutuhan hidup suku Tengger. Mereka mengembalikan lingkungan dengan menanam pohon.
Liputan bertema Tengger dan Perubahan Iklim ini merupakan bagian dari program pelatihan ‘Reporting on Climate Change Handbook’ yang dislenggarakan oleh SIEJ (Society of Indonesian Environment Journalists) dan UN (United Nation) Indonesia.