Ribuan warga di Kota Pekalongan hidup tergenang rob selama belasan tahun, bergantung pada sanitasi seadanya, dan terekspos berbagai penyakit. Penurunan sanitasi memiliki dampak terbesar pada perempuan.

Liputan ini pertama kali terbit di harian Suara Merdeka edisi cetak pada tanggal 19 Desember 2019.

Enam bulan sudah Ike Janny Istiqomah (16), harus berpindah-pindah tempat tinggal setelah ia dan keluarganya terpaksa meninggalkan rumah mereka di pesisir Kota Pekalongan, Jawa Tengah, karena rusak terendam banjir laut pasang, atau rob. 

Rob sudah mengepung rumah dan lingkungan tempat tinggal Ike di RT 02/ RW 09 Kelurahan Kandang Panjang, Kecamatan Pekalongan Utara selama belasan tahun dan tidak pernah surut. Genangan rob setinggi 40 hingga 50 sentimeter mengakibatkan tertutupnya akses dari jalan utama ke rumah Ike.

Dulu, ayah Ike masih sempat membuat titian bambu guna mempermudah akses ke luar rumah. Namun, seiring dengan semakin tingginya genangan rob, titian bambu tersebut tenggelam dan akhirnya lapuk. Untuk ke sekolah, Ike dan kedua adiknya harus rela berbasah-basah menerobos genangan rob.

Tak tega melihat ketiga anaknya selalu basah kuyup saat berangkat sekolah, ayah Ike kemudian membeli perahu untuk memudahkan perjalanan mereka. Namun akhirnya perahu bocor dan tidak bisa digunakan lagi. Bersamaan dengan itu, tembok rumah Ike semakin banyak yang runtuh terkikis rob selama belasan tahun hingga akhirnya, Ike dan keluarganya memutuskan meninggalkan rumah yang telah ditempati mereka sejak tahun 1998 itu di bulan Mei 2019.

Keluarga Ike hanyalah satu dari ribuan keluarga di Kota Pekalongan yang terdampak rob akibat perubahan iklim. Berdasarkan data Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bappeda) Kota Pekalongan, sampai tahun 2018, luas genangan rob mencapai 1.404 hektar atau hampir sepertiga luas wilayah Kota Pekalongan yang 4.525 hektar.

Ada sembilan dari 27 kelurahan se-Kota Pekalongan yang terdampak rob — Kelurahan Kandang Panjang, Bandengan, Padukuhan kraton, Panjang Baru, Panjang Wetan, Krapyak dan Degayu di kecamatan Pekalongan Utara dan kelurahan Pasirkratonkramat dan Tirto di kecamatan Pekalongan Barat.

Tercatat 9.301 kepala keluarga (KK) tinggal di sembilan kelurahan terdampak tersebut.

Rob yang telah menggenangi mereka selama belasan tahun itu, selain merusak rumah, jalan dan fasilitas umum juga mengakibatkan ratusan hektar areal pertanian tidak bisa digarap.

Berdasarkan penelitian yang dilakukannya di Kota Pekalongan di tahun 2018, ahli geodesi dari Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung (ITB) Dr. Heri Andreas ST, MT memperkirakan biaya kerugian ekonomi untuk adaptasi lahan akibat rob mencapai Rp 6,810 triliun, dan untuk infrastruktur Rp 1,723 triliun. 

Estimasi biaya kerugian ekonomi akibat rendaman rob sekitar Rp 244,101 miliar hingga Rp 492,612 miliar. Sementara estimasi biaya relokasi apabila menjadi , dapat mencapai Rp 13,076 triliun hingga Rp 16,086 triliun.

“Ini adalah bencana. Sehingga harus ada upaya adaptasi mitigasi,” tegasnya.

Pada saat liputan ini diterbitkan, Ike dan keluarganya diketahui menumpang di rumah saudara mereka yang tinggal di Kelurahan yang sama.

Sanitasi buruk

Rob juga menyebabkan penurunan kualitas sanitasi lingkungan seperti tidak berfungsinya lagi jaringan pasokan air bersih, jamban dan saluran pembuangan air limbah.

Selama tinggal di rumah lamanya, Ike mengatakan ia dan keluarganya sering mengalami gatal-gatal dan biduran, bengkak bengkak disebabkan iritasi, akibat mutu dan kebersihan air yang digunakan mereka sehari hari.

Untuk memperoleh air bersih, Ike dan keluarganya menyaring air sumur mereka yang kuning tercemar rob selama belasan tahun menggunakan filter dari batu kerikil.

Air sumur disaring dengan kerikil untuk mandi. Sedangkan untuk minum, kami mengambil air dari kran Pamsimas (Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat. Setiap berangkat sekolah, kami membawa ember ke tempat pengambilan air. Nanti pulangnya dibawa.

Ike Janny Istiqomah, Kota Pekalongan

Pamsimas mulai dibangun di Kota Pekalongan pada tahun 2008 untuk menjawab krisis air di sejumlah kelurahan akibat intrusi air laut. Pamsimas menjadi solusi bagi masyarakat berpendapatan rendah yang tidak mampu berlangganan air PDAM, dalam memenuhi kebutuhan air bersih mereka. 

Kholifah (65), warga RT 05/ RW 03 Kelurahan Bandengan juga memanfaatkan air bersih dari Pamsimas untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. “Dulu, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, saya pakai air sumur. Namun sejak rob masuk, air sumur saya nggak bisa dikonsumsi. Warnanya keruh dan berbau. Kini saya mendapatkan air bersih dari Pamsimas,” kata Kholifah.

Setiap bulan, ia membayar Rp 25.000 untuk air bersih tersebut. Pamsimas dikelola Badan Pengelola Sarana Penyediaan Air Minum dan Sanitasi (BP SPAMS) yang dibentuk oleh masyarakat.

Berdasarkan Analisis Kerugian dan Kerusakan Akibat Dampak Perubahan Iklim di Kota Pekalongan (Studi Kasus di Kelurahan Bandengan) yang dilakukan Yayasan Bina Karta Lestari (Bintari) tahun 2017, terjadi tren perpindahan dari sumur pribadi ke PDAM dan Pamsimas karena penurunan kualitas air sumur.

Hasil analisis Yayasan Bintari, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang lingkungan dan pembangunan berkelanjutan, mutu air sumur gali di Kelurahan Bendengan tidak layak lagi digunakan baik sebagai air minum maupun air bersih. Akibatnya, masyarakat di Bandengan harus mengeluarkan dana ekstra untuk mendapatkan air bersih dan air minum melalui sambungan air PDAM ataupun Pamsimas.

Besarnya biaya pemasangan pipa jaringan yang harus dikeluarkan setiap rumah tangga untuk mendapatkan air bersih (Pamsimas) pengganti air sumur yang tercemar karena rob sebesar Rp 2 juta hingga Rp 2,1 juta pada tahun pertama. Selanjutnya Rp 300.000 hingga Rp 400.000 pertahun. Adapun besarnya biaya bulanan yang dikeluarkan warga untuk mendapatkan layanan Pamsimas berkisar antara Rp 20.000 hingga Rp 30.000 perbulan, tergantung pemakaian.

Sementara itu, untuk buang air besar, warga terdampak rob yang tidak mempunyai jamban memanfaatkan MCK komunal.  Kholifah salah satunya. Dulu, Kholifah mempunyai jamban di rumah. Namun setelah rob menggenangi permukiman warga, jambannya tidak bisa digunakan lagi. Sejak saat itu, ia memanfaatkan MCK komunal.

Seorang warga Kelurahan Bandengan, Kecamatan Pekalongan Utara, Kota Pekalongan mengambil air dari MCK communal yang dikelola oleh program Sanitasi Perkotaan Berbasis Masyarakat (SPBM). Sumber: Isnawati.

Kholifah mengaku tidak punya cukup dana untuk membangun kembali jambannya yang rusak. Penghasilannya dari membatik yang sebesar Rp 20.000 perhari untuk 12 lembar kain, sebagian sudah disisihkannya untuk membeli material guna meninggikan lantai rumah.

“Saya menabung sedikit demi sedikit. Setelah terkumpul, saya belikan material untuk meninggikan lantai rumah. Kalau tidak ditinggikan, saat rob atau hujan, airnya pasti masuk ke rumah,” kata Kholifah.

Sementara itu, sebagian warga yang tinggal di dekat sungai membuat jamban di atas sungai. Eriviani (32) warga RT 04/ RW 06 Kelurahan Pasirkratonkramat mengatakan, sebagian warga di RW 06 membuat jamban di Sungai Meduri. Menurutnya, meninggikan lantai rumah lebih mendesak dibandingkan membangun jamban.

Saya punya dua anak yang masih kecil. Saya sudah beberapa kali mengungsi karena rumah tergenang rob. Bagi kami, yang terpenting meninggikan lantai rumah agar rob tidak masuk.

Eriviani, Kelurahan Pasirkratonkramat

Meninggikan lantai rumah adalah cara adaptasi yang dilakukan masyarakat dari dampak rob. Sejak rob menggenangi permukiman warga sekitar tahun 2000, memaksa mereka meninggikan rumah setiap tahun.

Eriviani mengatakan, karena pendapatan suaminya sebagai pedagang batagor tidak besar, peninggian lantai rumahnya dilakukan bertahap. “Kalau ada sedikit tabungan, saya belikan material untuk nguruk. Bertahap. Kamar dulu, ruang tamu, baru lainnya. Untuk nguruk saja dananya masih kurang, apalagi buat bangun jamban,” sambungnya.

Padahal, masalah sanitasi bisa berdampak besar terhadap kesehatan masyarakat serta keseimbangan lingkungan. Air yang tercemar tinja manusia bisa memicu water-borne disease dan water-washed disease. Water-borne disease dipicu oleh air yang diminum misalnya diare, kolera dan disenteri. Sementara water-washed disease dipicu oleh air untuk mandi misalnya infeksi kulit.

Berdasarkan data Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) Ditjen Kesehatan Masyarakat, Kementerian Kesehatan, hingga Selasa (28/11), tingkat akses fasilitas sanitasi di Kecamatan Pekalongan Utara mencapai 91,08 persen dari 21.284 Kepala Keluarga (KK)

Di Kecamatan Pekalongan Utara, 16.470 KK menggunakan jamban sehat permanen (di rumah), 3.176 KK masih menumpang ke MCK komunal.  Sementara 1.848 KK lainnya masih buang air besar sembarangan.

Tingkat akses sanitasi di Kecamatan Pekalongan Utara ini paling rendah jika dibandingkan tiga kecamatan lainnya. Kecamatan Pekalongan Timur, akses sanitasi tercatat 93,86 persen, Kecamatan Pekalongan Selatan 94,49 persen, dan di Kecamatan Pekalongan Barat tertinggi, yakni 96,32 persen.

Sepuluh penyakit rob utama

Penurunan mutu sanitasi lingkungan memiliki dampak terbesar pada perempuan. Mereka rentan terkena penyakit karena mereka sangat dekat dengan air, tidak saja dalam kegiatan rumah tangga mereka sehari-hari tetapi juga untuk kesehatan reproduksi mereka. Data BadanPusat Statistik Pekalongan mencatat 54.297 perempuan di sembilan kelurahan yang terdampak rob.

Wasriah (54), warga RT 03/ RW 04 Kelurahan Pasirkratonkramat mengatakan sering mengalami gatal-gatal pada kakinya. Kakinya sering terendam rob karena sebagian rumahnya belum ditinggikan lantainya.

Kondisi tersebut diperparah dengan rob yang juga menggenangi tempat produksi batik, tempatnya bekerja. Wasriah mengaku jarang menggunakan sepatu boot untuk mengurangi dampak buruk dari rob. “Nggak leluasa kalau pakai sepatu boot,” kata dia.

Eriviani, yang juga merupakan kader kesehatan Kelurahan Pasirkratonkramat, mencatat bahwa penyakit terkait genangan rob yang paling sering diderita orang, terutama perempuan di antaranya batuk, flu, gatal-gatal dan diare. Sebagai kader kesehatan, ia menjadi perantara antara masyarakat dengan tenaga kesehatan di puskesmas. Ia juga menjadi tumpuan warga yang membutuhkan obat-obatan.

“Setiap kader di kelurahan terdampak rob diberi salep dari puskesmas apabila ada warga yang mengeluhkan penyakit kulit. Namun untuk penyakit lainnya, saya arahkan ke puskesmas,” terangnya.

Selain gatal-gatal, sejumlah warga yang tinggal di kelurahan terdampak rob juga rentan terhadap penyakit yang berkaitan dengan pernafasan, seperti misalnya pneumonia.

Nina (36), warga RT 02/ RW 06 Kelurahan Bandengan mengatakan, anak keduanya Nadin Asyila Badariah (6) divonis dokter menderita pneumonia. Menurut Nina, sejak lahir, Nadin tidur di tempat tidur yang di bawahnya tergenang air rob.

“Sejak hari pertama ia lahir, ia tidur di atas ranjang, tapi bawahnya air. Kata dokter, itu salah satu faktor yang menyebabkan anak saya menderita pneumonia. Karena setiap hari menghirup uap air,” terang Nina.

Nina sudah tidak bisa mengingat berapa kali sudah anaknya harus menjalani rawat inap di rumah sakit karena penyakit tersebut. “Sudah berulang-ulang. Pilek sedikit langsung sesak, bawa ke rumah sakit,” sambungnya.

Berdasarkan catatan sejumlah puskesmas yang melayani warga di sembilan kelurahan terdampak rob, penyakit akibat buruknya sanitasi menempati sepuluh besar penyakit yang diderita warga selain infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), common cold, gastritis serta diare dan gastroenteritis.

10 besar penyakit dampak dari rob yang berkelanjutan. Sumber: Dinas Kesehatan Kota Pekalongan.

Kepala Dinas Kesehatan Kota Pekalongan, Slamet Budiyanto, mengatakan bahwa meskipun mutu lingkungan menurun akibat rob, sampai saat ini belum ada kejadian luar biasa (KLB) penyakit di sembilan kelurahan terdampak.

Meskipun demikian, untuk mencegah penyakit di daerah-daerah terdampak rob, pihaknya menurunkan tenaga kesehatan satu orang di setiap Rukun Warga (RW). Eriviani salah satunya. 

“Tenaga kesehatan diturunkan sampai tingkat RW untuk mendekatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Tenaga kesehatan inilah yang akan menjalin komunikasi dengan warga di setiap RW. Ia akan menanyakan kondisi kesehatan warga secara intens,” terangnya.

Selain itu, untuk meningkatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, Dinas Kesehatan Kota Pekalongan merenovasi fasilitas kesehatan yang terdampak rob. “Pustu (Puskesmas pembantu) Bandengan akan ditinggikan lagi. Sebab, kalau rob, airnya masih masuk,” sambungnya.

Sementara itu, beberapa fasilitas kesehatan lainnya akan direlokasi karena dinilai sudah tidak memadai untuk melayani masyarakat. Salah satunya Pustu Pabean. “Pustu Pabean sudah lama tergenang air. Akses ke lokasi juga agak susah karena sering tergenang rob. Sehingga akan direlokasi,” tambahnya.

Penurunan tanah

Heri, yang ahli Geodesi dari ITB, mengatakan, penyebab terjadinya rob di Kota Pekalongan, selain karena naiknya permukaan air laut akibat mencairnya es di kutup dikarenakan pemanasan global (global warming) juga karena banyaknya pengambilan air tanah dalam yang kemudian mengakibatkan penurunan permukaan air tanah (subsidence).

Peneliti Lembaga Kemitraan/Partnership bagi Tata Kelola Pemerintahan, Arif Nurdiansyah, mengatakan bahwa berdasarkan penelitian Lembaga Kemitraan dengan menggunakan citra satelit Sentinel pada kurun waktu 2016 dan 2017, penurunan tanah di 15 kelurahan di Kota Pekalongan mencapai 25-34 centimeter per tahun.

Menurut Arif, penurunan muka tanah tidak hanya terjadi di kelurahan-kelurahan yang dekat dengan bibir pantai. “Kelurahan Pringrejo yang lokasinya berada di sebelah selatan dan cukup jauh dari bibir pantai juga terdampak,” terangnya.

Pihaknya merekomendasikan kepada Pemerintah kota Pekalongan untuk membangun program mitigasi bencana dan membuat masterplan penanganan rob sebagai acuan dalam penanggulangan yang komprehensif.

 Karena perempuan terdampak perubahan iklim lebih besar dibanding laki-laki, dibutuhkan anggaran pemberdayaan perempuan lebih tinggi untuk meminimalisasi dampak yang dialami.

Arif Nurdiansyah, Peneliti Lembaga Kemitraan bagi Tata Kelola Pemerintahan

Heri mengatakan penelitian tim Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB yang menggunakan satelit altimetri terhadap data 20 tahun terakhir ini menunjukkan bahwa kenaikan muka air laut di sekitar laut di utara Pekalongan sekitar 5 milimeter per tahun. “Berarti sekitar 5 sentimeter dalam 10 tahun, sekitar setengah meter dalam 100 tahun,” terangnya.

Penelitian lainnya yang dilakukan timnya di Kota Pekalongan tahun 2018 menemukan bahwa penurunan muka tanah di Kota Pekalongan antara 10 sentimeter hingga 25 sentimeter per tahun. Penurunan inidipicu eksploitasi air bawah tanah dengan sumur bor dengan kedalaman sampai 50-100 meter, baik oleh masyarakat maupun institusi bisnis.

“Biang keladi rob di Kota Pekalongan adalah pengambilan air tanah yang banyak,” terangnya.

Pengambilan air bawah tanah tersebut, kata dia, dilakukan karena air bersih permukaan tanah tidak cukup untuk menjawab kebutuhan masyarakat. “Hampir 90 persen penduduk mengonsumsi air tanah. Masyarakat membutuhkan air. Sementara air yang kualitasnya bagus yang tersedia air tanah. Karena air permukaan jelek. Sungai tercemar, sumber-sumber air atau sendang tidak ada,” paparnya.

Menurutnya, dalam mengatasi rob di Kota Pekalongan, diperlukan penghentian pengambilan air tanah guna mencegah penurunan muka tanah lebih lanjut. Jika menghentikan belum memungkinkan karena sumber air yang ada belum cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, sebagai langkah awal sebaiknya tidak menerbitkan izin baru untuk pengambilan air tanah.

Saat ini, untuk mengatasi rob, pemerintah pusat tengah membangun tanggul pengendalian banjir dan rob yang membentang sepanjang 8.020 meter dari Kota Pekalongan hingga Kabupaten Pekalongan. Pembangunan tanggul pengedalian banjir dan rob ditargetkan selesai pada akhir Desember 2019.

Namun, Heri menilai, pembanguan tanggul tersebut bukan solusi permanen. Menurutnya, pembangunan tanggul hanyalah semacam “pain killer” atau penghilang rasa sakit yang bersifat sementara. Sebab, ketika masih terjadi pengambilan air tanah, tanggul juga akan turun seiringi turunnya permukaan tanah akibat pengambilan air tanah.

“Apakah pembangunan tanggul sia-sia? Tidak. Apakah tepat? Untuk saat ini tepat. Tapi pembangunan tanggul hanya sementara. Kemungkinan hanya bisa menanggulangi rob lima hingga sepuluh tahun. Setelah itu harus membangun lagi,” paparnya.

Menurutnya, ada beberapa langkah yang harus ditempuh untuk mengatasi rob. Pertama, Pemerintah Kota Pekalongan harus mulai mencari sumber-sumber air alternatif pengganti air tanah, seperti misalnya danau, embung, air hujan, air daur ulang, revitalisasi sungai dan Instalasi Pengolahan Air Limbah. Langkah berikutnya adalah,penyesuaian tata ruang berbasis bencana rob, land subsidence, peningkatan permukaan air laut dan isu terkait.

Kemudian membangun sistem artificial recharge, yaitu pengisian air ke Akuifer  dalam yang sifatnya puluhan hingga ratusan meter. Akuifer adalah lapisan bawah tanah yang mengandung air dan dapat mengalirkan air. Pembuatan biopori juga harus digalakkan.

Artificial recharge, kata dia, dapat mengurangi laju land subsidence dan mengurangi kerusakan akuifer dalam. Sementara biopori dapat membantu mengurangi kerusakan akuifer dangkal serta menambah cadangan air.

Selain itu, membangun infrastruktur sumber-sumber pengganti air tanah lengkap dengan jaringan perpipaan untuk distribusi. Langkah terakhir adalah menghentikan pengambilan air tanah dalam. “Fakta empiris menunjukkan, menghentikan pengambilan air tanah dalam akan menghentikan land subsidence. Maka dari itu, menghentikan pengambilan air tanah adalah solusi permanen dalam mengatasi rob dan land subsidence,” jelasnya.

Sementara itu, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan
Daerah (Bappeda) Kota Pekalongan Anita Heru Kusumorini menjelaskan, saat ini Pemerintah kota sudah melakukan moratorium pengambilan air tanah. Namun, ia juga menambahkan bahwa pemerintah kota tidak bisa menutup sumur air bawah tanah dalam yang lama.

“Kota Pekalongan tidak punya sumber air permukaan. Sementara PDAM juga mengandalkan sumber air bawah tanah untuk memenuhi kebutuhan air bersih bagi masyarakat Kota Pekalongan,” terangnya

Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Pekalongan, kota ini memiliki 400 titik pengambilan air tanah. Jumlah tersebut termasuk Pamsimas yang dibangun pemerintah.

Saat ini, Pemkot Pekalongan tengah membangun sarana pendukung pengoperasian Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Regional Petanglong yang akan memasok air bersih untuk Kota Pekalongan, Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Batang.

SPAM Regional Petanglong berkapasitas 850 liter/detik dengan sumber air bakunya dari Sungai Jambangan (400 liter/detik) dan Sungai Kaliboyo (450 liter/detik). Dari total kapasitas tersebut, Kota Pekalongan mendapatkan 150 liter perdetik yang akan didistribusikan ke Kecamatan Pekalongan Selatan dan Kecamatan Pekalongan Barat.

Menurut Anita, meskipun SPAM Petanglong nantinya sudah beroperasi, Pemerintah kota tetap tidak bisa langsung menutup semua air bawah tanah. Sebab, sumber air SPAM Petanglong tidak bisa memasok air selama 12 bulan penuh. “Ada empat bulan kering. Kini masih mengupayakan sumber air dari sungai lainnya. Sementara air dalam untuk cadangan,” jelasnya.

Liputan ini didukung oleh program Story Grants Perubahan Iklim Terkait Kesehatan oleh Internews’ Earth Journalism Network Asia-Pasifik

Isnawati

Siti Masudah Isnawati or Isnawati, is a journalist who has worked at Suara Merdeka Group since 2009 covering Pekalongan City (Pantura Bureau). Completed her undergraduate education in Communication Studies...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.