Baca juga:
Tengger dan Perubahan Iklim: Masyarakat Tengger Dalam Perjalanan Iklim Yang Tak Lagi Sama
Tengger dan Perubahan Iklim: Upaya di Kemelut Cuaca Yang Semakin Tak Bersahabat
Pandita Supayadi (67tahun) mematung sembari melafalkan mantra sementara sekelompok orang bersiap memasak jenang (dodol) di rumahnya. Santan kelapa, tepung, gula merah, dan segenap bahan untuk membuat jenang disiapkan. Ini adalah awal dari upacara di bulan Karo, yang puncaknya, menurut kalender Masehi, jatuh pada akhir September 2019.
Di rumah Sungkono, warga Dusun Wonokitri, Desa Wonokitri Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan, persiapan serupa sudah dimulai sepuluh hari sebelumnya. Dimulai dengan bergotong royong membuat jenang. Bahan-bahan dimasukkan dalam wajan besar kemudian diaduk secara bergantian oleh tangan para lelaki yang perkasa, selama lebih dari enam jam hingga mengental dan beraroma harum. Setelah matang, Supayadi memanjatkan doa, lalu tangan para perempuan menyodorkan kotak dari anyaman bambu. Jenang itu dibagi-bagi untuk disimpan sampai saat upacara tiba.
“Ini bisa tahan sampai satu tahun,” kata Sungkono sambil meletakkan jenang di antara sesajian lain. Setelah selesai dari rumah Sungkono, pembuatan jenang secara bergotong royong kemudian berlanjut ke rumah lainnya, dna Sungkono pun membantu di rumah lain itu. Semua diawali doa. Semua dilakukan secara komunal.
Pada saat saya datang, kebetulan bertepatan dengan persiapan upacara Mayu Desa yang dilakukan setiap 5 tahun sekali. Meski secara prosesi, upacara serupa juga dilakukan tiap tahun, hanya saja, dengan skala lebih kecil dan dinamakan Leliwet.
“Tiap tahun di sini ada selametan bumi pertiwi dan air, kami menyebut adat leliwet. Melewatkan kala-kala (keburukan),” ujar Pandita Supayadi. Ia menjelaskan bahwa upacara ini merupakan wujud terima kasih setelah setahun lamanya, masyarakat Tengger mengambil dari tanah, air, dan udara. Inilah saatnya memberi dan menyegarkan kembali tanah yang sudah memberi.
Di sinilah tanalayu atau bunga edelweis diperlukan. Tanah yang sudah layu disegarkan kembali dengan bunga. Kalau melihat ciri-ciri yang disebutkan, tanalayu yang dimaksud adalah Anaphalis javanica yang sudah dibudidayakan meski keberhasilan tak sesukses varian Anaphalis longifolia.
“Romo dukun tahu bunga yang dimaksud, dan tidak bisa digantikan,” kata Sungkono.
Doa atau mantra yang dilantunkan Pandita merupakan doa-doa suci berisi puji-pujian kepada alam dan juga permintaan maaf. Mereka meminta maaf kepada tanah, kepada gunung, kepada pohon, dan semua unsur alam apabila selama setahun ini tanpa sengaja sudah menyakiti. Salah satu bukti nyata keterikatan kuat masyarakat Tenggerpada kayu dan pohon.
“Pamit dulu pada yang ditempati baru ditebang. Setelah ditebang, harus tanam lagi agar cucu kita masih mendapatkannya,” kata Pandita Supayadi ketika mengajak saya ke Pura Dhang Kahyangan Kerti Jaya Buana. Dari ketinggian itu, nampak Dusun Wonokitri tergelar dibawah. Pura ini menjadi saksi bagaimana ritus-ritus berusia ratusan tahun masih berdaulat dan dijalani disini.
Kisah sebatang kayu di kemuliaan dapur berjelaga
Saya masih ingat aroma kayu dan jelaga yang bersenyawa dengan aroma kopi di sebuah dapur masyarakat Tengger. Kami disambut dengan hidangan semacam sup bening daging ayam yang selalu dipanaskan di atas tungku, jajanan yang dibungkus daun, dan segelas kopi yang bagi saya terasa terlalu manis. Semanis ingatan yang terekam di udara dingin ketika lutut mulai gemetar. Sebuah tungku panjang dengan tiga lubang menghangatkan percakapan kami. Demikian cara masyarakat Tengger menerima dan menghormati tamu: dijamu di dapur.
Meski di sudut sudah ada kompor gas, namun pusat ruangan ini tetaplah tungku yang berjelaga itu. Mata saya tertumbuk pada anyaman janur yang berisi sesaji yang diletakkan di samping tungku. Juga di kamar mandi, dan di atas kulkas. Pemandangan menarik, masa lalu dan kekinian dalam satu kemasan.
“Masyarakat Tengger percaya bahwa tungku ditunggui oleh Kek Thowok dan Ni Thowok,” kata Dr. Purnawan D. Negara yang meneliti masyarakat Tengger, ketika saya temui di ruang kerjanya. Dekan Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang yang akrab dipanggil Pupung ini menjelaskan, memasak dengan tungku ini merupakan laku spiritual bagaimana menghidupkan penunggu api.
Mereka mencari kayu bakar dengan tidak menebang pohon melainkan hanya mengambil ranting yang sudah mati. Untuk memasukkan ke dalam tungku pun menurut mereka, harus dari arah akar dahulu agar tak menyakiti meski kayu pada akhirnya juga akan mengabu oleh api.
“Sebagaimana tumbuhnya pohon dari akar ke atas, maka demikan juga cara membakarnya,” kata Pupung yang penelitiannya menyiapkan tesis berjudul Rekonstruksi Kebijakan Pengelolaan Kawasan Tengger Berbasis Nilai Komunal Ekologis dalam Perspektif Sosial Legal.

Sedemikian tingginya penghormatan masyarakat Tengger pada pohon, maka ketika mereka menebang pohon selain harus meminta izin, pohon itupun harus digantinya dengan yang baru. Menebang satu pohon harus mengganti dengan minimal satu pohon, lebih bagus lagi bila dua batang pohon.
Hanya saja, menurut Pupung, pengaruh luar sudah begitu kuat menggerus nilai-nilai di Tengger. Bukan hanya karena zaman yang berubah, namun pemerintah rupanya juga punya andil besar dalam penggerusan nilai-nilai Tengger ini.
“Erosi kultural yang menyebabkan erosi lingkungan,” kata Pupung. Salah satu dbentuknya adalah dengan digalakkannya wisata ke Bromo Tengger Semeru. Tahun 2016, Kementerian Pariwisata menetapkan 10 destinasi prioritas, salah satunya Bromo Tengger Semeru. Sebelum ditetapkan pun, Bromo sebenarnya sudah menjadi milik dunia. Ribuan wisatawan berkunjung setiap tahunnya.
Setelah ditetapkan menjadi destinasi prioritas, maka program pembangunan akses dan fasilitas wisata pun digalakkan untuk membuat nyaman para wisatawan yang berkunjung. Akibatnya, tanpa sadar, menggerus nilai-nilai kultural yang selama ini menjaga relasi harmonis antara masyarakat Tengger dan alam.
Pupung mencontohkan lunturnya semangat komunal pembangunan dan perawatan jalan setelah pemerintah mulai membangun jalan akses beraspal menuju Bromo. Sebelumnya, masyarakat selalu bergotong-royong membangun jalan.
“Ada aturan adat, bila ada masyarakat Tengger yang melanggar aturan, mereka tidak dikenakan sanksi namun denda berupa batu. Batu itu dikumpulkan untuk membangun jalan. Karena sudah diaspal, maka tidak ada rasa kepemilikan itu lagi,” kata Pupung.
Tak hanya itu, ketika masyarakat dilarang masuk hutan dengan dalih menebang pohon, masyarakat dikenalkan kepada gas.
“Kita tidak bisa menghalangi orang Tengger jadi modern. Tapi tak bisa mengubah nilai-nilainya. Biar Tengger yang menentukan,” lanjut Pupung. Ketika gas memberi jarak dengan tungku, maka program yang terlihat praktis itu telah menjauhkan masyarakat Tengger dari penghormatan terhadap pohon, terhadap alam. Maka, mereka lalu tak segan menebang pohon tanpa disertai rasa bersalah. Inilah yang menjadi kegelisahan Kariadi, salah satu putra Tengger.
Tragedi swasembada pangan yang merambah di ketinggian Tengger
Di rumah kecilnya di Dusun Wonomerto, Kecamatan Tosari, Kariadi memperkenalkan saya dengan santigi. Tanaman berpucuk merah itu tampak segar dan terawat baik. Saya pernah menemukannya tumbuh di jalur menjelang puncak di Gunung Gede, namun di teras rumah Kariadi ini, ia tumbuh subur bersama dengan pohon-pohon lain. Kariadi ingin mengembalikan lahan Tengger menjadi lahan yang ia kenal dulu. Lahan dengan pepohonan yang berdaulat.
“Tahun 1996 ada perubahan cara bertani, tadinya bertani hanya mencukupi untuk makan saja, sudah berubah untuk mencari harta benda,” kata Kariadi dengan suara mengambang. Kini, masyarakat Tengger bertani selain untuk konsumsi tiap hari atau untuk hidup, juga sudah untuk mencari harta benda.
Menurut Kariadi, masyarakat Tengger juga ingin hidup sebagaimana dunia di luar sana yang mereka lihat, terutama dari televisi. Segala kemewahan yang tadinya terasa asing di ketinggian ini, menjadi barang biasa yang sudah menjadi kebutuhan primer. Hal yang tak lagi bisa dibendung , dan ini secara tidak langsung menuntut tanah untuk berproduksi lebih banyak, dengan berbagai cara.
Selain itu, Kariadi juga menambahkan bahwa ada peran pemerintah saat Orba dengan program swasembada pangannya. Dengan program itu, pemerintah meluncurkan banyak sekali bibit di pegunungan khususnya di Tengger. Bibit-bibit yang melahap lahan dengan rakus dengan harapan hasil yang berlipat. Efeknya pun terasa hingga kini. Dulu bertani kentang dengan 2 kali panen sudah cukup menghidupi. Tidak ada penyakit. Tidak ada pestisida yang luar biasa. Kini tanah dipaksakan harus lebih dari 3 kali bahkan 4 kali panen. Hama kini meningkat, penyakit tanaman pun demikian, dan penyemprotan dengan pestisida juga semakin meningkat.
Tak cukup hanya itu, “niat baik” pemerintah dengan menjamin adanya hutan sosial justru dirasakan Kariadi menjadi dasar legal untuk mengurangi tutupan hutan. Akibat kebutuhan akan lahan meningkat, maka pihak Perhutani mengembangkan konsep hutan sosial di mana masyarakat bisa mengerjakan kawasan hutan. Sayangnya, bukan dengan pertanian yang ramah lingkungan melainkan dengan menanam sayuran, khususnya kentang, sehingga pohon-pohon pun ditebang.
“Tahun 2000-an kerjasama dengan petani. Dampaknya alam terbuka dan muncul penyakit tanaman yang tidak terkontrol. Kita dihadapkan pada teman dan tetangga sendiri yang menggarap lahan di sana,” sesal Kariadi. Ia berusaha menanam pohon kembali di lahannya, sementara teman-temannya justru menebang pohon.
Lantas bagaimana dengan sanksi adat yang selama ini ditaati? Rupanya, sebagaimana dijelaskan Pupung, nilai-nilai itu tergerus sudah. Kariadi yang juga ketua PHDI (Parisada Hindu Dharma Indonesia) di Tosari kerap merasa teralienasi di tengah umatnya sendiri karena kegelisahan akan nilai-nilai Tengger yang tak lagi menjadi laku.
“Sebenarnya kalau dari upacara, kalau kita kembali pada arti upacara tersebut, pembukaan lahan berdosa pada leluhur,” kata Kariadi. Masyarakat tidak lagi tahu inti, arti, dan tujuan upacara.
Menurut Kariadi, sebagian dukun tidak lagi membangun upacara. Mereka hanya membangun stigma jika upacara tak dilakukan maka akan celaka. Namun, stigma seperti ini tak lagi mempan di tengah masyarakat yang sangat rasional dan modern. Masyarakat yang kritis dan melogikakan banyak hal.
Oleh sebab itu, selain Kariadi dan komunitasnya melakukan aksi nyata misalnya dengan menanam pohon, ia juga ingin mengembalikan nilai-nilai Tengger melalui upacara. Upacara yang tak hanya sebatas ritual apalagi sekadar memenuhi kalender wisata ,namun juga sebagai laku spiritual. Jadi, penghormatan yang tak sekadar memaknai lambang-lambang dalam sesajian namun juga dalam perbuatan sehari-hari.
Ketika pohon terakhir ditebang, ketika sungai terakhir telah kering, ketika ikan terakhir ditangkap, barulah manusia akan menyadari bahwa dia tidak dapat memakan uang. Demikian pepatah Indian menuliskan.
Hanya saja, betulkah zaman bisa bertahan dari uang? Jelas tak semudah itu. Fred Magdoff dan John Bellany Foster dalam buku Lingkungan Hidup dan Kapitalisme (2018) menuliskan kurang lebih bahwa selama sistem ekonomi sebuah negara masih kapitalisme, maka segala macam upaya menyelamatkan lingkungan hanya terlihat sebagai kamuflase yang berwarna hijau saja. Bukan tindakan hijau yang menyelamatkan bumi. Kecentilan ekologis tepatnya. Hanya saja, jangan pernah putus asa tentunya.
Liputan bertema Tengger dan Perubahan Iklim ini merupakan bagian dari program pelatihan ‘Reporting on Climate Change Handbook’ yang dislenggarakan oleh SIEJ (Society of Indonesian Environment Journalists) dan UN (United Nation) Indonesia.